Memasuki minggu kedua dari tulisan kolaboratif Sinekdoks x Hzboy, kali ini kami akan membahas mengenai film horor yang baru saja dirilis di Indonesia, Blair Witch. Tetapi karena ternyata film tersebut adalah sekuel dari film The Blair Witch Project, jadi mengapa tidak menjadikan keduanya dalam satu tulisan kolaboratif sekalian?

Jadi, bagaimanakah pendapat Paskal tentang The Blair Witch Project x Blair Witch?


tbwp

How I stumble into The Blair Witch Project and finally Blair Witch? Easy peasy. Para horror aficionados, terutama penggemar film bergaya found footage, pasti akan selalu mereferensikan The Blair Witch Project di list film horror terbaik sepanjang masa mereka. Selain itu, revolusi yang dilakukan filmmaker-nya terhadap teknik viral marketing bisa dibilang legendaris. Hype yang dihadirkan konon sangat luar biasa saat itu; apalagi internet masih sangat belia dan netizen masih sangat polos. Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana kalau generasi post-milennial yang melek internet menyaksikan film ‘legendaris’ ini tanpa hype viral marketing itu? Apakah akan sama efeknya? Let’s see later.

Sementara itu, 17 tahun pasca The Blair Witch Project, sebuah film yang dipasarkan dengan mode yang berlawanan, berjudul The Woods, ternyata adalah sekuel The Blair Witch Project. Uniknya, pengungkapan tersebut baru diumumkan 2 bulan sebelum filmnya rilis. Hasilnya, netizen bereaksi serupa, hanya dengan hype yang berbeda. Yang makin menaikkan hype adalah: sutradara sekuel ini, Adam Wingard.

Memang beda sih ketika seseorang memang suka dengan film, he will really dedicated his life for it sehingga nggak heran juga kalau tahu bahkan sampai metode marketing-nya kala itu. Sedangkan untuk Blair Witch, meskipun dikatakan kalau hype-nya gegara sang sutradara, aku sepertinya mergukan hal tersebut. Apalagi untuk penonton Indonesia. Bayangkan! Di Cibubur aja Blair Witch nggak tayang which means aku harus ke kota Bekasi atau ke Jakarta (lah anaknya malah curhat). Mungkin, hype yang dimaksud tadi adalah untuk kalangan terbatas saja.

To put this into synopsis, The Blair Witch Project sendiri bercerita tentang sekelompok anak muda yang berinisiatif membuat dokumenter tentang urban legend yang berkaitan dengan sang Blair Witch. Mereka melakukan banyak wawancara dengan penduduk lokal Burkittsville tentang mitos tersebut sebelum akhirnya terjun sendiri ke hutan yang dipercaya sebagai domain sang Blair Witch.

Sementara itu, Blair Witch bersetting 20 tahun pasca kejadian di The Blair Witch Project. Adik dari salah satu kelompok yang hilang di Black Hill masih percaya bahwa kakaknya berada di hutan itu. Dengan ditemani oleh teman-temannya serta dua orang pemuda lokal, mereka menjelajahi hutan yang sama, namun dengan peralatan yang lebih lengkap. Yang tak mereka tahu adalah: apa yang mereka dengar bukanlah sekedar mitos.

Untuk sinopsis The Blair Witch Project sebenarnya tidak ada komentar. Premisnya sederhana. Namun berbeda dengan film sekuelnya. Mungkin bagi James Donahue (adik Heather Donahue dari The Blair Witch Project), dengan harapan kalau sang kakak “masih” ada di hutan tersebut bukan dalam wujud masih hidup. Tujuh belas tahun dinyatakan hilang di sebuah hutan dan sudah dilakukan penyelidikan dan pencarian namun tetap tidak ditemukan? Well, bisa saja Heather sudah pergi ke tempat lain atau minimal, coba diikhlaskan saja lah itu, bang.

