“Kuliah dimana?”

“Sekarang kerjanya apa?”

“Sibuk ngapain aja?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas pasti bukanlah pertanyaan yang asing di telinga orang Indonesia. Tidak bisa disalahkan juga kalau kebanyakan orang zaman sekarang (apalagi mereka yang akrab dengan media sosial dan warga urban) menganggap kalau pertanyaan tersebut merupakan hal yang sudah melintasi batas privat seseorang (alias kepo) meskipun orang zaman dulu menggunakan pertanyaan tersebut sebagai titik awal memulai percakapan. Hingga kini, anak-anak muda merasa kalau pertanyaan tersebut bersifat senitmental dan memiliki akhir yang bisa menjadi bumerang.

Aku rasa pasti banyak orang (tua) di luar sana yang masih menilai kecerdasan seseorang berdasar suatu hal yang kuantitaif, diukur dengan skala penilaian tertentu. Bukan suatu hal yang aneh jika orang tua bertanya “ujian matematikamu dapat berapa?” dan berharap si anak bisa mendapat nilai absolut. Atau kalau tidak, panggil saja guru les. Masih kurang? Dimasukkanlah ke bimbingan belajar. Hingga seakan-akan hanya mereka yang masuk ke dalam studi ilmu eksak-lah yang rasanya dianggap pintar dan cerdas. Oh dear society.  Efeknya, pekerjaan atau pendidikan yang misalnya berbau ilmu sosial atau ilmu budaya dianggap tidak penting, tidak membanggakan. Asal tahu saja, otak manusia terbagi menjadi dua sisi, otak kanan dan otak kiri yang memiliki tugas dan fungsi berbeda, dimana seseorang bisa dominan salah satunya.

Secara mudahnya begini: jika seseorang dominan untuk melakukan semua hal dengan tangan kanan, maka ketika ia diminta menulis dengan tangan kiri yang ada adalah butuh waktu lebih lama (bisa jadi karena tidak terbiasa atau malah tidak bisa sama sekali) ketimbang ia melakukannya dengan tangan kanan. Hal ini disebabkan karena dalam kegiatan sehari-hari yang ia lakukan, termasuk menulis, secara dominan tangan kananlah yang mengerjakan. Seseorang yang bagian kecerdasan otaknya lebih dominan kanan, maka ia akan butuh waktu lama untuk mencerna data yang seharusnya diolah oleh otak kiri. Bukan. Orang itu tidak bodoh.

Sama halnya ketika aku yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata kemudian dipaksa masuk ke sekolah teknik. Sudah rahasia umum kalau mereka yang ber-IQ tinggi oleh society dianggap anak yang jenius, iya, jenius dalam mengerjakan soal hitungan. Belum tentu. Aku sampai saat ini berusaha menghindari permasalahan yang berisi hitungan kompleks dan itulah yang membuatku menolak untuk masuk sekolah teknik. Apakah kemudian tingkat kecerdasan mempengaruhi seseorang menjadi jago perkalian 4 digit? Tidak.

Seperti yang aku tulis menjadi judul, lawan dari kuantitatif ialah kualitatif. Bagaimana jika kita mencoba menilai bukan dari secepat apa dia menyelesaikan soal hitungan, melainkan hal lain yang membuat seseorang “manusia”. Di era yang serba instan dan warga kota urban lebih sering berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa ibunya, ternyata ada suatu hal yang kurang. Boleh jadi  mereka juara ini itu, tetapi ternyata tidak bisa antre dengan baik dan benar. Atau, mengatakan hal sesimpel ucapan terima kasih kepada pramu niaga tidak dilakukannya atas nama menjaga gengsi sebagai kaum elitis.  Bagiku, sebagai orang Indonesia yang punya tata krama, akan lebih baik kalau manusia memang merupakan “manusia”.

Menyeimbangkan yang kuantitaif dengan yang kualitatif memang tidak mudah. Terkadang banyak sekali stereotipe yang beredar di tengah masyarakat kalau yang memiliki otak, belum tentu memiliki perilaku yang sebenarnya. Itu semua berasal dari bagaimana masyarakat sendiri menilai seseorang. Pasti tidak jarang banyak di luar sana lebih melihat pekerjaan sebagai insinyur merupakan pekerjaan yang kastanya lebih tinggi (sedikit)  dengan mereka yang menjadi sosiolog (bukan psikolog lho ya). Jangan heran ketika sedari kecil anak-anak di Indonesia (yang orang tuanya punya duit, tentu saja) memperbanyak jam belajarnya ketimbang mengajari mereka mengenai unggah-ungguh atau yang simpel: untuk menyebrang jalan zebra cross atau menggunakan jembatan penyebrangan, tidak semena-mena terhadap pramu niaga/pramu saji.

Tulisan ini lebih menyoroti bagaimana kota metropolitan yang beranjak menuju kota megapolitan masih kekurangan manusia dengan kualitas manusia Indonesia. Semoga saja, dengan “pemaksaan” melalui program Penanaman/Penumbuhan Budi Pekerti, calon generasi penerus bangsa ialah manusia yang sebenar-benarnya.

— August 16, 2015

What Do You Think?