Tepat di malam Halloween, tulisan kolaboratif dari hzboy x Sinekdoks sampai pada ujung akhirnya. Syukurlah, kami berdua bisa tetap berkomitmen untuk nonton plus saling memberikan ulasan beserta komentar. Di minggu terakhir bulan Oktober ini, film yang kami harus tonton adalah The Sacrament. Film yang katanya diangkat dari kisah nyata, Jonestown Massacre. Jadi, seperti apa sih The Sacrament menurut Paskal?


 

ts1

Film tentang sekte atau cult memang selalu membuat perasaan takut yang entah munculnya dari mana. Bukan karena takut akan praktek sekte tersebut yang malicious atau tentang brainwashing yang biasanya dilakukan, tapi karena ada sesuatu yang haunting, yang membuat perasaan tidak nyaman selalu muncul. What the Hell …oween! A Collaboration Post seri terakhir ini akan membahas sebuah film tentang sekte rahasia, The Sacrament — yang merupakan film Ti West paling “sopan” dan mainstream.

How I finally stumbled into the film? Ini salah satu film yang kembali ditemukan setelah proses gates and stuff untuk series ini. Kalau dalam ranah film horror, film-film Ti West memang pantas diperhitungkan, terutama karena detil dan kesan throwback-nya yang visceral. Sebelumnya, The House of the Devil dan The Innkeepers serta segmen-nya di V/H/S berhasil memuaskan dahaga akan horror yang berkelas. Sementara itu, The Sacrament yang konon terinspirasi kisah sekte Jim Jones yang pernah menjadi kasus kematian massal terbesar tentu saja adalah suatu pilihan yang bijak untuk ber-Halloween-an.

To be honest, memang sih aku sudah pernah mendengar nama Ti Wesr sebagai seorang sutradara. Tapi aku belum pernah sekalipun menonton filmnya. Gara-gara Paskal inilah, aku jadi tahu salah satu dari karya Ti West. Maafkan aku, tapi aku merasa kalau The Sacrament bukanlah sebuah pilihan bijak untuk menikmati Halloween. 

Google saja kisah tentang Jim Jones, maka synopsis-lah yang didapat, hanya saja yang satu ini diambil dari sudut pandang kru film yang diundang mengunjungi safe haven jemaat sekte Eden Parish oleh salah satu anggotanya, yang merupakan saudari kru tersebut. Tempat yang digadang-gadang sebagai surga dunia itu ternyata menyimpan sisi lainnya yang pelan-pelan dibuka hingga berujung mengerikan di 20 menit terakhir filmnya.

Kurang lebih seperti itu. Garis besar dari kasus Jim Jones dan Jonestown Massacre bisa kita anggap sebagai sinopsis dari film ini. Hmm 20 menit terakhir? Iya, kalau penonton bisa menahan rasa sabarnya dan tetap fokus dengan apa yang berusaha disampaikan oleh Ti West mealui safe haven-nya itu.

Berikut review­ singkatnya: Ti West menyuguhkan sisi “sopan”-nya dalam The Sacrament ini. Bukannya horror visceral yang bergaya retro namun membuat mual seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya yang ditawarkan di sini, melainkan sebuah thriller slow-burn (yang sayangnya sangat pelan) dan sunyi tentang kehidupan sebuah sekte yang percaya akan kharisma Father. Penjelasan yang dihadirkan minimal; dan penonton dibuat sama bingungnya dengan para kru film ini. Semua yang mereka lihat nampak normal tetapi tidak pada saat yang bersamaan; bahkan mereka tak bisa menduga kalau mereka dalam keadaan aman atau tidak. Yang jelas, The Sacrament sukses memberi kesan seolah ada rahasia besar yang sedang ditutup-tutupi; kita bisa merasakannya namun kita tak diberi kesempatan tahu (bahkan untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi pun).

Kalau Paskal merasa hal seperti penjelasan yang minimalis, penonton yang memang sengaja dibuat bingung sebagai kekuatan dari film ini, aku merasa sebaliknya. Hal-hal yang sengaja dibuat seperti itu malah membuatku tidak bisa menikmati filmnya. Pace-nya bagiku terlalu lambat dan kurang menarik. Kecuali tentang misteri yang ada di belakang Eden Parish. Rasa-rasanya ini pertanda kalau aku harus coba film Ti West yang lain.

Percaya atau tidak, justru figur Father yang dibapak-bapakan oleh anak-anaknya itulah yang sukses membuat begidik. Dan adegan interview terbuka dengannya sukses menjadi adegan yang scares me the most. Percayalah, adegan tersebut memang bukan adegan kejar-kejaran, bukan adegan homicide, tapi setiap jawaban dan alur interview yang seolah diarahkan oleh Father begitu membuat panik. Sebagai refleksi tokoh Jim Jones yang dianggap sebagai savior, sang Father yang diperankan Gene Jones adalah bukti bahwa orang yang ahli memanipulasi adalah orang yang paling menyeramkan di dunia, seramah apapun penampang fisiknya.