Basically, review untuk keduanya sangat berlawanan, namun tak sesederhana itu. The Blair Witch Project, secara penampilan, sebenarnya tak terlalu menyeramkan, bahkan cenderung kurang bertaring. Mungkin karena tak dapat alusi triknya (seperti yang dilakukan Paranormal Activity), rasa takut yang dihadirkan tak begitu terasa. Namun, impact yang dihadirkannya dengan metode found footage-nya sangat efektif. Pendekatan naturalnya yang seolah menghadirkan kisah dokumenter gone wrong sukses menghadirkan kecemasan yang terasa nyata dan ditutup dengan elegan lewat endingnya yang iconic.

Sementara itu, Blair Witch yang dibesut Adam Wingard dan penulis andalannya Simon Barrett, sedikit meninggalkan kesan found footage dan dokumentasinya, dan justru memilih menyampaikannya seperti live footage. Secara presentasi, sekuel ini tampil lebih garang dan menyeramkan terlebih dengan pemanfaatan teknologi serta pengolahan suara yang berisik. Namun, sekuel ini terasa hanya seperti upgrade saja dan bukannya sekuel, polanya nyaris sama dengan predesesornya. Kurangnya inovasi ini membuat filmnya sendiri terasa kering andai tak ada sentuhan black comedy super halus yang jadi trademark Wingard-Barrett.

Kebalikan dari pendapatku, Paskal mengatakan kalau The Blair Witch Project kurang bertaring. Aku kurang setuju. The Blair Witch Project bagiku tidak bisa dibandingkan dengan Paranormal Activity karena yang ditampakkan oleh The Blair Witch Project adalah rasa frustasi dan tertekannya ketiga pemeran tersebut. Itu malah lebih menyakitkan untuk dilihat ketimbang Blair Witch yang masih memiliki adegan berdarah-darah. Memang benar, Blair Witch jatuhnya sama seperti The Blair Witch Project. Tidak ada yang baru. Permasalahannya pun sama (motivasinya hanya untuk mencari kakak yang hilang). Dan, ya, aku tidak merasa kalau Blair Witch ini mengerikan. Tidak peduli siapa sutradaranya (maaf ya Paskal).

Surprisingly, meskipun keduanya tampil dengan presentasi dan eksekusi yang berbeda, bagian paling menyeramkan sekaligus paling exciting adalah final moment-nya yang serupa tapi tak sama. The Blair Witch Project menampilkannya dengan sederhana namun sukses memberikan kebingungan dan rasa frustasi di akhir. Sementara itu, Blair Witch menampilkannya dengan intrik yang menghadirkan tribute untuk film originalnya. Meskipun tak menghadirkan rasa frustasi yang sama seperti predesesornya, tapi adegan ini tetaplah paling memorable.

Kalau Paskal bilang bahwa penutup The Blair Witch Project adalah yang paling menakutkan, bagiku malah sebelumnya. Ketika Heather sudah mulai putus asa, merekam permohonan maafnya dan dilanjutkan oleh masuknya Mike dan Heather ke rumah Mr. Parr. Itu menakutkan. Sedangkan untuk Blair Witch…intrik? Maksudnya ketika perkelahian mereka diawali oleh tersasar dan ternyata tidak satu pun dari mereka yang membawa peta, eh maaf, GPS? Itu sih kurang menyeramkan. Dan malah membuat Blair Witch tidak memiliki story line baru.

Speaking of things I like most, keduanya menghadirkan elemen favorit yang berbeda. The Blair Witch Project lebih sederhana: pemanfaatan kamera DV-nya terasa sangat nyata dan itulah yang menjadikan filmnya terasa makin hidup. Blair Witch terasa kurang nyata memang, namun unsur-unsur black comedy yang diintegrasikan dengan halus ke dalam plotnya menjadikannya berbeda dengan film horror lainnya.

