Namanya ritme. Ritme dalam istilah musik bisa dipahami sebagai ketukan, kecepata (walaupun yang lebih jelasnya lagi disebut dengan istilah “tempo”). Kata “ritme” ini tidak hanya ada dalam kamus musik saja, melainkan juga ada dalam kamus kehidupan. Ritme hidup, kata mereka.
Setiap manusia punya ritmenya sendiri-sendiri. Bagaimana ia memutuskan untuk menjalankan kehidupannya, bagaimana ia mengejar apa yang diimpikannya. Ritme. Ritme bisa digunakan untuk memenuhi ambisi dan obsesi.
Namun kadangkala, ada juga manusia yang tidak memiliki ritme. Ia bergerak sesuka hati, sesuka arus kehidupan membawanya. Jika arus kelewat deras, ia bisa terseret dan susah kembali ke tempat asalnya. Paling mudah ya tren gaya hidup masa kini. Jika kita tidak memiliki ritme sendiri bisa-bisa kita terjerumus masuk dan entah bisa keluar atau tidak.
Ritme bisa menentukan bagaimana kita menikmati hidup. Orang dengan ritme yang cepat belum tentu tidak bisa merasakan waktu secara maksimal (enjoy the moment to the fullest). Orang yang ritmenya cepat bisa saja lebih detil dalam mempersiapkan segala sesuatu sehingga ketika sudah tida waktunya untuk menikmati, ia akan merasakan kenikmatan itu secara optimal. Ritme yang lambat juga belum tentu mereka yang tidak memiliki tujuan hidup. Bisa jadi kan, titik terakhir dalam yang dijalaninya adalah setiap momen yang ia rasakan sehingga baginya adalah fase sedih, senang, suka, duka adalah caranya untuk menikmati hidup.
Orang mungkin akan berpikir, kerja di start-up memiliki ritme yang santai, yang lambat, yang pelan. Tidak sedikit start-up sangat bebas mengenai pakaian. Mau pakai kaos dan celana basket ke kantor? Boleh saja. Hanya mau pakai kaos dan sarung? Tidak ada yang melarang. Namun apakah itu tandanya kalau orang-orang yang ada di start-up tidak memiliki ambisi?
Berada di start-up selama tahun 2015, aku belajar banyak hal. Hal yang selama ini aku tidak kira akan aku temui. Dari yang remeh temeh, hingga yang serius sekalipun. Dari aku yang tidak menganggapnya terlalu penting, hingga aku tahu kalau semua aspek pastilah punya peran, walaupun di kantor start-up dulu aku cuma mbak-mbak administrasi dan merangkap pekerjaan remeh temeh lainnya. Nyatanya, ritme santai yang ada di start-up ternyata bisa membuat perusahaan rintisan tersebut mendapatkan banyak klien. Ritme yang santai lantas tidak melepaskanmu dari tanggung jawab.
Kini, di Rumah Perubahan, aku masih dalam tahap adaptasi. Terutama dengan ritmenya. Kalau dilihat sekilas, kesibukannya sama saja dengan ketika aku di start-up. Akhir pekan sangat memungkinkan untuk bekerja. Tapi ternyata ada yang berbeda. Setiap perusahaan pasti memiliki cara yang menurut mereka bisa membuat para timnya produktif. Budaya. Budaya akan menimbulkan ritme bekerja, apakah itu akan cepat atau malah lambat dan santai.
Sekali lagi, masalah ritme hanyalah cara setiap manusia menata perjalanan untuk mencapai apa yang dijadikan tujuan akhirnya. Setiap orang bisa punya cara berbeda untuk menemukan ritmenya. Ada yang sepertiku, beradaptasi dengan ritme yang tengah berlaku, atau bersikukuh dengan ritme yang sudah ia dalami sebelumnya. Seperti yang ada dalam istilah musik, memang sebaiknya ritme bisa membuat kehidupan jauh lebih menyenangkan. Jangan sampai, ritme-lah yang membuat manusia malah susah untuk maju dan melakukan pembaharuan.
Sudah tentukan seperti apa ritmemu?
— January 27, 2016
Hes.. tulis donk peran pustakawan di dunia yang serba internet ini. Apa sih peran sesungguhnya? Apakah perpustakaan masih relevan?
*maap amatir*