Salah satu privilese punya ayah yang gemar membaca ialah informasi yang sifatnya trivia. Di keluarga kami, trivial things diperlakukan seperti common knowledge sehingga mendorong kami (aku dan adik-adikku) untuk baca lebih banyak. Contohnya saja ketika ayah sempat berkunjung menegokku di Jakarta pada November 2019. Kami mampir ke Museum Bank Indonesia yang tengah menggelar pameran terkait sejarah restorasi Candi Borobudur. Di saat kami sedang asyik melihat-lihat artefak, ayah tiba-tiba nyeletuk. “Siapa yang melakukan restorasi?” Tentu, aku kebingungan. Namun dengan santai layaknya itu sebuah informasi yang umum diketahui, ayah menjawab “Van Erp.”

Sama halnya ketika ayah menceritakan beberapa penulis atau buku yang dilarang beredar. Jangankan Gurita Cikeas yang sempat ramai ketika masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau Tetralogi Buru yang dicekal oleh Orde Baru. Buku-buku terkait kudeta pemerintahan yang baru muncul di Indonesia beberapa minggu saja, ayah juga tahu. Membuatku semakin penasaran dengan buku-buku yang tergolong banned books.

Di Amerika Serikat sendiri, banned books pun “dirayakan” melalui kegiatan Banned Books Week yang biasanya diselenggarakan oleh perpustakaan daerah (state library atau local district library). Mereka sengaja menampilkan buku-buku yang sempat dilarang beredar diikuti dengan periode pelarangannya. Hal itu dilakukan sebagaimana penyensoran terhadap sesuatu yang dianggap tidak sejalan dengan nilai negara bagian/agama/wilayah tertentu. Misalnya novel Harry Potter yang sempat dilarang karena dianggap mengajarkan ilmu sihir (witchcraft).

Dari Banned Books Week itu, aku jadi tahu bahwa mendapatkan akses bacaan tanpa dibatasi oleh sensor atau otoritas penguasa menjadi kemewahan tersendiri. Being gatekept rasanya seperti kehilangan kebebasan untuk memilih bacaan. Kita cuma diberi tahu, “Kamu tidak boleh membaca Harry Potter! Novel itu mengajarkan ilmu sihir yang tidak sejalan dengan agama kita!” tanpa diberi kesempatan untuk membaca dan memberikan penilaian. Padahal, membaca adalah salah satu kemerdekaan yang seharusnya ada di tangan kita sendiri.

Akan tetapi ironinya, semakin dilarang maka akan semakin penasaran. Bukankah begitu, bund? Buku-buku yang masuk ke dalam banned books malah terlihat lebih menggoda…

Tidak jauh berbeda denganku yang sempat mengetahui ada satu buku yang sampai sekarang masih sulit untuk masuk ke negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim. Ayah bercerita tentang hal ini ketika aku minta dibelikan novel tebal berjudul Midnight Children.

Satanic Verses dianggap melecehkan agama Islam. Sebab, menggambarkan malaikat Jibril dan Nabi Muhammad dalam konteks yang berbeda jauh sekali dari apa yang ditulis Al-Quran. Akibatnya, Salman Rushdie dilarang masuk ke negara di Timur Tengah. Bahkan ada fatwa (hukum) yang menghalalkan untuk memburunya. Karena cerita itulah aku semakin penasaran untuk tahu sejauh apa “cerita melenceng” yang ditulis oleh Rushdie.

Yang satu lagi adalah buku legendaris favoritku. Selain sempat masuk dalam jajaran banned books di Amerika Serikat, ternyata buku ini juga dilarang di China dan Australia.

1984 yang ditulis oleh George Orwell (atau, Eric Blair) memang secara gamblang mengkritisi pemerintahan yang totalitarian. Big Brother dan INSOC mengontrol segala aspek yang dilakukan oleh penduduk sebuah negara, dan mempropaganda seakan-akan apa yang dilakukan oleh penguasa sifatnya mutlak. Lucunya adalah di negara yang tidak berhaluan komunis, 1984 dianggap sebagai buku yang memantik perlawanan kelas. Sedangkan di negara yang berhaluan kanan, 1984 dianggap mempromosikan komunisme…

Apabila ditarik secara nominal, baik Satanic Verses atau 1984 harganya tidak lebih dari Rp300.000. But to know that I have such freedom to access it is something priceless. Membayangkan kalau aku punya kuasa untuk membaca buku-buku yang dianggap “berbahaya” rasanya lebih mahal dari sekadar mengeluarkan uang dari kantong sendiri.

— September 18, 2021

One thought on “Yang Berharga Belum Tentu Yang (Paling) Mahal

What Do You Think?