Dalam waktu berdekatan, follower-ku di media sosial pasti tahu kalau berkali-kali aku menunggah informasi bahwa aku sempat menjadi tamu di dua kanal podcast. Padahal wawancara dilakukan dua kali saja tetap sampai ada 3 episode berbeda. Dua adalah episode dari Kepo Buku dan satu dari Podcast Buku Kutu.
Hal ini rasa-rasanya karena Baca Bareng. Sebuah klub buku sunyi senyap yang aku gerakkan. Pertama kali, Bang Rane (host Kepo Buku) menghubungiku dan menanyakan kesediaanku. Karena kebetulan aku masih di Ubud untuk UWRF, akhirnya jadwal wawancara harus diatur kembali. Alih-alih membicarakan tentang Baca Bareng, Bang Rane menawarkan ada satu lagi materi: tentang pengalamanku menjadi relawan di UWRF tahun ini.
Yang kedua kalinya datang dari mas Adit, host Podcast Buku Kutu. Sebelumnya, kami sudah pernah bertemu gara-gara mas Adit penasaran dengan tulisanku yang pernah aku unggah di LinkedIn. Namun waktu itu hanya saling membicarakan tentang ide dan gagasan mengenai perkembangan komunitas literasi di Indonesia. Ketika Baca Bareng semakin banyak diduplikasi di berbagai tempat, mas Adit menawarkan kolaborasi yang tentu saja aku sambut baik (aku selalu antusias kalau membicarakan dunia buku dan literasi). Yang awalnya hanya untuk mencari tahu tentang Baca Bareng, ternyata rekaman kami malam itu malah semakin mendalam: tentang komunitas buku yang ada di Indonesia.
Dari dua kali berbincang dengan orang-orang yang sudah lebih dulu berada di dunia podcast, mereka memberi komentar yang senada, “Lu kenapa nggak bikin podcast sendiri sih, Hes?” Aku cuma menjawab, belum siap dan belum pede.
(Bukan) Anak Radio
Beberapa podcast yang aku dengarkan selain Kepo Buku dan Podcast Buku Kutu ada Subjective milik Iqbal Hariadi (yang mana aku juga kenal dengan host-nya). Ketiga host-nya adalah orang dari latar belakang berbeda. Bang Rane lama malang melintang di radio, mas Adit berlatar belakang start-up, begitu pula dengan Iqbal. Namun mereka semua pede untuk bersuara, mengungkapkan pendapatnya.
Ketika rekaman bersama Kepo Buku, Bang Rane sempat nyeletuk, “Suara lu udah suara radio nih!” dan ingatanku kembali pada masa-masa semester akhir perkuliahan. Demi bisa membiayai skripsiku, aku mencari pekerjaan sampingan selain menjadi guru piano dan asisten peneliti. Yes, aku sempat bekerja di salah satu start-up yang berkolaborasi dengan radio di Surabaya. Atasanku langsung memercayakan tampuk co-host acara radio itu kepadaku. Aku lupa berapa episode yang sempat aku pegang tetapi rasanya itu sudah cukup memberikanku informasi mendasar tentang bersuara di depan mic.
Kalau mas Adit dan Iqbal saja bisa dan berani, mengapa aku yang sudah sempat “mencicipi” radio tidak mau mencoba?
Undeniable Unique
Kalau aku tidak malas menjelaskan, aku pasti dengan bangga akan menjawab bahwa aku lulusan Ilmu Perpustakaan kepada siapapun yang bertanya latar belakang pendidikanku. Biasanya, orang-orang tidak bisa menebak hal ini karena…sampai sekarang jurusan Ilmu Perpustakaan masih dianggap underdog. Berbeda dengan jurusan Ilmu Komunikasi atau Ilmu Hubungan Internasional.
