Sesuai dengan apa yang aku tuliskan mengenai sebuah tulisan kolaborasi mengenai film horor di bulan Oktober, di minggu pertama dibuka oleh sebuah film yang masih tayang di bioskop. Resensi yang ada dibawah ini adalah resensi dari Sinekdoks dan font berwarna oranye di bawahnya adalah komentarku.

While Miss Peregrine’s Home for the Peculiar Children bukan film horror, tapi at least film ini masuk kriteria film tentang “being away from the society” alias mengasingkan diri dari masyarakat luas yang diusung collaborative post Sinekdoks X Hzboy What the Hell!… oween.

Anggap saja ini review Bahasa Indonesia saya untuk film ini yang dikemas dengan format yang lebih sederhana (review komprehensifnya ada di sini!).

How I finally stumbled into the film? Well, film ini memang sudah ada di-watchlist sejak awal tahun karena premisnya yang unik: like X-Men with a Mary Poppins. Tapi, yang lebih menarik adalah sosok Eva Green. I was in the middle of finishing Penny Dreadful when I read a news about Miss Peregrine dan karena karisma queer, Eva Green di serial itulah, terbit keyakinan untuk menyaksikan dia menggantikan karakter tipikal Helena Bonham-Carter di film Tim Burton. Then, there I was; Senin-senin nonton film queer di Bioskop.

Ketika aku tahu judul tersebut, awalnya merupakan sebuah judul buku yang sedang digandrungi oleh teman-teman bacaku. Yang mereka katakan mengenai buku tersebut kebanyakan mengatakan kalau buku itu layak baca. Memang sempat terbesit kalau home for peculiar children ini seperti sekolah Prof. X dari X-Men. Kalau tentang Eva Green, aku malah baru sadar kalau dia pernah bermain untuk Dark Shadows. Pantas saja wajahnya familiar.

Now let me put it into synopsis: Miss Peregrine’s Home for the Peculiar Children bisa dibilang X-Men meets Mary Poppins. Ia bertugas melindungi para anak peculiar dengan cara menciptakan time loop yang dapat mengulang 24 jam di suatu hari yang aman. Loop tersebut terjaga selama 70 tahun sampai seorang shape-shifting villain berwujud Samuel L. Jackson dan mengincar mereka. Harapan muncul di tangan seorang pemuda, Jake (Asa Butterfield) yang kehidupannya tertambat pada sebuah rahasia masa lalu yang amat penting bagi para peculiars.

That “berwujud Samuel L. Jackson” itu boleh juga! Malah mengingatkanku dengan karakternya di Kingsman: Secret Service. Setidaknya sinopsis versi Sinekdoks jauh lebih singkat daripada sinopsi yang ada di verso bukunya :p

Kalau di-review secara singkat, Miss Peregrine cukup konsisten mengusung kata ‘peculiar’ dalam judulnya. Dilimpahi uniknya visual dan akting yang Burtonesque serta eksplorasi karakter unik dengan gaya offbeat Jane Goldman (penulis naskah X-Men dan Kick Ass), peculiarity nampaknya jadi bangunan yang kokoh dan captivating.

Sayangnya, peculiarity yang indah tersebut tak didukung oleh narasinya yang tak imbang serta penggalian plotnya yang dangkal. Miss Peregrine tampak terlalu asyik ingin tampil peculiar dengan memanfaatkan tokoh dan time loop-nya, sehingga lupa urgensi plotnya. Hasilnya babak ketiga film ini terasa diburu-buru dan over-stuffed; dan beberapa subplot yang bisa menjadi lebih menarik terpaksa ditinggalkan. Bagaikan museum benda antik tak terurus, Miss Peregrine punya semua peculiarity yang indah tanpa mampu mengorganisirnya menjadi satu kesatuan cerita yang kompleks.

Indeed. Aku setuju dengan pernyataan kalau plotnya dangkal. Memfokuskan pada peculiar children bukan berarti meninggalkan hal-hal lain yang sama pentingnya. Seperti misalnya kisah Emma dan Jake atau Emma dan Abe (yang mana hal ini hanya dibahas di buku saja). Syukurlah, meskipun peculiarity yang ada dalam film ini dianggap tidak teroganisir dengan baik, setidaknya film ini tidak memiliki akhir yang berantakan (walaupun jatuhnya malah jadi membosankan karena terkesan mengulur watktu). Cukup sayang memang, dengan Tim Burton sebagai sutradara, hasil akhirnya kurang memuaskan.

