“Pilih Harvard atau Stanford? Kayaknya permasalahan hidup gue ga ada apa-apanya dibanding dilemanya Maudy Ayunda.”
Pernah mendengar ocehan seperti itu belakangan ini? Atau membaca di jagat internet bagaimana banyak orang mengomentari kesuksesan Maudy Ayunda. Baik itu yang pro dan kontra. Baik yang sampai membuatkan utas di Twitter atau sekadar melempar candaan. Rasanya nama Maudy Ayunda betul-betul menjadi top of mind orang-orang saat ini.
Tapi apa betul, membicarakan Maudy Ayunda bisa membuat kita termotivasi? Beberapa pengguna Twitter dengan pengikut ribuan membuat perbandingan antara Maudy Ayunda dengan kita, orang biasa.
Ada yang mengatakan tidak perlu sok sibuk karena Maudy Ayunda saja bisa mendapatkan Harvard dan Stanford di kala waktunya juga terbagi untuk menjadi brand ambassador dari 13 produk dan berakting serta bernyanyi. Ada pula akun Twitter yang menggunakan perandaian Maudy Ayunda sebagai seorang anak yang bisa “mengembalikan” investasi kedua orang tuanya terlepas dari apakah ia akan memilih Harvard ataupun Standford.
Tapi, Saya Bukan Maudy Ayunda
Apakah saya terpelatuk? Mungkin. Tapi skalanya tidak sebesar “aku harus menjadi seperti Maudy Ayunda.” Dari kacamata saya sendiri, Maudy Ayunda membuktikan bahwa anak perempuan, wanita, bisa menjadi apapun yang dia mau. Maudy Ayunda menunjukkan dengan memiliki cita-cita yang tinggi (saya tidak membicarakan soal privilege yang dimiliki olehnya) dan ini bagus. Namun, akan kurang tepat jika dibuat untuk “menjadi Maudy Ayunda” plek-plekan.
Ada yang lebih penting dari sekadar “ingin menjadi Maudy Ayunda”: self-love.
Bisa saja di Twitter terlihat bahwa pengguna yang merespon cuitan orang-orang tersebut seakan bercanda, namun dalamnya hati siapa tahu? Bagaimana kalau ternyata mereka mengutuk diri sendiri? Menjadi tidak sayang terhadap dirinya sendiri karena melihat Maudy Ayunda yang cantik dan cerdas itu.
Ketika netizen ramai membahas Maudy Ayunda, saya hanya mencari beritanya saja. Setelah itu, sudah. Saya tidak mau terperangkap dalam arus membandingkan hidup.
Memiliki self-love adalah suatu yang penting. Ketika kita tahu seberapa berharganya diri kita, maka kita bisa mulai melakukan hal-hal yang memang “terbaik” untuk kita. Maudy Ayunda bisa saja ke Harvard atau Stanford karena itu bentuk dari self-love. Ia ingin mendapatkan pendidikan terbaik untuk dirinya sebagai bentuk cinta terhadap diri sendiri. Tapi saya? Tidak seperti itu.
Self-love juga bisa menerima keadaan fisik dan kehidupan saat ini sebagai suatu hal yang patut disyukuri. Bukan dikutuk atau dikeluhkan. Melainkan untuk dimaksimalkan agar bisa menjadi “kendaraan” untuk mencapai tujuan kita.
Contohnya saya. Sebelum tahun baru, saya memiliki keluhan terhadap keadaan psikis saya yang berimbas pada keadaan fisik: sleep disorder. Awalnya, saya merasa ini hanya karena pola pekerjaan saya yang kala itu sedang padat. Lalu, kecemasan pun datang, yang membuat parah sleep disorder ini. Saya pun mencoba pergi ke psikolog untuk membicarakan hal tersebut hingga akhirnya saya tahu apa yang harus saya lakukan selanjutnya.
Maka, di tahun 2019, tujuan saya sesederhana “mengembalikan ritme aktivitas untuk kembali ke cinta pertama: buku.” Jauh berbeda dengan apa yang dimiliki oleh Maudy Ayunda, bukan? Tujuan itu saya jadikan target karena saya mencintai diri saya yang suka dengan buku ini. Perjalanan yang lumayan memerlukan usaha untuk “menutup telinga” dari komentar sumbang terkait saya dan hobi membaca.
Kesehatan (Mentalmu) Jauh Lebih Penting
Apa saya tidak pernah mengalami hidup yang isinya membanding-bandingkan? Pernah. Dan itu sangat tidak sehat. Saya punya Instagram dan mengikuti banyak akun yang (dulunya) adalah anak eksis di sekolah. Dari anak-anak dosen, anak rektor, anak pejabat, pokoknya saya ikuti. Apakah mereka kenal saya? Rasanya tidak. Semasa sekolah, saya hanyalah anak biasa saja yang kurus kering dan rok di bawah lutut.
Melihat mereka mengunggah banyak hal ternyata membuat saya menjadi kurang bersyukur terhadap apa yang saya peroleh. Saya sudah di Rumah Perubahan, menjadi timnya Prof. Rhenald Kasali, tetapi masih merasa tidak ada apa-apanya dibanding anak-anak itu: kerja di Delloitte, lulus S2 dari Inggris, Jepang, Amerika Serikat, wisata keliling Eropa. Pokoknya melihat diri ini tetap tidak ada kemajuan. Yang terjadi? Saya kerap menyalahkan keadaan, “coba dulu ayah ambil jabatan itu, coba dulu ayah mau jadi ini, mau jadi itu, mau ikut proyek ini pasti aku bisa punya fasilitas itu.” dan banyak keluhan lainnya. Namun, apakah mengeluhkan hal tersebut akan mengubah keadaan saya saat ini? Tidak sama sekali.
Maka dari itu, saya sempat hiatus dari Instagram selama 6 bulan. Sengaja tidak mengaktifkan akun agar tidak terus-terusan melihat ke atas. Saat saya memutuskan untuk kembali, saya harus dalam keadaan yang sudah stabil: tidak lagi melihat unggahan orang lain dengan membandingkan dengan keadaan diri sendiri. Hasilnya, ketika mengaktifkan akun, saya pun memutuskan hanya mengikuti akun yang memberikan saya added value terhadap kehidupan saya pribadi.
Dan ya, itu berhasil. Saya merasa jauh lebih “sehat” daripada tahun lalu.
Saya juga menahan diri untuk tidak mengetik nama mereka pada kolom pencarian (saya dulu sangat sering melakukan hal ini untuk nama-nama yang tidak saya ikuti di Instagram) dan mengalihkannya untuk membaca buku atau untuk browsing di Tumblr. Kembali pada aktivitas menjadi fans dari sebuah serial.
Hingga saat ini, saya masih menggunakan Instagram dan tidak lagi melihat “ke atas”. Minder dan merasa terintimidasi itu pasti ada, namun harus bisa dimodulisasi agar tidak menjadi emosi yang dominan dalam diri.
Ingat, kita, saya, kamu memang bukan Maudy Ayunda. Sudah cukup melihatnya dan kembali sehatkan diri kita. Mari fokus dengan tujuan yang ingin dicapai.
— March 7, 2019