Terhitung sudah seminggu sejak hari terkahirku di Jakarta. Aku kembali pulang ke rumah. Iya, aku pulang ke Surabaya sampai entah kapan aku siap untuk berjuang lagi di ibukota. Menjadi perantau demi mewujudkan mimpi.

Rasanya tidak banyak yang tahu bahwa keputusanku untuk pulang adalah hasil dari pengunduran diriku dari pekerjaan yang sudah aku jalani selama 4 tahun belakangan. Wajar. Aku tahu kok, meski aku seringkali “curhat” melaui media sosial, aku juga bukan selebgram atau selebtwit yang mendapat perhatian setiap kali punya unggahan baru. Menulis melalui media sosial adalah caraku untuk mengungkapkan emosi dan perasaan. Meskipun, ada juga yang mencibir “cari perhatian.” Tetapi bukankah kita memang tidak bisa membuat semua pihak senang?

Leap of Faith

Ingat salah satu adegan dalam Spiderman: Into the Spiderverse? Ketika tokoh utamanya melakukan apa yang disebut dengan leap of faith. Rasanya, aku pun juga melakukan hal yang sama ketika aku mengajukan pengunduran diri. Kelihatannya spontan. Tetapi setelah dipikir-pikir, ketika pengajuan tersebut disetujui dan aku sudah berkemas, keputusanku tadi sebetulnya sudah tepat.

Tentu saja, beraktivitas di ibukota yang mana jauh dari orangtua itu tidak mudah. Jakarta bukan tempat aku besar. Aku tidak familiar dengan banyak hal. Aku belajar juga menjadi sosok yang profesional meskipun, untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat, aku harus atur otak. Bagaimana caranya agar kesempatanku di Jakarta tidak hanya habis karena bekerja.

Pulang ke Surabaya berarti aku meninggalkan akses terhadap banyaknya kelas dan seminar yang paling terbaru. Pulang ke Surabaya berarti aku meninggalkan toko buku independen yang selama ini menjadi favoritku: POST dan Transit. Pulang ke Surabaya berarti aku tidak lagi bisa menghabiskan akhir pekan di rak-rak buku Kinokuniya Plaza Senayan.

Tetapi aku bersyukur bisa pulang ke rumah.

Learnt the Hard Way

Selama aku di Jakarta, aku juga menjalani kisah asmara layaknya anak muda di pertengahan usia 20an. Sudah tertebak: tidak berakhir bahagia. Ada yang merasa tidak menyakiti siapapun dan ada yang merasa tersakiti. Ketika mencoba berusaha menerima apa yang terjadi, menerima kenyataan, rupanya ada juga yang “menekan” agar apa yang aku rasakan tidak muncul ke permukaan. Menampilkan sisi bahagiaku saja di depan banyak orang. Menyalahkan aku terhadap bagaimana stressnya pihak tertentu karena hasil keluaran (output) menjadi tidak optimal. Menyalahkan aku karena katanya, aku “mencemari” mental rekan yang lain.

Faktanya, aku sempat merasa depresi (psikologku belum mendiagnosaku dengan depresi klinis karena aku masih bisa berpikir secara rasional dan tidak memerlukan obat antidepresan). Aku juga berulang kali ke rumah sakit karena keadaan fisikku yang tiba-tiba menjadi sebuah anomali. Bisa dibayangkan, aku bisa setiap malam merasa ketakutan hingga mengalami anxiety attack (sesak napas ketika melihat sosok tertentu).

Ketika permintaan itu datang, dengan kata lain aku diminta untuk menyembunyikan diriku sendiri.

Padahal, selama ini, aku berjuang untuk menerima diriku apa adanya. Secara fisik, massa tubuhku lebih ringan daripada sekarung beras 50kg. Aku yang sedari usia remaja sudah minder karena tidak merasa cantik, ditambah postur tubuh yang “terlalu kurus”, hanya mengandalkan isi otak untuk mendapat teman. Aku membaca buku dan berusaha bagaimana caranya bisa mendapatkan ranking di kelas, dipandang oleh bapak ibu guru. Hingga aku bekerja, selalu ada saja yang mengatakan, “coba kalau beratmu 55kg, pasti cantik” dan ujaran-ujaran lain yang membuatku kesulitan menerima diriku sepenuhnya. Lah ketika keadaan mentalku tidak stabil, malah ada yang “memaksaku” untuk menekan emosiku. Oh well, if I only show my happy side and have to accept that happy side as myself, am I human?