Mengingat latar belakangku yang belum banyak dikenal orang, aku merasa disitulah titik uniknya. Sebagai lulusan Ilmu Perpustakaan, aku juga bisa berbagi apa saja hal yang pernah aku pelajari semasa kuliah. Bahkan aku juga bisa melakukan analisis atau menjelaskan fenomena budaya membaca dengan pendekatan keilmuanku – sebuah cara yang mana belum banyak dibahas melalui media bernama podcast. Ragam informasi yang ada di media juga menjadi variatif.
Ya siapa tahu, gara-gara podcast, makin banyak orang yang mendalami Ilmu Perpustakaan benar karena minat. Bukan karena anggapan, “Yang penting aku punya ijazah sarjana.”
Practice Makes Perfect
Bukan. Bukan tagline yang ada di footer buku tulis Sinar Dunia. Melainkan sebuah prinsip yang memang harusnya sudah aku pegang sejak awal. Semakin sering berlatih maka akan menjadi semakin mahir. Alah bisa karena biasa. Teori 10.000 jam. Sebutkan semuanya namun pada intinya sama: konsistensi, persistensi, dan self-discipline.
Dari dulu zaman kuliah hingga hari ini, sangat sedikit orang yang bisa menebak latar belakang keilmuanku. Mereka rata-rata akan bilang bahwa aku berasal dari Ilmu Komunikasi. Mereka melihat bagaimana caraku berbicara dan menyampaikan pesan. Dan ketika aku mengatakan yang sebenarnya, mereka cukup takjub.
Seperti yang sudah aku tuliskan di atas, aku sempat menjadi co-host dalam sebuah sesi di radio. Ketika UWRF19 pun aku sempat menjadi host di beberapa panel. Di Rumah Perubahan pun aku sudah sering melakukan presentasi buku di depan Prof. Rhenald Kasali. Masa membuat podcast yang mana bisa di-edit dan tidak melihat audiens saja aku tidak bisa?
Maka bagiku, menekuni podcast bisa menjadi saranaku untuk berlatih berkomunikasi agar menjadi lebih efisien. Ya kan?
Komitmen itu Butuh Konsistensi
Ketika aku memutuskan untuk membuat podcast, secara implisit aku juga berkomitmen pada diriku sendiri agar konsisten menjalankannya. Podcast yang aku buat ini bukan semata-mata sebagai bentuk “kesibukan” karena pemulihan paska patah hati, tetapi memang merupakan sesuatu yang ingin aku kerjakan. Sebagai informasi, keinginanku untuk membuat podcast sempat terbesit sejak awal tahun 2019, tetapi tidak pernah aku realisasikan karena masih ragu-ragu.
Dengan “memaksakan” diri agar memproduksi podcast secara rutin, aku juga mendorong diri agar terus terkoneksi dan terhubung dengan informasi dan ilmu yang baru. Aku juga tidak menutup kemungkinan kalau ilmu dan informasi yang aku dapatkan punya makna yang luas. Bukankah belajar selalu menjadi hal yang menyenangkan?
Setidaknya, itu adalah caraku agar aku bisa tetap relevan dengan perkembangan zaman: dengan terus update informasi – seperti yang biasa dikatakan oleh Prof. Rhenald Kasali.
Yep, maka pada tanggal 11 November kemarin secara spontan aku lahirkan podcast Hzboy Reads. Sengaja aku beri nama itu karena “Hzboy” sudah cukup melekat dengan branding-ku. Dan “Reads” sesederhana karena aku sering berbagi tentang bacaanku. Tapi aku tidak hanya membahas resensi buku saja. Lebih dari itu. Maka, jika kamu pengguna Spotify, silakan ketik “Hzboy Reads” di kolom pencarian. Jangan lupa untuk klik “follow” ya!
— November 14, 2019
Follow the podcast on Spotify already! Nggak sabar untuk mendengar episode-episode selanjutnya Kak Hestia 🙂 Farah sendiri juga ada rencananya ingin merilis podcast… Tapi sepertinya baru akan terealisasi tahun 2020 😀