Dari beragam tulisan, artikel, buku yang menceritakan tentang kisah perjalanan seperti karya Windy Ariestanty maupun Agustinus Wibowo, keduanya secara eksplisit mengatakan kalau bepergian adalah cara yang indah untuk pulang. Untuk kembali kepada tempat dimana semua berawal.
Tugas hari ini ialah mendesain ulang salah satu materi yang kurang lebih mendorong semua orang untuk melakukan solo traveling and get lost. Menggali materi tersebut hingga aku mengakses tulisan dari Buzzfeed mengenai alasan mengapa usia 20an seharusnya memang melakukan wisata perjalanan seorang diri. Di salah satu poin, aku temukan frasa itu lagi: kita pergi untuk pulang.
Aku cuma sekedar numpang lahir di ibukota Jakarta. Tidak sempat menjadi besar lantaran pekerjaan orangtua mengharuskan kami sekeluarga pindah ke Surabaya, kota yang pada akhirnya bisa aku ucapkan ketika banyak orang heran dengan logat Jawaku yang begitu kental. Dua puluh dua tahun aku tumbuh dan besar di Surabaya, Dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, aku berada di Surabaya. Belum pernah merasakan rasanya tinggal dan survive di kota orang lebih dari satu bulan. Magang dan melakukan KKN hanya 25 hari saja, belum pernah merasakan seperti yang dialami oleh mahasiswa rantau.
Mencoba apply beragam program pertukaran pelajar tetapi belum ada satupun yang diterima. Mau mencoba untuk apply beasiswa di luar negeri, ternyata Tuhan memberikan kesempatan yang lain lagi: mendapatkan kesempatan magang di Rumah Perubahan selama 2 tahun.
Tertunda Bukan Berarti Berakhir
Tertunda? Iya. Tapi ternyata dibalik tertundanya itu Tuhan tengah mempersiapkan hal yang lebih besar lagi. Aku “dilemparkan” di tempat yang benar-benar baru: di Bekasi. Kalau di Jakarta saja, aku minimal sudah paham dengan keadaan di sana. Ini berbeda. Tuhan menginginkan aku untuk benar-benar belajar dari tempat yang sama sekali asing, yang belum pernah aku jamah.
Sebab, bisa jadi tertunda untuk sekolah di luar negeri ini malah tengah mempersiapkan mentalku dengan beragam tantangan. Bisa jadi Tuhan memberiku percobaan dengan menempatkan tetap di Indonesia namun wilayahnya berbeda, terpisah ribuan kilometer dengan dimana tempat orang-orang yang sudah aku kenal, sebelum nantinya aku berada di negeri orang yang bakal lebih jauh lagi perbedaan jarak dan zona waktunya.
Bertahan dalam Pergi untuk Pulang
Ketika berada di tempat yang jauh dari rumah, jauh dari orang-orang yang sudah akrab dengan kita, rasanya kita akan merasa kesepian. Namun, beada dalam kesepian juga mendorong kita untuk mencari kawan yang baru. Seperti salah satu bait puisi Imam Syafii, dengan merantau kita bisa mendapat pengganti dari kawan dan kerabat. Kawan baru bisa berawal dari jejaring pertemanan via internet, bisa juga karena lingkungan sekitar. Dari situ pula, manusia akan semakin berusaha untuk bertahan, sebisa mungkin membuat diri menjadi lebik baik supaya bisa pulang dengan kepala tegak akan rasa bangga.
Harap diingat juga, yang namanya bertahan bisa juga dimaknai sebagai hal yang negatif. Ketika seseorang bertahan hanya untuk sekedar bertahan, bukan untuk menjadi lebih baik setiap harinya, maka sebenarnya ia tidak melakukan suatu peningkatan. Sekembalinya ia ke kampung halaman, secara kualitas diri, ia tidak mendapatkan apa-apa selain cerita (yang sangat mungkin berupa cerita keluh kesah yang didramatisir). Ditulis dalam buku Self Driving milik Prof. Rhenald Kasali, sosok yang menjadi true driver dan true winner adalah mereka yang bertahan dengan cara terus berusaha menjadi pemenang, bukan sekedar mengikuti kompetisi supaya diakui eksistensinya.
Bukankah akan lebih indah jika kita pergi berjuang untuk kembali pulang?
— February 2, 2016