Dalam sebuah sesi coaching, seniorku bertanya, “Apa yang kamu inginkan ketika tua nanti?” Kami diminta untuk menggambarkan jawaban itu menggunakan Lego. Lima belas menit kemudian, kami diminta menceritakan di depan rekan kerja yang lain. Aku pun mempresentasikan sebuah gedung.

Sesi itu menjadi pemantik. Menanyakan lagi apa yang sebenarnya aku inginkan. Jangan-jangan keinginan yang sempat menjadi cita-cita hanyalah dorongan impulsif semata. Bisa jadi, itu semua tidak berangkat dari hati sendiri. Aku pun “dipaksa” untuk melihat kembali dalam diri. Mencoba mengartikulasikan apa yang aku sebut sebagai “passion” sebagai tujuan di hari tua.

Apakah Menjadi Pianis?

Aku hanya pernah bermain piano dari usia 8 tahun hingga 22 tahun. Selama waktu itu pula, aku sama sekali tidak punya pikiran untuk menjadi musisi seperti Isyana Sarasvati ataupun pemain orkestra seperti Levi Gunadi. Aku senang bisa bermain piano. Senang juga ketika diberi amanah untuk mengajar anak-anak bermain piano.

Menjadi pianis sebagai tujuan di hari tua sepertinya bukanlah hal yang tepat untukku. Piano masih menjadi sebuah hobi hingga saat ini. Begitu juga dengan mengajar anak-anak

Bagaimana Kalau Menjadi Mbak-Mbak Toko Buku?

Ketika kuliah, aku sempat menonton sebuah drama Jepang yang menarik. Judulnya, Biblia Koshodo no Jiken Techo atau dalam bahasa Inggris The Unique Case of Biblia Bookstore. Tokoh utamanya bernama Shinokawa Shioriko. Ia menjaga toko buku unik tersebut dengan 2 rekannya. Bersama mereka, Shioriko-san menemukan kasus menarik nan unik yang semua berbasis buku. Di samping kasus itu, drama ini juga memberikan penonton pengetahuan umum tentang bagaimana mengelola toko buku bekas di Jepang.

Selama menonton 11 episode drama ini, aku jadi terbayang untuk punya toko buku independen sendiri. Ya seperti POST atau Transit di Pasar Santa, Jakarta. Mengkurasi koleksi yang aku tawarkan. Tidak sekadar hanya memajang tanpa tahu alasan mengapa aku memilih judul itu untuk bertengger di tokoku, menanti disapa pembacanya. Apalagi dengan kecintaanku terhadap buku yang begitu besar, menjadi Shoriko-san versiku sendiri rasanya masih mungkin untuk dicapai.

…Tetapi, Punya Kedai Kopi Juga Menarik…

Sebelum pandemi membatasi ruang gerak manusia, aku senang sekali menghabiskan akhir pekan dengan pergi sendirian ke kedai kopi. Apalagi kalau bukan untuk membaca buku. Suasana kedai kopi dengan keriuhan khasnya membawaku pada atmosfer membaca yang lebih asyik. Suara obrolan sayup-sayup, aroma biji kopi yang tengah diolah, musik latar belakang yang kadang tidak terlalu terdengar, membuat pengalaman membacaku berbeda dibandingkan dengan di kamar saja.

Ketika bisnis kedai kopi mungil nan imut menjamur, aku sempat berpikir untuk punya bisnis serupa suatu saat nanti. Tetapi, setelah dipikir-pikir plus hitung-hitungan kasar, kemampuanku masih belum mumpuni untuk menjalani bisnis. Aku jadi melirik bagaimana C2O Library di Surabaya memanjakan pengunjungnya: menyediakan sajian teh. Ada teh telang, ada teh rosela. Minuman hangat itu bisa disesap pengunjung sembari membaca koleksi yang mereka pinjam. Ditemani oleh kucing-kucing hitam putih yang kadang suka mencari perhatian.

Aku pikir, mengadopsi apa yang C2O Library lakukan rasa-rasanya juga tidak salah.

Jadi, Mengapa Tidak Ketiganya Saja?

Akhirnya tergambar sudah apa yang ingin aku dapatkan ketika sudah masuk masa pensiun nanti: aku ingin punya satu tempat yang terdiri dari toko buku independen, kedai teh sederhana tempat pengunjung bisa membaca & bersantap santai, dilengkapi dengan sebuah piano di sudut ruangan. Bahkan kalau bisa, ada ruangan yang dikhususkan untuk mengajar (oh, aku rindu mengajar ternyata!).

Memiliki dan mengelola tiga hal yang menyenangkan itu rasanya seperti mimpi. Mengawinkan kesukaanku terhadap buku, musik, dan kedai kopi & teh. Aku membayangkan, pengunjung toko buku bisa bermain piano untuk memecah keheningan tempat itu atau sekadar menemani pembaca yang asik mengeksplorasi rak buku. Bisa juga menjadi tempat untuk perkenalan manis. Sebagai pengelola sekaligus pemilik tempat itu, seru sekali bisa bertemu orang-orang baru, berinteraksi membentuk obrolan ringan yang siapa tahu berujung kolaborasi literasi.

Hmm.. sepertinya ide itu tidak lagi sekadar mimpi. Bisa kok dijadikan kenyataan. Setuju nggak?

— August 7, 2021

One thought on “Bagaimana Aku Membayangkan Hari Tuaku

  1. Entah kenapa aku suka tema minggu ini. Baru membayangkan hal-hal impian aja udah bikin senyum-senyum sendiri. Aku doain biar bisa terwujud! Amiinnnn!

    Btw, bisa nonton drama Jepangnya di mana, Hes?

What Do You Think?