Sejak awal 2021, setiap akhir pekanku sudah penuh. Mulai dari mengikuti kelas Career Class, siaran bersama Klub Siaran Goodreads Indonesia, mengisi sesi webinar dari teman-teman yang mengajak kolaborasi, ikut berpartisipasi dalam klub buku daring, hingga menggelar kegiatan Baca Bareng. Hidupku rasanya berjalan dengan cepat. Senin sampai Jumat bekerja secara formal. Sabtu dan Minggu akrobat bak pemain sirkus. Meski semuanya dilakukan dalam ranah industri/ekosistem literasi yang kucintai, tetapi namanya kelelahan tidak bisa direpresi.

Aku sempat ingin memelankan laju pada bulan September. Alih-alih langsung menolak semua tawaran kolaborasi yang masuk, aku mengkurasi satu per satu. Mempertimbangkan akan sebesar apa energi yang harus dikeluarkan. Tapi rupanya, aku masih saja kelimpungan mengatur jadwal. Lagi-lagi kecapekan. Ditambah pula “burn out” yang sempat melanda sejak akhir September. Kalau biasanya pelarianku adalah dengan membaca setiap kali stres, kali ini malah dilanda “reading slump.” Rasanya sungguh tidak ada nafsu untuk memulai membaca barang satu halaman saja. Perasaan tidak enak ini menghantui terus dan berimbas pada keputusanku untuk “mute” beberapa akun serta kata kunci yang berhubungan dengan buku/literasi di Twitter.

Konsultasi dengan psikologku memang sangat membantu, tapi aku juga sadar kalau “usaha penyelematan” dari “burn out” harus dilakukan secara nyata.

Akhirnya, Ruang Terbuka Hijau di DKI Dibuka!

Agak kesal juga mengingat bagaimana pemerintah menunda pembukaan taman dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dibanding membuka pusat perbelanjaan. Padahal, membuka RTH jauh lebih inklusif untuk warga. Tidak perlu ponsel pintar untuk bisa mengakses aplikasi Peduli Lindungi dan memindai “QR Code” hanya untuk masuk. Warga juga bisa membawa kudapan buatan sendiri untuk sekadar menjadi teman duduk-duduk di taman.

Sekitar tanggal 18 Oktober 2021 kemarin, pemerintah mengumumkan bahwa DKI berada pada PPKM Level 2 yang artinya sudah lebih aman untuk melakukan kegiatan luar ruangan. Hal ini didorong juga oleh data jumlah penduduk yang sudah divaksin. Keputusan yang mengikuti pengumuman tersebut adalah dibukanya RTH sebagai sarana rekreasi warga.

Tidak pakai banyak berencana aneh-aneh, aku langsung meniatkan diri pergi ke Taman Situ Lembang, Menteng, Jakarta Pusat. Jaraknya hanya sekitar 5km dari lokasi tinggalku sekarang yang berada di Jakarta Barat. Kebetulan sekali, agendaku di akhir pekan (24/10) tidak padat. Hanya ada satu kelas dan aku putuskan untuk membolos saja (mohon jangan ditiru ya ehe). Aku sengaja tidak membuat janji dengan siapapun. Tidak juga mengajak orang lain. Aku ingin mengalaminya sendiri piknik sambil membaca di Taman Situ Lembang.

Karena letaknya yang berseberangan dengan rak Jakarta Bookhive, sekalian saja aku meninggalkan beberapa buku yang tidak dibaca. Sebagian besar masih disegel. Aku pikir, daripada teronggok menjadi tumpukan debu di kamar, mengapa tidak diadopsi saja oleh orang lain. Itu akan lebih berguna, bukan?

Dengan berbekal es teh manis yang kusimpan dalam termos ungu, membaca di Taman Situ Lembang menjadi sebuah sesi “slowing down” ujicoba. Sengaja aku pilih judul terbaru dari seri Theodore Boone karya John Grisham karena merupakan novel anak-anak yang sudah kuikuti sejak 2010. Membaca yang familiar bagiku terasa lebih mudah supaya aku “being present at the moment.” Apalagi ini “reading for pleasure,” tentu faktor kesenangan menjadi hal kunci dalam kegiatan membacaku.

Taman Situ Lembang sekitar pukul 10:00 WIB tidak ramai. Beberapa keluarga serta muda-mudi duduk di bangku dan rumput-rumput. Ada sekumpulan angsa yang berenang di tengah situ, kadang mereka ke taman dan menjadi obyek foto manusia. Petugas terlihat tidak intrusif. Mereka cuma membersihkan beberapa sampah dedaunan.

Suara anak-anak berlarian tidak mengganggu sehingga aku tidak perlu menyetel musik untuk tetap fokus membaca. Pun suara kendaraan bermotor yang sangat jarang sebab Taman Situ Lembang terletak dalam komplek perumahan, bukan di tepi jalan raya. Sinar matahari belum begitu terik. Sembilan puluh menit di sana sungguh membawa kenyamanan.

Efek Samping Sesi “Slowing Down”

Meski hanya 90 menit, rasanya membuat senang. Aku jadi menebak-nebak bagaimana jika datang lebih pagi ketika belum terlalu panas. Mungkin aku bisa menghabiskan lebih dari 2 jam di sana dan asyik tenggelam membaca.

Mengamati bagaimana emosiku menjadi lebih positif setelah sesi “slowing down,” aku bertekad untuk merutinkannya. Bisa jadi sebulan dua kali dalam rangka menjaga kewarasanku. Juga supaya tetap bisa berfungsi secara optimal baik untuk urusan profesional atau kolaborasi yang membutuhkan kreativitas.

Seperti yang disampaikan oleh Susan Elderkin dalam TEDxSherborne, membaca adalah tindakan radikal. Dia berkata demikian karena membaca merupakan cara untuk mengklaim waktu kita sendiri. Ketika aku bertekad menghabiskan Minggu pagi dengan membaca di Taman Situ Lembang, di situlah aku merasa merdeka dengan waktuku. Aku memilih membaca dan tidak ada yang bisa mengganggu.

Membaca di RTH juga merupakan hal yang punya dampak positif pada manusia. Mengutip Johann Hari dalam bukunya, Lost Connection, manusia memang punya ikatan dengan alam. Tanpa kehadiran RTH, manusia urban akan cepat stres. Mengombinasikan “reading pleasure” dengan “back to nature” (meski hanya RTH) akan membantu mengelola stres tersebut.

“Slowing down” secara umum membuat kita memahami diri lebih baik, membantu berpikir tentang apa yang sedang dihadapi, membantu mensyukuri apa yang dimiliki, dan banyak hal yang sering diabaikan karena tuntutan kehidupan yang “fast-paced” hingga mempertanyankan tujuan hidup ini. Apa yang ditulis oleh Haemin Sunim dalam The Things You Can See Only When You Slow Down benar bisa kita rasakan jika menerapkannya. Bukan cuma dibaca dan direnungkan saja.

Dan membaca di RTH bisa menjadi titik mulanya. Berminat untuk mencoba?

— October 24, 2021

2 thoughts on “This is How Slowing Down Looks Like

  1. pengen banget baca buku di luar rumah, sepertinya akan lebih asik dan asri ya 😀

What Do You Think?