Tulisan kali ini merupakan esai yang aku tulis untuk memenuhi persyaratan seleksi RK Mentee 2016. Semoga menginspirasi!

Saya jatuh cinta dengan Ilmu Informasi dan Perpustakaan (selanjutnya saya tulis Ilmu Perpustakaan). Saya tidak menyangka lulus dengan senang karena saya mempelajari hal yang menarik, yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Apalagi mengetahui bahwa keilmuan ini belum banyak berkembang di Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain, contohnya saja negara tetangga Singapura. Lulusan Ilmu Perpustakaan pun seringkali diberi label yang kurang menjanjikan jika disandingkan dengan lulusan ilmu-ilmu yang lainnya. Namun hal tersebut tidak membuat saya berkecil hati. Malah bagi saya, menyandang gelar Sarjana Ilmu Informasi dan Perpustakaan memberikan suatu keuntungan tersendiri. Tidak banyak yang tahu apa yang saya pelajari semasa kuliah dan bagaimana prospek kerjanya di era yang serba digital ini. Tetapi dari situlah saya bisa menyebarluaskan bahwa Ilmu Perpustakaan tidak hanya belajar mengenai cara mengklasifikasi, mengkatalog, dan menata buku. Siapa tahu, ada anak muda yang akhirnya jatuh cinta juga seperti saya dan berniat untuk memperdalam dan membantu membangun negri ini ke arah yang jauh lebih baik.

Bentuk ketertarikan ini saya selami dengan cara tetap membaca kabar terbaru dari dunia Ilmu Perpustakaan, tidak hanya yang ada di dalam negeri, melainkan juga yang ada di luar negeri. Saya bahkan memiliki situs web langganan yang khusus saya tujukan untuk membaca berita mengenai keilmuan tersebut. Dari sumber-sumber yang telah saya dapatkan, saya jadi tahu apa yang belum ada di Indonesia dan apa yang harus dibenahi. Salah satunya adala kurangnya aktivasi peran pustakawan dalam ikut serta membangun sikap budi pekerti generasi muda Tanah Air.

Pustakawan di Indonesia memang banyak tetapi sayangnya dari apa yang saya amati, mereka kurang memiliki lentera jiwa (passion) sebagai seorang pustakawan. Fasilitas di perpustakaan seperti yang ada di kota besar pun sudah sangat memadai, tetapi lagi-lagi sangat disayangkan masih kurang pendampingan dari pihak pustakawan. Padahal anak-anak dan remaja yang memanfaatkan perpustakaan bisa digiring untuk memiliki akal budi luhur seperti yang sedang digalakkan oleh Menteri Pendidikan Dasar, Menengah dan Kebudayaan Republik Indonesia saat ini. Apabila semenjak kecil ada peran serta antara orangtua, guru, dan pustakawan, pastilah bibit-bibit anak yang jujur semakin subur di Indonesia. Para orangtua akan mengerti betapa pentingnya mengajarkan literasi dini pada anak dan guru juga akan membuat para siswa untuk banyak membaca hal yang mereka suka sehingga hilanglah asumsi bahwa membaca selalu identik dengan belajar dan paksaan. Pustakawan anak dan remaja atau pustakawan sekolah bisa memumpuk sikap gemar membaca hingga mengajari bagaimana caranya menggunakan bahan pustaka untuk mendukung kegiatan belajar mengajarnya. Dengan begitu, persentase tindak kecurangan seperti menyontek dan plagiasi bisa ditekan.

Apa yang saya sampaikan di atas adalah satu dari sekian banyak problematika yang dihadapi oleh Indonesia. Sayangnya, tidak banyak yang menyadari hal ini. Adapun, mereka belum sepenuhnya mengaitkan hal tersebut pada pustakawan yang benar-benar memiliki latar belakang keilmuan Ilmu Perpustakaan. Barangkali, keberadaan tenaga pustakawan yang mengkhususkan diri pada patron anak-anak dan remaja malah bisa membuat para generasi muda tidak hanya mulai berlaku jujur, melainkan bisa lebih selektif dalam menerima dan berbagi (share) berita atau informasi yang belum jelas pertanggungjawabannya di sosial media. Itulah yang membuat saya ingin menjadi Pustakawan Anak dan Remaja (Children and Youth Librarian) di Indonesia, dimana di negara-negara maju dan berkembang lainnya keberadaan pustkawan khusus ini sudah sangat lumrah.

