Selamat tahun baru! Terlambat sih, tapi tulisan ini kan diunggah masih pada bulan Januari 2020. Jadi ya, tidak terlalu terlambat, kan? Semoga semangat yang dibawa di awal tahun bisa terus terasa hingga akhir 2020 ya ehehe.

Terhitung sejak tahun lalu, tepatnya semester kedua 2019, aku sudah 7 bulan tidak berhubungan dengan seseorang. Atau singkatnya, broke up and being single. Silakan dibaca tulisan-tulisanku sebelumnya tentang bagaimana aku berusaha untuk bangkit kembali. Untuk meyakinkan diri bahwa aku akan baik-baik saja. Aku pergi ke psikolog dan sempat mendapatkan terapi agar depresi yang aku alami bisa berkurang (sebab, sembuh total butuh waktu, kan?). Meskipun memang, sempat terpikir untuk berpindah tempat berlabuh karena ada beberapa hal yang aku pikir, aku tidak akan selamat berada di situ.

Bayangkan saja, kami masih berada pada satu kantor yang sama, kami berada di satu payung besar divisi yang sama, meja kami masih berseberangan dan tempat tinggal kami berdampingan. Aku sempat pesimis bahwa aku akan baik-baik saja dengan tetap beraktivitas di situ.

Tetapi ternyata, 7 bulan terhitung, aku tidak menyangka kalau aku bisa bertumbuh sampai “segini” banyak. Bagiku sendiri, itu adalah sebuah pencapaian. Misalnya saja dengan aku mengadakan Baca Bareng, mendapatkan double job di Ubud Writers and Readers Festival 2019, menjadi guest speaker di dua kanal podcast, hingga yang paling terakhir, aku terpilih menjadi salah satu peers untuk Bedah Buku Conference Batch 3 2019.

I Never Expected, Broken Heart Leads Me to Opportunities

Sesungguhnya, sejak akhir 2019, teman-teman Goodreads Indonesia menawarkanku untuk ikut membantu mereka siaran radio. Mengisi salah satu slot siaran di Radio Pelita Kasih. Maka, aku bisa bilang kalau aku membuka 2020 dengan (kembali) menjadi penyiar radio untuk Klub Siaran Goodreads Indonesia. Teman-teman Goodreads Indonesia juga mengajakku menjadi moderator kegiatan diskusi buku di POST, sebuah toko buku independen yang menjadi favoritku.

Ketika menjadi moderator untuk memandu diskusi dengan Djokolelono, penulis buku anak dan dewasa

Tapi, yang membuatku semangat mengawali 2020 dengan optimisme bukan hanya dari situ.

Sebagaimana kegiatan rutin tahunan, kami yang berada di kantor menghelat seleksi RKMENTEE untuk tahun 2020. Sebenarnya seleksi sudah berjalan sejak kuartal akhir 2019, tetapi tahap seleksi akhir yang bersifat bootcamp selama dua minggu selalu dilaksanakan di minggu pertama Januari 2020.

Proses seleksi itu sendiri memakan waktu yang cukup banyak, menguras energi, dan yang pasti membutuhkan kerjasama tim dengan koordinasi yang tidak main-main. Kami selalu memilih human capital paling baik dari kandidat yang juga berkualitas baik pula. Maka tidak heran jika ketika seleksi akhir (yang kemudian kami sebut sebagai Living The Experience/LTE) selalu melibatkan banyak pihak untuk melakukan observasi terhadap kandidat RKMENTEE yang nantinya akan belajar selama 2 tahun.

Berkaca pada pengalaman sebelumnya, aku sebetulnya sudah tidak banyak terlibat. Sebagai seorang veteran (aku adalah RKMENTEE 2016), aku pun tidak begitu ambil pusing. Sebab biasanya, yang menjadi steering committee adalah senior RKMENTEE yang baru saja lulus. Namun untuk seleksi RKMENTEE 2020 ini berbeda.

Mereka mengundangku untuk mejadi “kakak senior.”

Teknisnya kurang lebih adalah aku diberikan slot waktu antara 30-60 menit untuk memimpin jalannya kelas. Slotnya bisa di pagi hari sebelum memulai rangkaian kegiatan Living the Experience (LTE) atau di malam hari ketika mereka sudah selesai berkegiatan. Aku bertugas untuk membuat state of mind mereka stabil dan tenang melalui kegiatan menulis jurnal. Bahwa semua yang akan atau sudah mereka lakukan patut disyukuri. Lebih penting lagi, self-acceptance. Tidak menyalahkan diri sendiri namun melakukan intropeksi agar selanjutnya bisa berbuat lebih baik.

Bersama peserta LTE 2020, panitia RKMENTEE 2020 dan veteran RKMENTEE 206. Sebelumnya, aku memberikan sesi jurnal di pagi hari.

Di situlah aku “terketuk.” Aku yang masih berjuang untuk sembuh dari depresi dan menata hati yang sempat diporakporandakan seseorang harus mengajak peserta LTE menerima dirinya sendiri. Tentu saja aku wajib mempraktikkan self-acceptance terlebih dahulu.

Teman-teman panitia RKMENTEE 2020 yang terdiri dari RKMENTE 2018 dan RKMENTEE 2019 memberikanku kepercayaan dan keterlibatan dalam Living The Experience. That “belonging” feeling yang sebelumnya sempat tidak aku rasakan sepanjang tahun 2019. Perannya bahkan tidak main-main. Aku diminta untuk membuat peserta merasa “aman” dan “nyaman.” Menjaga kewarasan mereka di tengah kegiatan seleksi yang sungguh padat dan menguras otak.

Teman-teman panitia RKMENTEE2020 (RKMENTEE 2018 dan RKMENTEE 2019) plus, Yudi (baju hitam di kiri belakang) RKMENTEE 2016, yang juga menyemangatiku untuk terus bergerak maju.

Ketika aku masih berusaha untuk kembali mencintai diriku sendiri setelah badai yang aku terpa sepanjang tahun 2019, mereka membantuku menyambut tahun 2020 dengan sebuah kehangatan bahwa aku masih diterima dalam lingkaran RKMENTEE kami. Aku yang insecure dengan kapabilitas diriku, dikuatkan oleh mereka yang memberikanku kepercayaan kalau aku bisa. Kalau aku memang punya kemampuan.

Dengan kata lain, mereka membantuku berproses. Bukan. Bukan aku yang membuat peserta LTE berproses, tetapi mereka. Para peserta LTE dan panitia RKMENTEE 2020. Merekalah yang menguatkanku.

(Tulisan ini tulisan apresiasi untuk Barka, Fathur, Ami, Inu, Putri, dan Bunga atas kerja kerasnya menghelat seleksi RKMENTEE 2020 yang keren sekali!)

— January 21, 2020

One thought on “If I’m Not Strong, What Do You Call Me?

  1. “I Never Expected, Broken Heart Leads Me to Opportunities” …

    That sentence captures the whole experience of pain and what comes out of it. C. S. Lewis in “The Problem of Pain” argues that we’ll never completely understand the reason why the all-loving God allows human beings to suffer, but your sentence clearly shows that you’ve earned something out of it. You’ve grown stronger. Congratulations! šŸ™‚

What Do You Think?