Bukan. Tulisan ini bukan soal meresensi salah satu novel young adult yang aku beri 5 bintang di Goodreads. Ceritanya memang manis. Tapi tulisanku kali ini berbeda kutub dengan kisah cinta anak SMA.
Aku sengaja menulis sebagai salah satu bentuk terapi. Mengekspresikan diri melalui tulisan jauh lebih membuatku rileks, meskipun aku juga menemukan bahwa berlari membantuku untuk mengeluarkan emosi negatif dari kepala. Dan dalam kesempatan ini, aku masih tetap membahas tentang apa yang telah aku pelajari dari peristiwa yang menimpaku sejak semester kedua tahun lalu.
First, Self-Discipline
Sejak aku pindah ke ibukota dan mulai bekerja, aku menyadari bahwa waktu luangku sudah tidak sebanyak dulu. Aku terikat dengan aturan 8 to 5 seperti pekerja kantoran yang lain. Belum lagi kalau ada tugas piket di akhir pekan. Waktuku untuk membaca pun menjadi berkurang. Aku harus pandai mengakali bagaimana caranya agar aku tetap “waras” dengan mempertahankan aktivitas membacaku.
Tulisanku yang lain pernah menyatakan bahwa aku akhirnya membiasakan diri untuk datang ke kantor satu jam lebih awal. Memanfaatkannya untuk membaca buku. Kalau aku punya jeda makan siang yang cukup panjang, aku akan memanfaatkan hal itu. Hingga di tahun pertama aku pindah ke Jakarta, aku tetap bisa membaca lebih dari 50 buku dalam setahun.
Di tahun 2019, self-discipline yang aku terapkan membuahkan hasil. Aku memang bisa membaca sekitar 120 buku kemarin, tetapi yang ingin aku bahas bukan hal itu. Melainkan bagaimana self-discipline membuatku menemukan bahwa kebebasan yang aku dapat adalah ketika aku bisa membaca buku tanpa ada perasaan takut dicemooh. Dengan mendisiplinkan diri, aku bisa menemukan celah-celah waktu diantara kewajibanku untuk “bepergian” ke zona yang berbeda. Aku pun jadi tidak peduli dengan bagaimana orang-orang menilai apa yang aku baca, sebab, hanya di waktu itulah aku merasa bebas. Bisa menjadi diriku sendiri.
Persistence is Good, but, It Won’t Bring Me to Any Victory
Aku belakangan sedang menggemari menonton salah satu drama Tiongkok yang diadaptasi dari komik favoritku saat aku kecil: Prince of Tennis. Salah seorang tokohnya, Mu Siyang, berkata kepada tokoh utama, Lu Xia tentang menjadi pemenang. Kata Siyang, persisten dalam latihan dan bertanding memang baik, tetapi tidak bisa menjadi penentu kemenangan seutuhnya.
Eh? Kok bisa?
Mantan rekan saya pernah mengglorifikasi tentang bekerja keras dan mengatakan bahwa persistensilah yang akan mampu membuat seseorang menjadi berkualitas baik. Tetapi nyatanya, tidak demikian.
Kalau dipikir, apa yang dikatakan oleh Mu Siyang ada benarnya.
Coba bayangkan jika Lu Xia tetap bermain tenis tanpa henti. Latihannya dilipatgandakan oleh ia sendiri dengan harapan, kemampuannya menjadi lebih baik. Tapi, bagaimana jika karena persistensi ia malah menjadi keras kepala dan tidak mau mendengarkan orang lain? Atau mungkin, tidak mau belajar dari kesalahannya? Bangkit dari kegagalannya? Bersikap persisten bisa jadi baik, namun bisa saja menjadi sebuah bumerang.
Aku pun belajar bahwa persisten untuk terus berusaha agar menghasilkan pekerjaan yang optimal boleh saja. Di luar jam kerja, tetap mengusahakan bisa menyampaikan proposal yang outstanding. Belum tentu umpan balik yang diterima sama-sama positifnya. Jangan-jangan ada sisi lain yang dikorbankan: quality time entah itu dengan orang terdekat atau dengan diri sendiri. Padahal quality time malah bisa membantu proses kreatif. Itulah di saat kita mencoba mendengarkan diri sendiri untuk mengetahui apa sih yang sebenarnya ingin dicapai.
That’s Why We Need to be Resilient
Ketika persistensi yang terlalu diglorifikasi nyatanya malah menghasilkan kekecewaan, apa yang harus dilakukan? Bangkit. Namun sayangnya, tidak semua orang memiliki daya lenting atau resiliensi yang baik.
Betul memang setiap orang punya zona waktunya sendiri untuk bisa bangkit dari suatu keterpurukan. Ada yang bisa dalam waktu yang relatif singkat, ada pula yang membutuhkan waktu agak sedikit lama. Yang perlu diingat adalah, harus tetap bergerak agar tidak seperti ikan mati yang terseret arus air. Betul sih, ikannya akan tetap mengambang, tetapi tidak punya jiwa. Kosong.
Sewaktu rekanku memutuskan hubungan intim kami berdua, aku butuh waktu untuk bangkit. Cara-cara diplomatis sudah aku lakukan dan hasilnya adalah nihil meskipun aku mencoba untuk persisten selama kami menjalani hubungan tersebut. Di situlah aku butuh menjadi seseorang yang memiliki resiliensi. Tahu kapan harus berhenti dan kapan bangkit.
Dengan resiliensi, aku jadi tahu bahwa aku harus terus bergerak sepelan apapun itu. Meski cuma berkenalan dengan orang baru, mencoba daftar menjadi relawan TEDxJakarta (dan yes, diterima!), setidaknya aku bukan mengurung diri di kamar sambil mengutuk nasib.
Dengan resiliensi, aku tahu bahwa aku sebenarnya bisa dan memiliki kekuatan untuk memperbaiki hubungan dengan diriku sendiri.
Aku memang masih dalam proses untuk kembali “sehat.” Dan aku lihat, aku bisa menuju ke sana (lagi).
— January 22, 2020