I did not realized that I am actually an introvert. Sampai akhirnya aku harus pindah dari Surabaya. Banyak orang di sana yang berasumsi kalau aku ini orang ekstrovert, easy going, mudah bergaul alias supel. Tetapi ternyata, Hesti yang dilihat oleh teman-teman di Surabaya bukanlah Hesti yang berada di Bekasi.

Bisa dibilang, ketika aku masih di Surabaya, lingkaran pertemananku menjadi melebar. Apalagi sejak aku senang “bermain” di luar sekolah dan kampus. Mulai dari Kompas MuDA, TEDxTuguPahlawan, Surabaya Youth Carnival, Studentpreneur, dan kegiatan kecil-kecil yang rutin aku sambangi. Semua orang yang aku temui seakan mengatakan, “Hesti itu orangnya asyik ya!”. But it turned out the opposite. Aku ternyata menjadi mudah mingle karena yang aku datangi dan lingkaran yang aku masuki adalah orang-orang yang satu tipe denganku. Sedangkan ketika aku berhadapan dengan orang-orang yang frekuensinya beda sedikit (to be honest, aku pernah disindir hanya karena menggunakan kata “yang sefrekuensi denganku” & yes, I totally annoyed) aku berubah menjadi seseorang yang berbeda. Seperti yang aku tulis mengenai privasi dalam post sebelumnya.

By Introvert Means Dealing with Society Stereotype

Pasti sudah tidak asing lagi kalau seseorang yang pendiam, pemalu, tidak terlalu suka bersosialisasi kerap dilabeli sebagai orang yang introvert.

“Wajar saja kalau dia tidak datang di pesta itu. Kan dia orangnya introvert.”

Padahal, kalau kamu menonton TED Talk-nya Susan Cain dan juga membaca bukunya yang berjudul Quite, kamu pasti menyadari bahwa menjadi seorang introvert bukan berarti kamu tidak punya kehidupan sosial yang sebenarnya. Seorang introvert berbeda pula dengan menjadi pemalu dan pendiam.

Pantas saja, ketika aku menulis di akun media sosialku bahwa aku adalah seorang introvert, kawan-kawan yang pernah berinteraksi denganku merasa bahwa itu tidak mungkin. Menurut Susan Cain, seorang yang introvert bukan berarti orang yang tidak mau bersosialisasi. Introvert mau bersosialisasi sepanjang dia tahu bahwa kumpulan yang akan dia masuki akan membawa sesuatu yang berdampak terhadap dirinya (dan karirnya dan masa depannya, dan lain-lainnya). Seorang introvert tidak asal njeplak (berucap) untuk mendapatkan perhatian. Malahan, dalam bukunya, Susan Cain juga menjelaskan kalau seorang introvert baru akan terbuka kepada orang lain yang ia yakini bisa dipercaya dan akan berpengaruh dalam misinya.

Sayangnya, masyarakat kita (dan disekitarku) belum paham betul soal hal ini. Maka yang terjadi adalah mereka selalu memaksakan kaum introvert untuk bersosialisasi, untuk berbicara. Ganjarannya apabila menolak: bisa dikucilkan dan dianggap tidak mau berteman. Atau, dianggap punya dunianya sendiri. Ketika orang introvert ingin menjelaskan, yang ada malah dia tidak didengarkan.

Jadi, sebenarnya belum ada equality untuk kaum intorvert. Hingga kini.

Introverts and Their Me Time, Which is Anytime

Bekerja dengan seorang yang introvert sayangnya belum dipikirkan oleh banyak organisasi. Mungkin memang, akan ada kantor yang mengadakan psychological test dan menggunakan hasil dari tes tersebut untuk memasangkan setiap orang dengan orang yang cocok sehingga bisa berpengaruh terhadap produktivitas. Dan sepengatahuanku, walaupun ada tes seperi MBTI (16 tipe kepribadian) tersebut, nyatanya itu hanya digunakan untuk sekedar tahu. Tidak dimanfaatkan untuk memahami satu dengan yang lainnya. Atau belum digunakan untuk memperlakukan orang-orang yang sudah “dikategorikan” berdasarkan hasil tes tersebut (meskipun hasil tes tersebut bukanlah 100% menyatakan tipe kepribadian kita).

Aku adalah tipikal orang yang senang bekerja sendiri. Maksudnya adalah biarkan aku sendiri dengan laptop dan earplug dan playlist Spotify-ku. Kalau pun ingin berdiskusi denganku, cobalah untuk membuat janji terlebih dahulu. Seorang yang introvert lebih senang apabila dirinya bisa mempersiapkan apa yang harus ia katakan ketimbang langsung mengeluarkan apa yang ada di dalam benaknya. Kalaupun ingin mendadak, lebih baik dilakukan via teks atau chat. Seorang introvert akan lebih memilih untuk melakukan percakapan melalui tulisan. Kecuali jika ia sudah merasa nyaman dengan teman diskusinya tersebut dan berinisiatif untuk berkomunikasi via lisan.