Saya merasa bahwa diri saya memiliki kapabilitas secara keilmuan mendasar untuk menjadi sosok pustakawan yang benar-benar bisa menggiring anak-anak dan remaja menuju generasi yang gemar membaca. Impian ini pulalah yang membuat saya ingin melanjutkan studi di bidang Children and Youth Librarianship. Namun sayangnya, saya belum memiliki soft skill yang memadai untuk berada pada jabatan tersebut. Saya tahu, suatu hal yang pasti di dalam kehidupan ini adalah ketidakpastian, dan tidak semua manusia memiliki mental yang siap bertarung agar tetap bertahan pada situasi tersebut. Generasi muda yang besar di era milenium sangat terbiasa dengan semua yang mudah, termasuk saya sendiri, sehingga merasa memperlebar comfort zone merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Padahal, mengutip ucapan Imam Syafi’i, apabila air tidak mengalir maka ia akan menjadi keruh. Analogi tersebut sama dengan kondisi manusia yang hanya diam di tempat, akan “mengotori” lingkungan sekitarnya, mengajak yang berada di dekatnya untuk menjadi statis di tengah keadaan yang serba dinamis. Saya sadar, apabila saya tidak bergerak maka saya tidak akan berkembang, apalagi berkontribusi untuk bangsa dan negara.

Bentuk pergerakan yang saya lakukan dimulai sejak saya berada di bangku SMA. Pada masa itu saya sudah tidak diberi uang saku karena telah memiliki pekerjaan sebagai guru privat. Alih-alih merasa malu, saya belajar untuk bisa mengalokasikan uang, tenaga, dan waktu agar kegiatan akademik di sekolah tidak terganggu. Hal tersebut saya sadari sebagai persiapan sebelum saya nantinya terjun langusng ke dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya: tanpa ada bantuan dari siapapun kecuali diri sendiri. Ketika kuliah pun saya juga mengisi kegiatan dengan ikut menjadi panitia maupun tenaga sukarela. Saya merasa perlu bertemu berbagai macam karakter dan berjejaring sebelum nantinya saya melayani anak-anak dan remaja Indonesia sebagai pustakawan. Saya pun melatih mental dengan melakukan kerja paruh waktu di sebuah bisnis rintisan ketika saya sedang mengerjakan skripsi. Saya merasa, melemparkan diri ke dalam lautan ketidakpastian dan keadaan yang penuh dengan tekanan akan “memaksa” saya belajar soft skill yang selama ini tidak sepenuhnya didapatkan di dalam ruang kelas.

Menjadi manusia berarti menjadi makhluk yang tidak pernah berhenti belajar sejak dirinya lahir hingga ajal menjemput. Wajar saja jika manusia tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki, termasuk ilmu dan kemampuan. Keduanya merupakan hal dalam diri saya yang masih jauh untuk menjadi sosok yang saya impikan selama ini. Maka dari itu, mendapatkan kesempatan untuk belajar di Rumah Perubahan adalah sebuah momen yang bisa membantu saya menggapai tujuan saya menjadi Pustakawan Anak dan Remaja Indonesia. Ketika nantinya saya sudah memiliki kemampuan dan keilmuan yang mendukung, saya juga berkeinginan untuk tidak sekedar menjadi bidak catur permainan, melainkan menjadi pemangku kebijakan.

Ilmu saja tanpa soft skill kurang bisa mendapatkan simpati orang lain, soft skill saja tanpa keilmuan juga akan melahirkan banyak keraguan. Namun, ketika keduanya bertemu, ditambah dengan passion yang menggebu dan sifat-sifat kepahlawanan lainnya, bukan tidak mungkin Indonesia memiliki generasi emas tahun 2045 mendatang. Dan generasi emas Indonesia juga tidak akan bisa bermunculan tanpa adanya peran dan aktivasi dari para pendidik, termasuk pustakawan.

– Hestia Istiviani, November 2015

— January 6, 2016

What Do You Think?