So, meskipun film ini hadir dalam kerangka Burtonesque, yang sering muncul dalam semangat baroque-gothic-nya, namun Miss Peregrine sama sekali bukan film horror. Jadi, tak ada satu pun bagian yang scare me the most. Tapi, ada satu adegan yang sukses membuat excitement meter meningkat drastis, yaitu saat adegan pertempuran di seaside carnival (yang di sana ada cameo Tim Burton-nya). That’s a scene which excites me most.

Untuk yang hanya menonton filmnya, memang, jatuhnya menjadi sebuah film gothic. Bukan film horor. Kesan horornya tidak ada. Bahkan untuk monsternya yang terasa biasa saja. Unsur-unsur mengagetkan pun tidak juga cukup mengagetkan. Well, memang adegan “pertempuran” tersebut menyenangkan! Anak-anak lucu tersebut dengan keimutannya ikut melawan monster-monster dengan sumber daya seadanya.

Seperti sudah disampaikan sebelumnya, visual dan karakter-karakter film ini memang ditampilkan dengan sangat detil dan grandiose. What I like most, though, adalah pengenalan para karakter peculiarnya: mulai dari si anak kecil yang kuat, anak tak terlihat, sampai anak yang bisa memroyeksikan mimpi.

Bukankah setiap orang sepertinya memang butuh pengenalan tokoh? Apalagi untuk film yang memliki tokoh dengan kekuatan yang tidak biasa, rasanya penonton senang jika mengetahui ada hal-hal keren. Aku pun juga senang ketika film mengenalkan satu persatu (melalui Emma dan Miss Peregrine) mengenai siapa saja yang tinggal di rumah tersebut (meskipun terdapat perbedaan antara tokoh versi buku dengan versi film).

Di sisi lain, selain problematika dengan storytelling-nya, Miss Peregrine juga bermasalah dengan satu hal lain, yang jadi bagian what I disliked most, yaitu villain-nya. Kesan one-dimensional bisa dimaklumi karena sumber ceritanya dari children literature, namun tak ada alasan untuk membuatnya kurang bertaring, bahkan klimaks dengan sang mastermind villain-nya pun tak terasa menacing.

Ya mau bagaimana lagi, bukunya saja memang masuk ke dalam kategori children fiction. Pastinya Ransom Riggs selaku penulis buku ingin agar monsternya bisa dibayangkan dengan mudah oleh pembaca anak-anak. Begitu pula ketika sang induk dari musuh tersebut berhadapan dengan Jake dan kawanannya. Terasa sangat mudah ditebak. Lagi-lagi, karena hasil adaptasi dari buku anak.

So, if I were in the movie, mungkin menjadi salah satu anak peculiar-nya. Horace Somusson alias si proyektor mimpi mungkin menjadi karakter yang paling seru dengan kekuatan mutan-nya; sekaligus dengan kebiasaan observasinya tanpa harus ikut beraksi. Berada di film ini lebih seru kalau bisa mengobservasi langsung berbagai kekuatan super anak-anak lain serta set-nya yang majestik.

Aku curiga kalau Paskal sebenarnya sering bermimpi tentang pakaian bagus….

Pada akhirnya, Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children ini memberi sedikit treat walaupun kebanyakan trick-nya. Final verdict: segala visual dan karakter peculiarnya yang captivating tak mampu mengangkat narasinya yang tak berimbang dan plotnya yang agak dangkal. Score: 2/4

Tidak mampu mengangkat narasinya karena memang kisah-kisah lain yang membuat cerita ini menarik tidak begitu ditonjolkan sehingga menjadi mudah ditebak dan membosankan.


Sebuah ulasan singkat yang menarik! Dan aku mohon, jangan dibandingkan dengan bagaimana aku menulis resensi terhadap film ini di blog Sinekdoks ya. Ehe.

— October 9, 2016

3 thoughts on “Miss Peregrine’s Home For Peculiar Children [What The Hell…oween! Collaborative Post]

  1. Pingback: The Sacrament & What The Hell…oween! Closing Post – your world, my nest, vague trust
  2. Pingback: What the Hell... oween! #1: Miss Peregrine's Home for Peculiar Children (2016) | sinekdoks - Movie Review

What Do You Think?