Sebenarnya bekerja dengan seorang yang introvert itu tidak merepotkan. Kamu hanya perlu memberikannya space dan waktu-nya sendiri untuk mengumpulkan kembali energinya. Apalagi kalau misalnya, si introvert tersebut harus meeting marathon. Wajar, jika setelah meeting, dia memilih untuk sendiri. Sebab, seorang introvert akan merasa lelah saat ia harus act out as extrovert

Jadi, tolong jangan cemooh kaum introvert yang nonton sendiri, makan sendiri, hingga photo box sendiri. Bukan berarti pathetic atau desperate. Melainkan karena butuh untuk kembali charge energi.

Sometimes, Introverts Just Being “Present” for the Sake of Being Accepted

Beradaptasi dengan lingkaran yang baru, untuk seorang introvert akan menghabiskan waktu lebih lama ketimbang seorang ekstrovert. Apalagi seorang introvert kebanyakan adalah orang yang tidak mau asal bicara karena takut melangkahi privasi seseorang dan dianggap tidak sopan. Maka dari itu bahan obrolannya seputar hal-hal yang umum. Barulah ketika merasa ada frekuensi yang sama, percakapan pun semakin mendalam.

Hal tersebut berpengaruh dalam bagaimana seorang introvert valued their friendships. Berlandaskan “frekuensi yang sama” itulah maka seringkali ditemui kalau circle orang yang introvert ya yang itu-itu saja. Itu-itu lagi. Sekalinya mereka merasa nyaman dengan suatu lingkaran, maka kehidupannya pun akan berporos di lingkaran tersebut. Dan introvert akan berbicara seperlunya saja dengan orang yang tidak dianggap berada dalam close circle-nya itu tadi.

Efeknya adalah (salah satunya) seorang intorvert menghadiri undangan ya karena untuk being present. Atau istilahnya “setor muka”. Supaya dianggap. Supaya diterima dalam lingkaran yang lain. Itu pun hanya beberapa saat saja. Mencoba keep up dengan percakapan yang ada di dalam acara itu. Sisanya? Berharap bisa segera pergi untuk menikmati kesendirian. Jika tidak, perlahan-lahan rasa insecure-pun muncul. Dan berujung tidak nyaman.

Seorang introvert bukanlah dia yang terbiasa dengan party, dengan surprise. Terutama di lingkungan sekitarku (kini), dimana it’s totally normal to have birthday surprise and another special occasion event. Untuk ku, itu malah sesuatu yang awkward. Oke, they’re just being kindthey want to show that they care enough. Tapi, itu membuatku kurang nyaman. Aku lebih suka bersama dengan my inner circle.

Jadi, tolong jangan merasa tersinggung apabila seorang introvert berusaha menolak dengan cara halus ajakan-ajakan yang sifatnya harus bertemu dan berinteraksi dengan orang banyak (apalagi usai meeting marathon). But, thank you for inviting, anyway!

“Wah, Ternyata Hesti Orangnya Asyik, Ya!”

Yes, aku pernah mendapatkan celetukan seperti itu setelah…aku melewati 6 bulan pertamaku disini. Wajar saja. Di awal-awal aku cenderung menutup diri. Aku belum bisa percaya dengan siapapun dan aku memiliki idealismeku sendiri. Namun, karena suatu hal, aku berusaha untuk menjadi pribadi yang…bisa dibilang dapat “dilihat” sebagai orang yang easy going sebagaimana aku berada di kantor yang sebelumnya. Tapi kembali lagi, aku butuh my own space and time to recharge my energy.

Jadi, izinkan aku memiliki 2 mode: Hesti on the Weekdays dan Hesti on the Weekend. And I guess, you will see the real me on the weekend.

— November 18, 2016

2 thoughts on “How to Deal with Introvert Co-Worker

  1. hi.. its really nice to read it! introvert is not introvert at all. just need time to know the others. dan ketika kita sudah nyaman dengan sesuatu, kita bisa menjadi pribadi yang “ekstrovert”.

  2. Hai Hestiii…

    Sejauh ini aku juga mengidentifikasikan diri sebagai introverts sih, tapi terus terang ada hal yang lebih bikin aku kesel daripada disindir karena aku introverts (maaf ya komennya bakal OOT). Aku punya temen kenalan yang pernah bilang bahwa “Gue sebagai praktisi nggak akan pernah cocok sama orang akademisi kayak elo”, and I was like “WHUT?”

    Malesin nggak sih yang kayak gitu? Ngobrol aja belum, tahu hobi aja belum, udah dibilang nggak bakal cocok hmmm. Tapi yaudah sih, dengan dia mengatakan seperti itu malah aku jadi tahu kalau kami MEMANG nggak cocok, hahaha.

    Maaf ya OOT. Numpang curhat pula.

What Do You Think?