Aku sadar betul, keadaan jiwaku tidak stabil akibat hubungan yang sebelumnya. Maka dari itu aku pergi ke psikolog untuk mencari penjelasan secara ilmiah dan rasional serta bagaimana aku bisa mengurangi perasaan-perasaan tidak enak itu. Aku juga membaca buku, mencari tahu dari sumber lain dan mencoba mempraktikkannya. Pergi ke Ubud untuk menjadi relawan dan menginisasi Baca Bareng. Tetapi ternyata, berada di lingkungan yang terus-terusan memaksaku untuk punya “topeng” membuatku lelah juga. Dan ketika aku menjadi diriku sendiri (termasuk, out and loud and proud to be a feminist) rupanya bukan usaha yang mudah. Rasanya menjadi berbeda di lingkaran itu adalah sebuah…kesalahan.

So, why should I stay? Rupanya, kondisi mentalku semakin memburuk. Ada yang berusaha mendekati eh rupanya bukan untuk menguatkan aku, tetapi untuk hal yang lain. Seakan-akan, biangnya hanya aku seorang.

I have enough and I value myself more.

Recovery in Progress

Yap, aku pulang. Aku di rumah dan jauh dari pihak-pihak yang dengan entengnya tidak merasa bersalah telah melukaiku. Aku pulang karena aku ingin mencintai diriku sendiri sebagaimana mestinya. Mau itu badan yang “kurus”, mata yang cuma segaris, kondisi mental yang tidak stabli. Ya itu semua adalah diriku. Itu yang membuatku beda dengan orang lain.

Sudah seminggu sejak hari terakhirku di Jakarta dan recovery atas patah hati ini masih terus berjalan. Aku masih merasa trauma ketika alarm mobil berbunyi — masih ingat bagaimana aku menghindari melihat mobilnya — mimpi buruk sesekali menghampiri, ingatan tentang bagaimana gaslight terjadi ketika kami masih dalam sebuah hubungan.

Tidak mudah memang, tetapi dengan aku berada di rumah, jauh dari pihak-pihak tersebut — bahkan aku memutuskan untuk mute akun yang masih terafiliasi dengan peran profesionalku — melakukan apa yang aku suka, aku yakin bahwa kelak aku akan baik-baik saja. Bahwa yang aku lakukan dengan mengundurkan diri ini, adalah sebuah keputusan yang baik untukku pribadi. Bahwa dengan menulis, termasuk mengenai sisi rapuhku, adalah caraku untuk sembuh dan menerima diri. Sebab, siapa yang mau bertanggung jawab jika aku menjadi tidak waras?

— March 25, 2020

3 thoughts on “Recovery In Disguised

  1. Dari keseluruhan ungkapan mbak Hesti, aku melihat ada masalah2 yg timbul karena pekerjaan, hubungan asmara, dan lingkungan sosial. Sehat selalu ya mbak, sehat scr mental pastinya, dan dalam masa penyembuhan, teruslah berjalan walau merangkak, jgn diam. Pelan-pelan, tidak usah terburu2, mental dan fisikmu juga berhak mendapatkan istirahat “sejenak”. Semoga Tuhan selalu memberkatimu dan seluruh aktivitasmu. Aamiin.

  2. Zm

    You’re strong woman, stronger than you think. You can handle it. All this problem will build a better you. Enjoy home for now. Cheer up, hz!

  3. Hai, hes. Sudah lama nggak bersapa, apalagi bersua. Life happens and time will heal. Konvensional ya, hes. Tapi nyatanya pengalaman hidupku juga seperti itu. Tolong kapan-kapan, waktu kita bersua sama teman-teman lain mungkin, kamu bisa luangkan waktumu untuk cerita pengalaman-pengalaman ya. Semangat selalu, hes. Sehat dan juga aman.

What Do You Think?