Dalam tulisan-tulisanku di blog ini, sudah berulang kali disebutkan kalau buku adalah sang penyelamat. Mau itu berbentuk betulan buku fisik/digital, acara buku, atau komunitas buku. Apapun yang berhubungan dengan buku menjadi sesuatu yang membuatku waras. Bahkan hingga hari ini. Saat Indonesia masih saja belum bisa mengendalikan pandemi.

Tiba-tiba pertanyaan, “What if there is no book?

Jadi teringat plot novel distopia Fahrenheit 451 dari Ray Bradbury. Kondisi yang mengharamkan adanya buku. Kata Fireman (dalam novel itu), buku akan merusak isi kepala dan menghabiskan waktu kita. Lebih baik menonton televisi.

Apa yang ditulis Ray Bradbury dalam Fahrenheit 451 dilihat sebagai hal yang tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa umat manusia hidup tanpa buku? Mungkin itu yang ada di benak kita. Tetapi lihatlah, kejadian tahun lalu ketika Ravio Patra ditangkap paksa. Buku-bukunya disita. Semuanya dianggap berbahaya. Dari situ aku terdorong untuk membuat kegiatan #BacaFahrenheit451Bareng sebagai sebuah aksi perlawanan sederhana. Apa yang menimpa Ravio seakan sebagai perwujudan nyata dari cerita Bradbury di Indonesia. Menciptakan narasi kalau seseorang yang memiliki banyak buku dan membaca maka ia berbahaya.

Jangan-jangan memang begitu caranya untuk membodohi suatu komunitas secara masif. Outsmart them by banned some books. Seperti yang dilakukan oleh General Mao ketika ia memerintah Tiongkok dahulu.

Tidak Ada Buku, Tidak Ada yang Diabadikan

Buku adalah alat rekam yang paling kuno. Melalui proses pengarsipan dan penyimpanan, buku bisa terjaga untuk menyebarluaskan informasi secara turun temurun. Melihat sejarahnya saja, kita sudah bisa menduga bagaimana pentingnya kehadiran alat cetak pada abad 15 dan teknologi yang membantu proses penjilidan kertas. Buku membuat informasi di dalamnya dapat beredar luas dengan kemungkinan kecil diubah oleh penerimanya.

Contoh, ayahku memberikan 1984-nya George Orwell. Dia menceritakan bagaimana propaganda Big Brother berbunyi, “War is Peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength.” Ketika buku diterima, teks propaganda itu tidak berubah. Dia tetap seperti itu. Meski aku membeli edisi terbaru pun, teksnya akan tetap berbunyi tiga kalimat.

Bandingkan jika proses perekaman informasi tidak menggunakan kertas dan buku. Sangat mudah untuk diubah dan dialihkan. Melalui cerita atau dongeng, kemungkinan “revisi”-nya menjadi sangat besar.

Masih ingat dengan permainan Komunikata? Anggap saja penyebarluasan informasi hanya berbasis pesan suara. Apa yang dikirim oleh komunikator belum tentu diterima dengan sama persis oleh komunikan. Bisa saja ada yang ditambahkan dan ada yang dikurangi. Malah menimbulkan keributan dan keresahan. Belum lagi dengan kapasitas daya ingat manusia yang terbatas. Kekacauan bisa dengan mudah terjadi kalau hanya berharap pada pesan suara.

Bisa-bisa sumber informasi hadirnya dari akun Instagram Lambe Turah dan Overheard yang… tahu sendiri kredibilitasnya seperti apa.

Kehadiran buku membuat pesan kita menjadi lebih otentik. Bisa dipertanggungjawabkan (sekaligus divalidasi).

Without Book, I No Longer Be Saved

Kali ini coba aku dekatkan lagi pada lensa pribadi. Buku sudah menjadi bagian penting dalam hidupku. Hobi, pendidikan, dan pekerjaanku semua berhubungan dengan buku. Kalau misal Thanos datang dan kekuatan menjetikkan jarinya adalah untuk menghilangkan buku… sepertinya aku ikut menghilang juga.

Apa yang dilakukan Thanos serupa dengan resetting satu elemen penting dalam kehidupan manusia. Seperti konsep butterfly effect. Aku lahir ke dunia sudah dengan pakta bahwa semua hal yang ada hubungannya denganku, akan bersinggungan dengan buku. Secara logika, ketika buku menjadi item yang dimusnahkan oleh Thanos, maka aku juga tidak akan ada di dunia ini.

…Oke, ini sudah semakin melantur.

Aku menyadari kalau hidupku terselamatkan dengan buku pada pertengahan 2019. The main reason why I am still alive after that heart break is because I love books more. Psikologku menyaran membaca buku Haemin Sunim. Aku menginisiasi Baca Bareng dan semakin aktif dalam skena perbukuan… hingga aku bisa berkarir dalam industrinya itu sendiri.

Jikalau tidak ada buku, mungkin aku akan “kabur” pada hal lain yang masih perlu dilatih rasa cintanya. Bermain musik misal. Aku suka main piano, tetapi itu bukan menjadi hal yang ingin kulakukan sepanjang hayat ataupun menjadi tumpuan. Merajut? Aku hanya melakukannya sekadar sebagai pengisi waktu luang. Yang terburuk tanpa kehadiran buku adalah pelarianku pada hal-hal yang tidak sehat. Jajan boba setiap hari? Beli Kopi Kenangan setiap jam makan siang? Sama saja. Aku malah akan mati dengan lebih cepat.

I just can not imagine.

Jika Fireman membakar semua buku. Jika General Mao kembali hidup & menguasai dunia. Jika Thanos menjetikkan jarinya.

Sebelum hal yang aku takutkan itu betulan kejadian, I want to dedicate myself to this literacy ecosystem. Meski aku tahu, susahnya minta ampun. Meski aku tahu, akan ada banyak pihak yang tidak suka denganku. But, book is already the love of my life. How could I quit?

— July 24, 2021

5 thoughts on “Kalau Tidak Pernah Ada Buku

  1. Amit-amit banget nggak sih kalo buku sampe beneran nggak ada. Huhu. Setuju banget, kayaknya kita beneran ikutan ilang, deh. 🙁

    Btw Hesti suka jajan Boba apaa? *lho jadi salah fokus wkwk

  2. Buku ini menyelamatkan dengan caranya sendiri ya Hes 🙂

    Bagian yang buku disita karena dianggap berbahaya itu miris sekali sih, apalagi yang nggak nyambung sama sekali dengan dugaan mentah yang dijatuhkan ke ybs. Fiksi rasa realita kok jadi makin mirip gini 😐

  3. Bener bangett, buku adalah penyelamat—apalagi di masa pandemi ini. Gak tau harus gimana kalau gak ada buku:(

  4. wah, sepemikiran. “The main reason why I am still alive after that heart break is because I love books more.” aku juga sama.
    Membaca buku mencegahku berbuat yang “belok”. Lingkungan kerjaku terkadang tidak sehat, bahkan terkadang lingkungan dalam keluarga juga begitu. Akan tetapi dengan membaca buku membuat otak dan pikiranku tetap positive, hanya dengan membaca buku kita bisa tenggelam sendirian dengan isi buku tanpa terlalu peduli dengan perkataan dan perbuatan orang-orang disekitar yang kita tidak sukai

What Do You Think?