Tidak ada data yang valid untuk mengetahui persentase minat baca di Indonesia. Tidak ada yang terbaru mengenai hal tersebut. Kesimpangsiuran pun terjadi. Ada yang bilang tidak sampai 1% tapi lain pihak berkata sudah mencapai 1%. Ketika pernyataan bahwa minat baca di Indonesia rendah, semua orang merasa kesalahan terletak pada kurikulum pendidikan. Sisanya lagi menyalahkan gaya hidup. Yang lain juga mengatakan buku kalah dengan gempuran teknologi. Tidak sedikit berkata kalau perpustakaan-lah yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman.

Saat pernyataan tersebut dilontarkan dan kemudian dibaca oleh mereka para komunitas pecinta buku, mereka berkata kalau minat baca di Indonesia cukup tinggi. Indikator yang ada salah satunya dari berapa banyak orang yang berkunjung untuk acara book fair ataupun book festival. Para pecinta buku berkata,bagaimana bisa Amazon tidak mau memasarkan Kindle secara legal di Indonesia (begitu pula dengan Kobo dan Nook) padahal pembaca buku di Indonesia bisa mendatangkan keuntungan untuk mereka.

Apakah itu bisa dijadikan indikator tinggi rendahnya minat baca suatu negara? Belum. Sejauh ini belum banyak yang tahu apa yang dijadikan patokan dalam penentuan minat baca di Indonesia. Hingga aku benar-benar merasa kalau ternyata minat baca orang Indonesia memang rendah.

Yang Salah adalah Lingkungan

Semua yang berteman denganku sejak dulu tahu sekali kalau aku dibesarkan dalam keluarga penggila buku. Setiap akhir pekan tidak pernah ada kata “tidak” untuk berkunjung ke toko buku. Setiap malam, ketika acara berita sudah selesai disiarkan, orangtuaku menyarankan kami, anak-anaknya, untuk membaca buku. Orangtuaku tidak pernah melarangku membeli buku, sebanyak apapun itu. Alhasil, jadilah aku dan adik-adikku pecandu buku & pecandu kegiatan membaca buku.

Namun, ketika aku berada di luar lingkungan keluargaku, pandangan ini menjadi berbeda. Orang bijak berkata kalau hobi membaca buku mendatangkan banyak manfaat, kalau hobi membaca buku lebih baik ketimbang menonton sinteron televisi, dan petuah-petuah baik seputar manfaat membaca buku. Tetapi, lagi-lagi kenyataannya malah berbalik arah.

Tidak sedikit pengalaman kami, aku dan adik-adikku, dilihat “aneh” karena lebih memilih membaca buku ketika waktu tertentu. Kami merasa biasa saja ketika asyik membaca buku di tempat umum, misalnya ketika menunggu antrean. Tetapi, lingkungan kami menilai dengan hal yang berbeda. Adikku bahkan pernah jadi korban bully hanya karena ia lebih memilih buku ketimbang temannya (yang kemudian berkelanjutan kalau adikku memiliki pola pikir yang berbeda dengan teman-temannya dan kerap kali dilabeli “sok pintar”).

Aku pun juga tidak jarang dapat perlakuan yang berbeda dari bagaimana orangtuaku mengapresiasi kegiatan membaca. Hingga bangku SMA, sekelilingku adalah mereka yang suka membaca, sehingga bertambah kuatlah aku untuk makin cinta dengan buku. Namun, hal ini berbeda sejak aku masuk perguruan tinggi. Eits, jangan salah, perlu kamu ketahui, sedikit sekali mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan yang gemar membaca buku ya! Beberapa orang, termasuk seniorku, pernah menertawakanku karena aku asyik membaca buku saat menunggu dosen untuk hadir di kelas. Aku juga sering dicap tidak mau bersosialisasi karena selalu menyendiri dengan earphone dan buku di pojok kelas.

Hal tersebut terus berlanjut. Lingkungan di sekitarku masih saja ada yang menangkap kalau orang yang asyik membaca buku adalah orang yang tidak punya kerjaan, orang yang sombong karena tidak mau bersosialisasi. Padahal, asal kalian tahu, ketika sudah jatuh cinta dengan buku (apalagi dengan jalan ceritanya), rasanya kamu tidak ingin segera meninggalkan kisah tersebut. Jatuh cinta dengan tokoh fiksi itu menyenangkan. Itulah yang membuatku sangat menikmati waktu membacaku. Bukan tidak punya pekerjaan, aku tahu aku punya tanggung jawab yang harus aku selesaikan, tetapi aku mengatur waktu agar aku masih punya waktu untuk membaca, sesibuk apapun agendaku di hari itu. Aku sudah menganggap kalau membaca buku adalah kebutuhan yang sama pentingnya dengan bernapas.

Merokok Lebih Dipandang Dibandingkan Membaca Buku

Kesal? Tentu. Entah sudah berapa banyak dan sudah berapa kali kata-kata tidak menyenangkan mampir untuk mengejek kegiatan membacaku. Dari yang katanya “membaca sama dengan tidak punya kerjaan alias orang nganggur” hingga mengomentari genre bacaan yang aku pilih.

Jujur saja, aku heran dengan perilaku orang di Indonesia. Ketika seseorang membaca buku, ia tidak mengeluarkan polusi apapun, baik itu suara ataupun udara. Ia juga tidak mengganggu orang di sekelilingnya. Ia menciptakan dunianya sendiri untuk menghibur dirinya tanpa perlu membuat orang lain terpapar sesuatu yang buruk. Namun, tampaknya hal tersebut tidak dilihat sebagai suatu keuntungan memiliki teman/rekan kerja yang suka membaca. Mereka masih melihat kalau beristirahat/mencari inspirasi dengan merokok adalah kegiatan yang sangat lumrah dibanding dengan orang yang asyik membaca buku. Memang, beberapa orang dari mereka merasa tidak nyaman dengan asap rokok, tetapi sebagian besar masih mentolerirnya. Berbeda dengan orang yang membaca buku. Sekejap kemudian sudah ada saja aktivitas “nyinyir”.

Benar adanya ketika pihak-pihak yang melakukan studi terhadap minat baca orang Indonesia merasa kalau minat baca di negeri ini masih sangat rendah. Wong orang baca buku saja sudah banyak asumsi negatifnya ketimbang yang positif. Jadilah mereka yang ingin mencoba membaca buku nyalinya malah ciut, takut dikucilkan oleh lingkungannya. Bandingkan dengan kegiatan merokok. Orang yang merokok hingga saat ini masih dilihat ebagai orang yang keren, yang nggak  banci oleh teman sepergaulannya.

Ya, minat baca warga Indonesia memang rendah dan ternyata, negeri ini lebih menghargai perokok ketimbang pembaca buku ya?

— March 25, 2016

What Do You Think?