Inilah jawaban yang kelak malah membangkitkan jiwa Kartini untuk berontak terhadap peraturan-peraturan. Bahwa menjadi Raden Ayu berarti seorang gadis harus kawin, harus menjadi milik seorang laki-laki, tanpa mempunyai hak untuk bertanya apa, siapa, dan bagaimana.
Gelap-Terang Hidup Kartini – Tim Buku TEMPO
Dalam waktu hanya semalam, aku berhasil menghabiskan sebuah buku saku yang merupakan serial yang dikeluarkan oleh TEMPO. Pertemuanku dengan buku Gelap-Terang Hidup Kartini sebenarnya tidak sengaja. Lagipula, aku juga merasa informasi mendasar tentang Kartini yang aku miliki masih kurang. Dan selama proses membaca tersebut, sinapsis di kepalaku seakan bereaksi. Menghubungkan satu titik dengan titik lain, menjadikannya itu sebagai sebuah informasi baru. Di situlah aku merasa apa yang terjadi padaku terasa semakin masuk akal. Universe conspires.
Tercatat aku pernah memiliki hubungan romantis sepanjang 9 tahun dengan beberapa orang. Baru setahun belakangan, kalau kata warganet, aku menyandang status jomlo. Alias, single. Apakah itu menyedihkan? Tidak.
Selama 9 tahun itu ada banyak hal yang aku pelajari, tentu saja. Namun yang aku sadari ketika aku melajang ialah perihal mereduksi suaraku agar diterima oleh pasanganku ketika itu.
Begini maksudnya. Dalam sebuah hubungan, ada dua orang yang memiliki visi-misi-idealisme-value masing-masing. Melalui proses komunikasi, mereka bersama-sama berusaha menemukan titik tengah tanpa menciderai 4 hal tersebut. Sesuatu yang dipegang teguh oleh individu. Seharusnya, hubungan itu seimbang. Dalam versiku, namanya adalah partnership. Kedua belah pihak tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang terepresi. Namun pada kenyataannya, aku mengalami sendiri ketimpangan tersebut.
Agar dapat diterima dalam lingkungan keluarganya (minimal) ada standar-standar tertentu yang harus dipenuhi. Yang mana sebenarnya membuatku kurang nyaman sebab hal itu bertolak belakang dengan values yang aku pegang. Standar itu kemudian menjadi sebuah persyaratan mutlak yang kemudian berbuah keberatan untukku.
Karena selama 9 tahun itu aku berhadapan dengan standar orang lain agar bisa diterima dalam lingkungan pasanganku, rupanya aku kehilangan suaraku sendiri. Aku tidak bebas untuk mengekspresikan diriku karena khawatir bahwa pasanganku tidak suka. Khawatir kalau lingkungannya akan mencibirnya. Kekhawatiran itu sampai membuatku merasa kalau aku tidak berharga.
Lalu apa kaitannya dengan kutipan dari buku Gelap-Terang Hidup Kartini?
Membaca itu aku menyadari kalau perempuan dari dulu tidak pernah dibiarkan untuk punya suaranya sendiri. Sedari awal, suara orang tuanya (biasanya oleh pihak laki-laki) yang menjadi penunjuk arah. Menuruti apa yang dikatakan oleh mereka dianggap sebagai bentuk bakti. Sedangkan kalau mencoba melawan, akan dilabeli anak durhaka. Kartini menuruti perintah ayahnya untuk dipingit ketika usianya 12 tahun. Selama 4 tahun masa pingitan, ia “dijauhkan” dari dunia luar. Tidak lagi bersekolah. Bahkan harus mengubur mimpi untuk melanjutkan pendidikan di Belanda.
Menuruti apa kata orang tua agar menjadi anak berbakti kemudian menjadi sebuah kewajaran. Anak perempuan harus pakai pakaian tertentu agar tidak menjadi bahan omongan tetangga. Tidak boleh pulang malam, tidak boleh begini-tidak boleh begitu. Rasanya, untuk menjadi perempuan memang harus bersedia diatur oleh pihak lain. Padahal kan, yang mengatur itu tidak merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi (anak) perempuan.
Belum lagi ketika perempuan menikah. Kartini “mengalah” pada permintaan ayahnya untuk menikah. Meski ia sebenarnya bukan istri pertama, tetapi suaminya menuruti keinginannya untuk membangun sekolah bagi para perempuan di sekitarnya. Kartini kritis menjadi istri. Ia menuntut adanya kesetaraan antara dirinya dengan suaminya. Hal itu terlihat pada permintaannya untuk tidak menggunakan bahasa Jawa kromo inggil ketika mereka bercakap.
Aku tidak bisa berkata banyak tentang pernikahan karena aku belum membaca referensi yang cukup terkait hal itu. Tetapi, dari beberapa sumber bacaan, aku melihat kalau seorang istri pun juga tidak punya suaranya sendiri. Di dalam rumah tangga, menggunakan berbagai macam dalih (atau bahkan dalil dan ayat) seakan-akan seorang istri harus tunduk kepada suami tanpa memperbolehkan adanya diskusi sehat. Ya pokoknya harus nurut. Kalau tidak nurut, namanya istri yang tidak solehah. Nanti dosa dan lain sebagainya.
Rupanya menjadi perempuan yang kemudian bisa memiliki dirinya sendiri–suaranya, tubuhnya, ekspresinya–adalah sebuah kemewahan di sini. Yang aku sebut di atas skalanya adalah skala keluarga dan lingkungan terdekat. Belum lagi kalau seorang perempuan berada di rimba raya bernama internet. Mau seperti apapun bentuk ekspresi dirinya selalu ada saja yang berusaha “mengatur”-nya. Membuat seakan-akan perempuan yang berdaya akan dirinya sendiri terasa salah. Padahal kan perempuan juga manusia. Apakah spesies manusia hanya laki-laki saja?
Itulah yang aku (akhirnya) rasakan selama setahun belakangan. Tidak memiliki pasangan membuatku menemukan suaraku yang selama ini berusaha aku redam. Mengembalikan keberadaan diriku seutuhnya sekaligus mencoba percaya diri untuk menunjukkan diriku tanpa adanya standar tertentu yang harus aku penuhi. Membuktikkan kalau definisi sukses dan bahagia versiku tidak harus sama dengan “standard operational procedure” milik orang lain dan masyarakat.
…sekaligus mulai mewujudkan mimpi-mimpi kecil yang selama ini aku imani, agar semesta mengamini.
— July 15, 2020