Aku sempat baca kalau sebenarnya kualitas gambar yang diambil ketika proses shooting The Blair Witch Project sebenarnya jauh lebih tinggi ketimbang hasil edit yang akhirnya dirilis. Hal tersebut untuk memberikan kesan found footage yang sebenarnya kepada penonton. Wajar kalau Paskal suka dengan bagian itu. Namun dengan Blair Witch? Karena aku sendiri kurang menikmati film tersebut, ya jadinya aku tidak begitu ngeh dengan black comedy yang dimaksud Paskal (ngeh-nya setelah berdiam diri menginternalisasi maksud filmnya apa).

Sementara itu, things I dislike most, cenderung mirip walaupun beda skala. The Blair Witch Project terlalu bertele-tele menghadirkan terror di dalam hutan. Apalagi scene-nya tak ada yang menggigit. Sekuelnya terasa seperti carbon copy dan itulah hal yang terburuk.

NOOO! Itu tidak bertele-tele, Paskal! Itu adalah yang menakutkan: frustasi karena kamu tidak tahu bagaimana caranya kamu keluar. Kamu berputar-putar di dalam hutan yang katanya dihuni oleh demonic forceAnd yes, tidak ada pengembangan cerita yang berarti dan signifikan pada film sekuelnya.

So, if I were in the movie, yang akan dilakukan adalah: tidak masuk ke Black Hills apapun yang terjadi. Selesai kan? Tapi, kalau harus masuk ke dalam Black Hills dan sama-sama clueless-nya dengan para karakternya, mungkin aku akan jadi salah korban pertamanya. Undeniably.

“…, mungkin aku akan jadi salah satu korban pertamanya. Undeniably.” — Paskal hanya menjadi manusia biasa. Wajar sih. Siapa juga yang mau masuk ke dalam hutan yang katanya ada demonic forceGood luck on that, pal!

Pada akhirnya,The Blair Witch Project tetap hadir sebagai salah satu film horror klasik yang akan dikenang sampai nanti karena inovasinya, tapi bukan karena efek cengkeramannya. Sementara itu, Blair Witch hanya akan menjadi pengekor yang sedikit merevisi kekurangan predesesornya namun tak pernah menjadi se-cult itu. Keduanya berakhir di-score: 2.5/4.

IYA! Aku jadi suka dengan The Blair Witch Project karena kesederhanaannya. Apalagi ending-nya. Tidak seperti Blair Witch yang “meh” menurutku. Jadi, bisa-bisanya Paskal cuma kasih 2,5/4 untuk The Blair Witch Project yang bagus itu? 


Sebagian besar pendapat Paskal ternyata berbeda denganku. Well, mungkin karena bagi Paskal yang namanya film horor, seharusnya tidak sesimpel The Blair Witch Project yang hanya bermodalkan 3 pemain dan kamera DV saja. Atau, seharusnya sutradara seperti Adam Wingard tidak membuat Blair Witch sebatas sekuel yang carbon copy dan berharap mendapatkan pemasukan yang sama fantastisnya dengan film pendahulunya.

Mau tahu bagaimana pendapatku tentang The Blair Witch Project x Blair Witch? Bisa mampir ke Sinekdoks!

— October 16, 2016

3 thoughts on “The Blair Witch Project x Blair Witch [What The Hell…oween! Collaborative Post]

  1. WOY! Kalau film tayang di bioskop ya pastinya kualitas gambarnya bagus baru di-tone down di postproduction. Yakali, ngrekam pake kamera DV beneran. Gue potekin kayak totemnya si Talia situ ya!

  2. The Blair Witch Project ini kampret sih. Kampret. Plot-wise memang tidak ada alur yang vvovv karena namanya juga tipe found footage, tapi yang bikin sebel dan serem adalah gerakan handheld kameranya BIKIN PUSING WOOOY huhuhu ingin menangos apalagi pas kedengeran suara-suara. Udah gitu gelap dan resolusi kameranya jelek (katanya sih disengaja diturunkan biar makin meyakinkan sebagai found footage yang mangkrak).

    Nggak kepengin nonton sekuelnya deh… Satu aja cukup.

    • kalau ga kampret mana mungkin aku dapet mimpi buruk coba :”)

What Do You Think?