Open minded seringkali menjadi sebuah pernyataan ketika seseorang merasa bahwa dirinya bisa diajak diskusi beragam hal, baik itu yang remeh-temeh hingga pada suatu hal yang kontroversial, seperti masalah orientasi seksual dan keyakinan beragama. Sayangnya, pernyataan itu juga dijadikan cara bertahan dari seseorang yang sebenarnya tidak bisa menerima pendapat yang lain dari apa yang dipahaminya selama ini. Sok mengatakan kalau dirinya sudah banyak membaca buku dan pernah mampir ke negara-negara di luar sana sehingga bisa melabeli diri sebagai orang yang open tetapi nyatanya, dirinya tidak bisa menerima suatu hal yang berbeda.
Open minded lebih mudah jika diistilahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “terbuka”. Yakni, ketika seseorang dengan ringan menerima beragam komentar positif hingga yang negatif namun tidak mudah bereaksi atau reaktif. Melainkan dijadikan sebuah pembelajaran dan koreksi diri. Orang yang terbuka juga menerima masukan dengan hati yang lapang dan tahu benar apa risikonya jika sebagai manusia, kita mengekspos diri ke khalayak umum. Tidak perlu banyak-banyak, misalnya saja dengan lingkungan kampus atau kantor.
Tetapi menjadi terbuka bukan berarti menerima kritikan dan langsung menerapkan kritikan tersebut sebagai landasan dasar untuk berubah. Kalau yang seperti itu, maka ia akan mudah sekali dipengaruhi. Masih ingat dengan kisah anak dan bapak yang diolok karena tidak menunggangi keledainya? Anak dan bapak tersebut berusaha untuk memenuhi ekspektasi dari setiap kelompok masyarakat yang ditemuinya di perjalanan. Lantas, apa yang terjadi? Benar, keduanya tidak dapat menyenangkan semua pihak. Itulah contoh orang yang terbuka namun tidak memiliki prinsip, lebih beratnya lagi, tidak memiliki kompas mau berbuat apa sebenarnya.
Seiring dengan berkembangnya pemikiran manusia (itu bagi mereka yang ingin berkembang), mereka pasti akan menerima banyak komentar kanan-kiri, atas-bawah seharusnya berbuat apa dan mengapa tidak begini atau begitu. Bertahan boleh, tetapi ketika kita merasa ada suatu hal yang tidak bisa kita tinggalkan, ya jangan ditinggal.
Menjadi orang yang terbuka bukan berarti telanjang. Bukan berarti orang lain punya akses terhadap isi “tubuh” kita. Entah itu pemikiran, prinsip, dan hal-hal yang (bagiku) sudah masuk ke dalam ranah pribadi. Boleh saja kita menerima banyak hal untuk menjadikan diri kita orang yang lebih baik dari kemarin, tetapi bukan berarti mempersilahkan siapapun untuk mengotak-atik dan melihat bagaimana “dalemannya” kita. Tentu, masih ingat dengan tulisanku tentang camera branding-kan? Pilihlah sisi yang memang ingin ditonjolkan, namun bukan berarti menipu diri sendiri dengan menjadi orang lain.
Sekali lagi, terbuka itu tidak sama dengan telanjang. Telanjang bisa berarti kalau seseorang mempertontonkan semuanya kepada khalayak publik, sedangkan terbuka, ketika ia bisa memilih mana yang ingin ditonjolkan pun berarti masih mau menerima kritikan, tidak mudah tersinggung, dan dapat memilih mana yang benar-benar bisa membuatnya semakin maju. Sulit memang, tetapi kalau tidak sulit, mana mungkin bisa menjadi sosok yang lebih berharga?
terbuka adalah salah satu dari tujuh tata nilai yang ada di Rumah Perubahan. Disini, aku belajar banyak untuk menjadi orang yang lebih terbuka (alias tidak terlalu keras kepala maupun resisten)
— January 29, 2016