Memang tidak terasa sekali sudah memasuki entri ke-3 dari collaborative post antara seorang book dragon dan (yang ngakunya) seorang dragon slayer ini. Oh iya, sebelumnya kami mohon maaf akan keterlambatan post yang ketiga ini ya. Harap dimaklumi karena kami berdua memang memiliki kesibukan yang tidak kalah dengan jam operasional minimarket.

Well, daripada menunggu lebih lama lagi karena sepertinya kalian sudah pada penasaran, berikut tanggapan si dragon slayer mengenai film We Are What We Are.


 

We Are What We Are sejauh ini rasanya sukses menyemenkan diri menjadi film terfavorit saya dalam serial What the Hell …oween! A Collaboration Post ini. Bukan karena ini film terseram sejauh ini, tapi karena beberapa detail klasik yang membuatnya sangat natural.

How I finally stumbled into the film? Sudah dengar tentang We Are What We Are sedari dua tahun yang lalu; mengingat reputasinya sebagai salah satu remake horror paling banyak dipuji 2013 lalu. Tapi, kendala film horror seperti ini adalah filmnya sendiri—gampang terlupakan di tengah deretan film-film bagus lainnya. Beruntung ketika gates and stuff untuk serial ini, judul ini kembali popped up… dan dari sanalah rasa penasaran yang dulu sempat meredup kembali muncul.

Aku sendiri malah baru tahu kalau film We Are What We Are sesungguhnya adalah sebuah remake. Judulnya pun tidak terdengar familiar. Mungkin karena sudah keburu tertutup dengan judul-judul andalan lainnya ya.

Plotnya yang sederhana namun mendetail mungkin agak susah untuk disarikan menjadi synopsis tanpa spoiler; but I’ll do it anyway. Intinya, We Are What We Are berkisah tentang sebuah keluarga kecil misterius—the Parkers—yang tinggal di sebuah kota kecil. Rahasia tentang keluarga tersebut sedikit demi sedikit mulai terkuak ketika sang ibu meninggal secara misterius. Tapi, bukan kematian misterius sang ibulah yang menjadi inti persoalan, namun tradisi turun temurun keluarga merekalah yang menjadikan 100 menit film ini terasa intens dan penuh simpati.

Eh iya, aku baru sadar kalau kematian si ibu ini misterius ya. Aku terlalu terpaku dengan rahasia dari The Parkers, padahal kematian ibunya itulah yang membuat rahasia keluarga tersebut perlahan-lahan terkuak.

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, film ini by far adalah favorit saya dalam serial ini. Berikut review­ singkatnya: We Are What We Are sabar sekali dalam menggali detil dan atmosfer tidak menyenangkan sepanjang filmnya. Serunya, penonton diajak untuk rooting pada tiap karakternya dengan simpati—sementara ini film horror, lebih tepatnya thriller yang haus darah. Lewat karakter-karakter itulah kita pelan-pelan diajak untuk meyingkap tabir rahasia keluarga dengan sabar.

Twist-nya tidak terlalu besar namun dengan build-up-nya yang pelan tapi mendetil, twist tersebut sangat mengena. Bukan efek kejutnya yang membuatnya menjadi mengena, tapi ironi yang dihadirkannya. Thriller seru dengan lapisan misteri (yang sebenarnya gampang ditebak), subject matter yang keras dikombinasikan dengan atmosfer mencekam yang tak mengada-ada membuat We Are What We Are secara percaya diri mengakui “siapa dirinya sendiri.”

Atau bisa dikatakan kalau film ini agak drama (padahal yang tidak terlalu drama juga sih jadinya). Memang benar, penonton diajak untuk bersimpati dengan keadaan masing-masing tokoh. Aku rasa, penonton juga tidak akan menuntut lebih dari itu karena bagaimana alur ini berjalan sudah bisa menyihir mereka untuk tetap duduk diam, terpaku dengan jalan cerita. Wajar saja, jika penutupnya yang berupa twist bisa menjadi suatu hal yang mengagetkan. Karena, lagi-lagi, kekuatan dari film ini barangkali berupa flow-nya.

