Masih sangat terngiang dalam otakku bagaimana aku terpukau dengan J-Drama (selanjutnya disebut “dorama”) yang berhasil aku selesaikan dua hari yang lalu. Judulnya Miss Sherlock. Sebuah adaptasi dari novel Sir Arthur Conan Doyle yang terkenal itu. Barangkali kita semua sudah sangat awam dengan beragam adaptasi novelnya. Dari film yang dibintangi Robert Downy, Jr. serial di BBC yang dibintangi Benedict Cumberbatch, atau serial versi AS yang menampilkan Lucy Liu sebagai tokoh Watson. Bahkan mungkin dari kita ada yang sudah menonton versi-versinya yang lain. Adaptasi ala Hollywood yang aku sebutkan tadi sudah aku tonton semua. Persamaannya satu: tokoh utamanya alias si Sherlock Holmes adalah laki-laki.
Berbeda dengan Miss Sherlock–yang mudah sekali diterka–membawa aura tokoh utamanya adalah perempuan. Yang berperan menjadi pendampingnya, Watson juga seorang perempuan. Begitu pun dengan Moriarty, musuh bebuyutan Sherlock, juga dimainkan oleh seorang aktris.
Awalnya aku terpukau dengan bagaimana dorama ini bercerita. Sifat khas Sherlock Holmes, Watson, dan Moriarty-nya tidak banyak diubah. Kasusnya pun disesuaikan dengan kondisi Jepang sehingga menjadi nilai plus. Tidak salah kalau Rotten Tomatoes sampai memberikan penilaian 100% pada dorama ini. Puncaknya ketika hangover ini semakin menjadi, akhirnya aku tersadar. Para tokoh utama di Miss Sherlock bisa direpresentasikan sebagai sosok perempuan yang memiliki lethal weapon: cantik, pintar, dan badass.
Sara “Sherlock” Futaba sebagaimana sosok Sherlock Holmes di novel. Ia mandiri, tidak membutuhkan bantuan banyak orang, dan enggan melibatkan emosi dalam bersosialisasi. Semuanya berdasarkan pada pemikiran logika. Termasuk ketika memberi komentar. Ia berkilah dengan alasan, “Aku hanya mengungkapkan fakta.”
Selama dorama berlangsung, penonton tidak disuguhkan dengan karakternya saja, melainkan juga gaya berpakaiannya yang classy. Potongan rambut cepak bukan berarti ia tidak bisa tampil feminin. Pada beberapa episode, Sara mengenakan sepatu hak tinggi untuk memecahkan kasus. Piyamanya pun juga tidak lepas dari sentuhan feminin dengan motif floral berwarna dasar hijau gelap.
Tidak jauh berbeda dengan Wato Tachibana (alias Watson) dan Akira Moriwaki (Prof. Moriarty). Tokoh perempuan sekaligus pusat dari cerita ini punya kemampuannya masing-masing. Mereka digambarkan sebagai perempuan yang bisa berdiri di atas kaki sendiri meskipun banyak hal selama kasus dipecahkan sempat mengguncang hubungan personal mereka (terutama Sara degan Wato). Ini berbeda dengan bagaimana masih saja terjadi penggambaran tokoh perempuan yang lemah, butuh dibantu oleh laki-laki, dan tidak mandiri yang selama ini berada di media (termasuk, media sosial). Seakan-akan, menjadi wanita yang serba bisa rasanya tidak mungkin. Belum lagi kalau dicibir oleh masyarakat.
Tetapi Miss Sherlock ini berbeda. Meskipun Inspektur Reimon dan opsir Shiibata kurang suka dengan sikapnya, kata-kata yang terlontar tidak ada satupun tentang merendahkan perempuan. “Kamu egois!” atau “Pantas saja tidak memiliki teman!” Ujaran kekesalan yang tidak seksis. Untuk itulah, aku secara personal semakin menyukai dorama Miss Sherock dan berharap kalau mereka akan melanjutkannya ke musim kedua.
Di samping itu, setelah keadaan yang terjadi padaku belakangan waktu ini, aku seakan menemukan sosok role model (meski dalam kisah fiksi). Aku ingin menjadi Sara Futaba yang cantik, classy, pintar, serta badass. Sara Futaba telah membuktikannya padaku bahwa ia bisa. Aku pun juga.
(Catatan: Miss Sherlock bisa dinikmati secara legal melalui HBO Go)
— May 3, 2020