Kembali teringat dengan topik bahasan yang aku gunakan ketika mengerjakan skripsi: novel distopia seperti The Hunger Games, Divergent, dan The Maze Runner. Namun, ketika aku tengah membahas tentang novel tersebut dari sudut pandang budaya populer dan kajian budaya, ide lain pun muncul. Dan sekiranya, bisa aku gunakan untuk bahan tulisan lain seperti artikel kali ini (dan semoga aku bisa membuat versi ilmiahnya!).
Penulis Novel Distopia dan Pemeran Utama Wanita
Walau memang trilogi The Hunger Games bukanlah buku novel distopia pertama yang dikenal publik, namun judul tersebut meledak yang juga diikuti oleh adaptasi filmnya yang tidak kalah sukses. Dalam cerita The Hunger Games, ada 3 tokoh utama yakni Katniss, Peeta, dan Gale. Ketiganya digambarkan berperang dengan pemerintahan yang otoriter dan serba tidak adil tersebut dengan Katniss-lah pahlawan yang berasil memutus pemerintahan otoriter di Panem.
Ada lagi novel distopia yang juga sukses dengan filmnya. Trilogi Divergent karya Veronica Roth melambung tidak kalah dengan tulisan Suzanne Collins tersebut. Pesona Shailene juga tidak bisa dibandingkan dengan Jennifer Lawrence. Keduanya memiliki profil yang sama-sama kuat dan sangat cocok untuk memerankan Tris dan Katniss. Tidak heran juga, berkat peran menjadi Tris, Shailene juga memiliki citra sebagai perempuan yang kuat layaknya Tris.
Di dunia tulisan fiksi distopia, meskipun ada beberapa yang belum diadaptasi menjadi film layar lebar, bukan berarti mereka tidak memiliki hal yang bisa diekspos. Ambil kata trilogi Shatter Me karangan Tahereh Mafi, trilogi The Selection karangan Keira Cass dan masih banyak lagi penulis yang produktif dengan novel distopianya. Meskipun dianggap sebagai produk budaya populer yang latah, karena mengikuti jejak The Hunger Games, namun memiliki imbas yang berbeda kepada para pembacanya.
Kalau sering main ke toko buku yang menjual buku-buku impor seperti Periplus, Kinokuniya, dan Books & Beyond, rasanya nama-nama penulis wanita dalam jajaran penulis fiksi distopia (hampir) semuanya memiliki pemeran utama wanita juga. Seperti yang sudah diketahui, Katniss yang merupakan hasil imajinasi Suzanne Collins kemudian diperkuat dengan terpilihnya Jennifer Lawrence sebagai pemeran gadis 16 tahun tersebut. Belum lagi dengan Shailene Woodley yang juga sangat pas menjadi Tris untuk installment trilogi Divergent. Keduanya seakan sudah menjadi ikon untuk novel distopia beserta komoditas lainnya. Pernahkah merasa kalau para penulis wanita ini sebenarnya juga ingin menyuarakan perihal feminisme kepada pembaca remaja melaui dunia dan tokoh fiksinya itu?
Feminisme dalam Novel Distopia
Aku kembali lagi menggunakan trilogi The Hunger Games sebagai contoh dari novel distopia yang laris manis, baik itu novel maupun filmnya serta hal-hal lain yang juga (dapat) mendatangkan keuntungan. Katniss diceritakan hingga akhir trilogi sebagai remaja perempuan atau wanita yang tangguh, yang tidak mau tunduk oleh pemerintahan Presiden Snow. Katniss adalah sosok yang berani berjuang dan bersuara karena ia merasa ada yang salah dalam pemerintahan Capitol saat itu. Katniss juga digambarkan sebagai sosok yang rela berkorban. Diawali dengan majunya ia menggantikan adiknya, Primrose, sebagai salah satu Tribute dari Distrik 12 dan entah berapa kali berkorban demi menyelamatkan Peeta dan kawan yang lain.
Penggambaran Katniss dalam novel The Hunger Games tidak mungkin kalau tidak ada pesan yang ingin disampaikan oleh Suzanne Collins. Melihat bagaimana para wanita, hingga hari ini, masih saja terkungkung oleh sistem patriarki, masih saja menjadi “budak” dari modernitas, Suzanne Collins ingin mendorong para remaja perempuan dan wanita untuk tidak takut berjuang demi apa yang dirasa benar. Seperti Katniss yang berjuang agar pemerintahan Presiden Snow cepat berakir. Katniss mewakili bagaimana Suzanne Collins ingin mengatakan kalau perempuan dan wanita punya hak yang sama untuk berpendapat. Tidak terhitung jumlahnya berapa kali Katniss memimpin pasukan yang bisa dikorelasikan dengan bagaimana Suzanne Collins mengatakan kalau perempuan dan wanita sangat mungkin untuk ambil bagian berada di posisi puncak.
Pesan-pesan tersebut dikemas dengan cara yang apik. Membuat para pembaca terutama remaja perempuan dengan cepat mengidolakan tokoh itu tadi. Salah satu peneliti pada bidang Ilmu Perpustakaan, Vivian Howard, pernah mengadakan penelitan di Kanada untuk melihat bagaimana respon para remaja perempuan terhadap novel trilogi The Hunger Games. Dan benar saja. Hasilnya, banyak dari mereka yang mengidolakan sosok Katniss dan ingin menjadi seperti dirinya. Yang berarti, para remaja perempuan tersebut ingin bisa berani (fearless), tangguh, dan kuat.
Budaya Populer dan Perpustakaan sebagai Penyampai Pesan Feminisme
Meskipun Suzanne Collins sendiri tidak membuat pernyataan resmi tentang hal ini, namun kalau diamati para penulis distopia wanita menggunakan kekuatan penanya untuk mengkonstruksikan bahwa perempuan juga bisa menjadi pahlawan (heroine). Didukung dengan konsumsi produk budaya populer di kota yang urban sangat tinggi, mengapa peluang tersebut tidak dimanfaatkan oleh para pengelola perpustakaan, pustakawan misalnya?
Ide skripsi yang aku tulis dahulu muncul ketika aku merasa kalau pustakawan di Surabaya masih kurang proaktif untuk berkomunikasi dengan patron yang masih remaja tersebut. Padahal, mereka bisa didorong (encourage) supaya menjadi lebih percaya diri dengan identittas gender mereka. Apalagi judul novel tersebut bukanlah novel yang tergolong membosankan. Pustakawan bisa merekomendasikan patron remaja putri untuk mulai membaca novel distopia yang tengah ramai diperbincangkan saat ini seperti trilogi Divergent.
Startegi penyampaian pesan feminisme bisa saja terjadi jika pustakawannya juga menyadari kalau sudah waktunya untuk mengenalkan gender equality kepada patron yang masih muda. Itupun kalau pustakawannya mengetahui bahwa masih banyak orang yang dengan mudahnya melontarkan lelucon berbau sexist yang membuat orang lain menjadi sangat tidak nyaman (dan seringkali korbannya adalah perempuan dan wanita). Pustakawan sebagai pendidik hendaknya sangat bisa untuk mulai mengedukasi para patron muda untuk menyadari bahwa bukan lagi melihat seseorang dan menilainya hanya dari identitas gender saja. Dan melalui bahan pustakawa serta produk budaya populer-lah, para pustakawan bisa menunjukkan kepada para patron kalau di era yang serba modern, sistem patriarki sudah tidak berlaku. Sebab pustakawan juga memiliki peran untuk mempersiapkan generasi Indonesia Emas.
Bagaimana? Apakah para pustakawan sudah siap menjadi agen perubahan pola pikir?
— February 15, 2016