Pertama kali bisa atau sanggup membaca buku yang isinya hanya tulisan adalah waktu kelas 5 SD. Umur 10 tahun. Disodori ibu satu novelnya Agatha Christie yang hingga kini menjadi kesukaanku. Ibu sepertinya agak kesal karena uang sakuku kerap aku gunakan untuk meminjam komik (manga) di peminjaman komik depan sekolahku. Gara-gara “dipaksa” duduk dengan Agatha Christie, aku jadi suka membaca. Tepatnya, jatuh cinta dengan genre detektif dan satu familinya.

Dari Agatha Christie merambah ke Sir Arthur Conan Doyle melalui pasangan Sherlock dan Watson. Ibu punya koleksi lengkapnya. Terjemahan Gramedia zaman dahulu kala. Pernah juga dipinjami edisi berbahasa Inggris, tetapi aku tidak sanggup membacanya karena keterbatasan kosakata. Aku juga sempat berkenalan dengan Arsene Lupin meski cuma melalui beberapa buku yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dari cerita detektif legendaris yang dikenal oleh orang-orang angkatan ibuku, mungkin aku cuma tidak familiar dengan karangan Alfred Hitchcock. Padahal ibu sudah bilang kalau ceritanya juga tidak kalah seru.

Ohya, meskipun aku sudah membaca buku-buku di atas, aku masih tidak lepas dari manga. Cuman, intensitasnya menjadi berkurang sebab aku menemui novel yang rasanya tidak ingin aku letakkan kalau aku belum selesai. Manga yang aku ikuti juga tidak jauh-jauh dari genre detektif. Detective School Q, CLAMP School Detective, Young Kindaichi Files, sampai yang pasti diketahui banyak orang: Detective Conan. Kalau ada versi anime-nya, tentu turut aku ikuti. Sampai disini sungguh tertebak: comfort genre-ku ketika aku mengalami reading slump mood adalah detektif, misteri, (psychological) thriller, hingga police story.

Comfort genre ini juga termasuk cakupan tontonanku. Meskipun berlangganan Netflix dan “numpang” beberapa akun streaming milik teman, jujur saja aku jarang menonton serial. Kalau tidak karena aku suka sekali, ya aku lebih memilih membaca buku. Kecuali, genre-nya masuk ke dalam favoritku. Ternyata, kombinasi antara seleraku terhadap produk budaya pop Jepang dengan comfort genre-ku membawa pada beberapa judul J-Drama (atau singkatnya disebut “dorama”) yang menyenangkan untuk diikuti.

Ambil contoh ketika aku “berkenalan” dengan dorama Galileo yang dibintangi oleh Fukuyama Masaharu dan Ko Sibashaki. Berkisah tentang seorang ahli fisika yang diminta bantuan memecahkan kasus kriminal. Interaksi antara dua tokoh utama sungguh lucu namun tidak ketinggalan bumbu “tegang” khas cerita-cerita di novel detektif. Dari situ pulalah, aku baru tahu kalau Galileo merupakan adaptasi dari novel karya penulis detektif terkenal di Jepang, Higashino Keigo. Rupanya, karya Keigo-sama ini sudah berulang kali diadaptasi menjadi tayangan baik itu film atau serial. Aku pun akhirnya menyempatkan membaca karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Sampai di situ aku pikir ketika aku menyukai satu hal, misalnya bacaan dengan genre detektif, ternyata bisa membawaku ke judul-judul lain yang selama ini belum terkspos di Indonesia. Dari tontonan yang aku suka, aku cari tahu lebih jauh dan kalau memang betul adaptasi dari buku atau novel, aku akan coba membacanya. Begitu pula sebaliknya. Kalau ada adaptasi novel menjadi tayangan, aku coba menonton. Tentu tidak berekspektasi terlalu tinggi karena buku dengan film/serial punya target penikmat yang berbeda.

Apa yang ingin aku sampaikan di sini adalah literasi tidak melulu soal baca dan tulis. Ada juga literasi yang pemantiknya berasal dari manga dan film/serial. Lintasannya pun tidak linear, melainkan sirkular. Bisa berputar dan saling memengaruhi.

Jadi, jangan asal menilai kalau mereka yang suka menonton film dam membaca manga tidak bersentuhan dengan literasi, ya! Semuanya punya porsinya masing-masing dan setiap buku punya pembacanya sendiri. Tetap apresiasi mereka yang mau membaca.

— May 2, 2020

3 thoughts on “Memangnya Salah Kalau Aku Membaca Manga?

  1. Iya justru menariknya karena hari ini ada banyak pilihan “bacaan”, ditambah cara ngaksesnya makin mudah. Kalau membatasi diri malah rugi, dan saya pun pernah dalam fase (snob) ini.

    Kalau manga yg tekun diikutin sih One Piece yg ga tamat2 itu, ditambah belakangan lagi doyan baca manga romcom seinen.

  2. Samaan dong kak. Terutama karena dulu akses internet masih susah, jadi pelariannya kalo gak baca ya nonton. Baca komik emang asik, apa kak hesti juga pembaca webtoon? Hehe

    • Malah pas udah besar kayak gini, aku malah nggak baca Webtoon haha soalnya aplikasinya mayan berat buat di hape kan.

What Do You Think?