Ada yang menghitung sudah berapa minggu kita berada pada status pandemi? Ada yang menghitung sudah hampir 2 bulan. Bahkan ada yang lebih. Dari yang awalnya masih kaget, mencoba mencerna semua informasi terkait virus COVID-19, hingga beradaptasi dengan pola kehidupan ini. Tidak. Aku tidak mau menggunakan terminologi “new normal” ya karena “normal” sendiri bersifat relatif. Apa yang menurutku “normal” rupanya tidak bagi orang lain. Misalnya, aku menganggap bahwa kegiatan normal adalah ketika aku memasukkan agenda membaca buku ke dalam kegiatan harian. Orang lain ada yang punya opini berbeda.
But anyway, that’s not what I want to share today.
Status di mana sebisa mungkin tidak keluar rumah menuntut semua orang untuk menjadi kreatif. Awalnya cuma satu-dua orang saja hingga akhirnya semuanya memaksimalkan teknologi (Oh iya. Teknologi seperti internet dan ponsel pintar adalah sebuah kemewahan berbeda) untuk membentuk sesuatu. Di sini aku berbicara tentang Instagram dan perannya sebagai media.
Pada akhir Maret hingga kemarin April, aku dan beberapa teman sempat menghelat #DiRumahAja Literary Festival. Yakni sebuah festival sederhana yang memanfaatkan fitur Instagram Live untuk mengadakan wawancara dengan narasumber. Penonton pun tetap bisa melempar pertanyaan melalui kolom komentar yang tersedia. Meskipun durasinya dibatasi oleh Instagram hanya 60 menit, tetapi ternyata hal tersebut cukup membuat antusias para penonton.
Kalau teman-teman mengikuti akun merk di Instagram, misalnya dalam kasusku adalah Gramedia, Mizan, Books Actually, POST, mereka akhirnya juga mengadakan “temu” pembaca secara virtual dengan fitur live yang ada di Instagram. Belum lagi akun-akun personal seperti para bookstagram atau content creator yang tidak mau kalah hype dalam penggunaan fitur ini. Aku pun juga termasuk.
Awalnya aku antusias. Mengikuti beberapa siaran langsung yang memang sesuai minatku. Hingga di satu titik aku merasa overwhelmed oleh informasi Instagram Live. Kini, tidak jarang menemukan beberapa akun menggelar live di waktu yang bersamaan. Pengikut (follower) dipaksa memilih mau yang mana. Ini belum termasuk yang mengadakan diskusi via ZOOM dan aplikasi telekonferens lainnya.
Maka aku pun memilih kembali kepada naturku: membaca. Ketika semua informasi membanjiri lini masa media sosialku. Membombardir dengan aktivitas alir langsung (live streaming) sembari berebut atensi, aku memilih membaca buku saja. Aku membatasi konsumsi informasiku supaya tidak pusing. Sekaligus supaya aku tidak merasakan cemas lagi karena semua pihak berebut perhatian. Kecemasan itu muncul karena takut bahwa aku tidak lagi relevan dengan kehidupan di masa pandemi ini (yang bisa saja ini berlangsung lama seperti yang ada di novel fiksi sains).
Kita semua bisa demikian. Memilah lagi mana yang mau dikonsumsi. Termasuk siaran Instagram live.
— May 9, 2020