Kalau penonton bisa dengan sabar mengikuti jalannya interview antara kru media dengan Father, akan terasa bahwa alur percakapannya menjadi creepy. Father bisa mengintimidasi dari rasa aman yang ditawarkannya itu.

What I like most dari The Sacrament adalah bagaimana Ti West mengolah sebuah kisah yang terinspirasi dari kisah nyata (yang hampir tak bersaksi mata) menjadi sebuah tontonan yang mencekam tanpa harus menakut-nakuti. Lihat saja bagaimana Ti West membuat “kedamaian diri” menjadi sesuatu yang menakutkan dan bagaimana ia membuat safe haven menjadi death vault yang memilukan. Sementara itu, what I disliked most adalah pace-nya yang amat pelan dan sunyi. Cukup sulit untuk mengikuti film ini jika keadaan sedang tidak fit karena perlu konsentrasi yang tinggi untuk bisa bertahan dengan film ini.

Iya, memang The Sacrament tidak membangun ketakutan penontonnya lewat hal-hal yang mencekam. Melainkan memberikan sebuah pandangan bahwa yang katanya aman pun ternyata tidak pernah aman. Dan setuju! Aku tidak suka dengan bagaimana kisah ini dinarasikan. Kelewat pelan. Penonton bisa jatuh tertidur atau menjadi bosan dan memutuskan untuk tidak menyelesaikan film ini.

If I were in the movie mungkin aku tak akan mau menjadi anggota dari sekte Eden Parish yang menjanjikan kedamaian dan keselamatan jiwa. Kalaupun aku menjadi anggota mereka, aku tidak mau untuk “terbuka matanya”, karena hal paling mengerikan dari mengikuti sebuah sekte justru PTSD-nya. Biarlah ter-brainwash sempurna sehingga tak perlu lagi menghadapi kenyataan bahwa junjungannya sesat adalah pilihan yang terbaik.

Even I’m not a person with PTSD, tampaknya hal tersebut yang akan “menyiksamu” seumur hidup. Jadi, janganlah kamu menuju jalan yang sesat, yha… 

Final verdict-nya, The Sacrament memang tak menampilkan sakramen yang indah dan dengan ritual yang mudah dimengerti, tapi dia mampu menuntun penontonnya melalui kebingungan dan perasaan insecure yang “tak nyata” untuk dipuaskan dengan ironi luar biasa di 20 menit terakhirnya. Percaya saja sang Father tak pernah salah. Score: 3/4

NoI disagree. Sudah menjadi highlight buatku kalau pace yang lambat itu menjadikan emosi penonton tidak sampai puncak ketakukan. Bahkan untuk merasakan ironinya. 


 

Selesai sudah rangkaian What The Hell…oween! Collaborative Post. Terima kasih kepada yang sudah bersedia membaca tulisan-tulisan hzboy dan Sinekdoks yang saling berargumen mengenai film. Selain film Miss Peregrine’s Home of Peculiar Children, sisanya adalah film pilihan Paskal. Sesimpel karena aku sangat kurang referensi dalam dunia perfilman. Tapi kalau buku untuk menemani Hallowen-mu, sila minta saran ke Shiori-ko saja :3

Mari kita rangkum sejenak film-film apa saja yang sudah dibahas oleh hzboy dan Sinekdoks:

Di minggu pertama, kami mengulas tentang Miss Peregrine’s Home of Peculiar Children. Di minggu kedua, ada The Blair Witch Project x Blair Witch. Dan selanjutnya, ada We Are What We Are yang sejauh ini masuk ke dalam film horor favoritku (setelah The Exorcist dan The Omen). Terakhir, The Sacrament yang membosankan bagiku 🙁 Tapi menonton semuanya menyenangkan! Aku jadi punya motivasi untuk segera menyelesaikan to do list harian di kantor karena ingin segera menonton. Achievement lainnya: aku jadi semakin berani untuk nonton film horor meskipun aku ujung-ujungnya malah mimpi buruk (iya, setelah nonton The Blair Witch Project).

Terima kasih kepada Paskal yang sudah mau aku ajak bikin tulisan kolaborasi! Karena kami punya target untuk mempublikasikannya setiap Minggu, What The Hell…oween! ini menjadi media penenangku to get over Monday Sick/Monday Blue. Maafkan diriku yang suka tagih-tagih tulisan ya mas :p

Sampai berjumpa di tulisan kolaboratif yang lain ya! Silakan kontak hzboy apabila dirimu ingin coba-coba bikin juga :3

 

— October 31, 2016

What Do You Think?