I know, I will be damned if I said honestly. Jadi, tanggal 22 Desember tahun ini bukannya aku ingat pertama kali dengan Hari Ibu Nasional. Melainkan, IT’S PAYDAY BEFORE CHRISTMAS BREAK. Iya, iya. Aku bisa dikutuk jadi batu, menyusul si Malin Kundang kalau begini.

Jadi, SELAMAT HARI IBU NASIONAL!

Tahun 2016 ini benar-benar menjadi tahun yang berbeda buatku. Dan tentu saja, untuk hubunganku dengan mamaku. Aku sedari kecil sudah hidup di Surabaya. Belum pernah merantau dalam rentang waktu yang lama. Wajar, ketika sekalinya aku pindah ke Bekasi, hubunganku dan perspektifku terhadap mamaku jadi berubah. Jauh dari mama juga membuatku menjadi anak yang akhirnya, harus berdiri sendiri. Walaupun harus babak belur (di awal).

She is the Reason Why I Become A Feminist

Orang boleh berpendapat dan berkomentar setelah membaca tulisan ini. Tapi memang benar. Mama adalah sosok yang membuatku dengan bangga berucap, “I am a feminist“. Inside her eyes, you will see the struggle which she has been through. Bagaimana mama berjuang untuk bisa membesarkan plus mengajarkan ketiga anaknya adalah sesuatu yang membuatku mereasa setiap wanita berhak atas semua hal yang membuat dirinya bisa berkembang. Tidak peduli wanita karir atau ibu rumah tangga. Keduanya memiliki peran yang sama susahnya, sama beratnya, dan sama pentingnya untuk melahirkan generasi yang cerdas (dan tidak mudah terprovokasi, tidak mudah percaya berita yang belum valid).

Despite of keep asking me to get married soon, mama malah selalu mendorong anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan. Belajar. Cari pengalaman. Develop ourselves. Malah ketika aku wisuda S1 tahun 2015 lalu, mama malah bilang untuk lanjutkan sekolah dulu baru kemudian menikah. Mama merasa bahwa wanita juga punya kesempatan yang sama dalam hal apapun, termasuk akses terhadap pendidikan.

Masih ada lagi sudut pandang-sudut pandang yang aku dapatkan dari mama yang kemudian membuatku ingin menjadi seorang feminis. Sesederhana, berbuat baik kepada siapa pun. Berkawan dengan siapa pun tanpa memandang SARA. Mama juga selalu bilang, “sisihkan rezekimu untuk mereka yang membutuhkan. Jadikan itu sebagai rasa syukurmu.”

She is More than Just a Mom

Mungkin semua ibu punya naluri yang sama. Tanpa harus si anak cerita, ibu pasti sudah tahu apa yang terjadi dengan anaknya. It’s goes the same to my mom. Aku tidak bisa bohong. Mama selalu saja punya naluri untuk tahu yang sebenarnya. Aku curiga, jangan-jangan mama ini INFP (introversion, intuition, feeling, perception). Bagaimana tidak, setiap ada sesuatu hal yang terjadi padaku, rasanya kurang afdol kalau tidak cerita ke mama. Apalagi semenjak aku pindah ke kota orang. Keinginan buat chat mama kok rasanya muncul terus setiap hari.

Dan ketika aku bilang she is more than just a mom, itu karena kami lebih sering dikira sebagai kakak-adik daripada ibu dan anak. Mama yang sudah berusia kepala 4 memang masing stylist. Koleksi bajunya saja lebih kece ketimbang koleksi baju anak-anaknya. She is always know what’s in right now. Ya tidak salah sih, kalau aku lebih suka ubek-ubek lemari baju mama :p

Mungkin karena mama hobi baca, anak-anaknya selalu diberi rekomendasi bacaan. Tidak tanggung-tanggung, bacaan sastra sekali pun. Misalnya ketika buku puisi kembali ramai di khalayak milennials, mama malah merekomendasikan untuk baca Khalil Gibran. Aku dan mama jadi sering sharing bacaan. Aku punya buku apa, mama baca buku apa. Mama pulalah yang memperkenalkan ku dengan karya Agatha Christie ketika aku masih SD.

Tidak sampai di situ saja. Mama juga suka nonton film. Mama lah yang memperkenalkan aku dengan Exorcist (dan hingga kini masih menjadi film horror favoritku!), karya-karya Sorcese (walaupun aku sendiri belum nonton semuanya) dan film-film yang didapuk sebagai film “berat”.

Well, Sure, I Miss My Mom

Semakin lama aku semakin menyadari kalau suatu hubungan diuji malah ketika sedang berjauhan. Seperti hubunganku dengan mama saat ini. Mama aktif di Facebook dan Instagram. Setiap kali selesai melakukan kegiatan, mama tidak mau melewatkan begitu saja tanpa mengunggah fotonya di dua media sosial tersebut. Belakangan, aku malah jadi tahu kalau semenjak adik-adikku jadi mahasiswa, mama bisa total mengembangkan diri (lagi). Yap, mama berkreasi dengan decoupage. Dan itu malah membuat aku jadi semakin rindu tapi di satu sisi, it tighten our bonding.

Senang rasanya lihat mama kini punya kegiatan. Apalagi kalau menghasilkan. Mama yang sering mengunggah hasil karyanya ke Facebook dan Instagram kini tidak hanya sekedar menjual tas-tas lucu tersebut. Tetapi juga memberikan pelatihan untuk komunitas perempuan yang ada di Surabaya. Anak mana sih yang tidak bangga kalau ibunya tetap bisa aktif seperti itu?

Kembali lagi pada poin she is the reason why I become a feminist. Mama adalah contoh hidup sosok yang tidak menyerah pada patriatki. Bahwa yang namanya mengembangkan diri tidak pernah ada batasan usia. Keika aku dan adik-adikku masih kecil, mama juga tidak pernah tuh merasa kalau dirinya tidak perlu belajar. Masih ingat sekali, aku masih kelas 3 SD ketika mama ambil kursus bahasa Jepang.

And It All Made Me to This

Kalau mama bukanlah sosok wanita yang kuat, sosok yang tidak pernah berhenti belajar, dan bukanlah sosok yang mengenalkan padaku tentang apa itu menjadi tangguh, mungkin aku tidak di sini. Menjadi RKMentee. Tanpa ada mama yang hingga kini masih membaca sastra, mungkin aku tidak akan jatuh cinta dengan buku. Tanpa ada kerelaan hati mama untuk “melepaskan”ku mencari pengalaman sejauh dan sebanyak mungkin, aku tidak akan pernah seberani ini untuk punya mimpi besar dan berjuang untuk mewujudkannya.

Semoga sehat selalu, mam.

— December 22, 2016

What Do You Think?