Filmnya sendiri tak seram sama sekali, hanya saja disturbing. Tak ada scene yang benar-benar membuat bulu kuduk berdiri, tapi ada satu scene yang sukses excites me the most; yaitu, scene klimaksnya yang melibatkan sang ayah dan anak-anak perempuannya. Percayalah adegan itu dieksekusi dengan sangat memuaskan para gory hunter; disturbing dan membuat tak nyaman sekali. Namun, adegan itu tak berarti apapun jika tidak diimbangi ending-nya yang ambigu, namun makin menguatkan kesan ironi yang dihadirkan.

Tidak nyaman sih iya. Tapi aku malah merasa biasa saja. Oke, awalnya kaget karena aku kira akan berakhir…ya seperti itu saja. Tanpa ada Iris yang ujung-ujungnya ikut serta. Kalau dikatakan memuaskan gory hunter, boleh juga sih. Meskipun bagiku bagian itu tidak terlalu gory juga. Dan kalau aku boleh menambahkan, tanpa adanya kekuatan dari film untuk grabbing penonton, aku rasa penonton juga akan bingung dengan ironi yang menjadi penutup film ini.

What I like most dari We Are What We Are adalah atmosfernya yang tenang tapi mencekam; tak pernah meledak-ledak tapi selalu sukses membuat perasaan tak nyaman menggantung. Subject matter-nya mungkin terlalu kontroversial, kalau tidak konvensional malah, dan premisnya pun sebenarnya bukan hal yang baru; namun eksekusi Jim Mickle dalam me-remake film ini sungguh membuktikan bahwa good ol’ story masih bisa “bertaring.” Sementara itu, what I disliked most dari film ini justru adalah eksplorasi subject matter-nya yang kurang. Setelah menonton versi Mickle ini, saya menonton versi Mexico-nya yang ternyata lebih visceral—hampir 180 derajat kebalikan versi ini; namun, eksplorasinya sukses membuat ngilu. Sekali lagi, versi toned down yang dibuat Mickle memang bagus, tapi percayalah, there are people who love to see more blood out there.

WAH! “Perasaan tak nyaman menggantung”. Sebuah deskripsi yang tepat untuk menggambarkan emosi yang akan didapatkan oleh penonton sekali mereka menyelesaikannya. Bukan sekedar hang over, tapi hang over yang tidak nyaman. Sedangkan, karena aku sendiri tidak menonton film Mexico-nya, aku tidak dapat membandingkan apa yang kurang dibanding versi aslinya itu. More bloodFor sure? Sepertinya menarik *dan anaknya langsung mau nonton*

So, if I were in the movie, mungkin menjadi salah satu anak Parker; dilema berat pasti akan terasa: antara menjadi diri sendiri atau mengikuti tradisi turun temurun. Sebenarnya konflik ini sudah hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari di mana tradisi mulai terkikis oleh modernitas, begitupun ‘tradisi keluarga Parker’. So, basically, I’ve been in those Parker child’s shoes, walaupun skalanya beda.

True! Apabila ditarik dalam ranah yang kita sebut sebagai kondisi “normal”, hal yang dialami oleh anak-anak Parker juga dialami oleh sebagian besar dari kita. Anak muda yang tengah mengalami krisis identitas: apakah tetap mengikuti apa yang dianut oleh keluarga (dan tradisi) atau menjadi diri sendiri sesuai dengan bagaimana kita memahami dunia sekililing kita. By the way…JADI KAMU SELAMA INI……? JANGAN-JANGAN UNDANGAN KE BALI ITU….?

Final verdict-nya, We Are What We Are sangat percaya diri memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya, meskipun kenyataan tak selalu seindah ekspektasi. Score: 3/4

Final score-nya sama nih! 4 dari 5 bintang!


 

Secara garis besar, film We Are What We Are tidak ada salahnya untuk dicoba. Dia tidak menawarkan hantu, melainkan emosi yang aneh dan tidak nyaman. Dan, mengikuti review dari Paskal, tonton juga film aslinya. Siapa tahu rasa tidak nyamannya lebih membuatmu jadi hang over tidak karuan.

Jangan lupa untuk mampir menengok ulasanku di Sinekdoks!

 

— October 25, 2016

What Do You Think?