Berangkat dari artikel mengenai “Profesi Pustakawan Tidak Akan Berakhir” di salah satu portal berita online, aku jadi ingin ikut urun pendapat mengenai profesi pustakawan di Indonesia. Bagi mereka yang baru saja lulus dari jenjang S1 Ilmu Perpustakaan dimanapu universitasnya, coba cari melalui Google tentang lowongan pekerjaan menjadi pustakwan/arsiparis. Kemudian dilanjutkan dengan mencari informasi mengenai prospek karir pustakawan.

Jangan kaget jika sebenarnya ada cukup lowongan pekerjaan yang memang membutuhkan tenaga pustakawan secara profesional (bukan hanya sekedar apply hanya karena sedang butuh pekerjaan) dengan salah satu persyaratannya ialah lulusan ilmu perpustakaan entah itu dari diploma ataupun sarjana. Menggunakan kata kunci selanjutnya, memang benar, profesi sebagai pustakawan hingga saat ini masih belum ditengok sepenuhnya, bahkan sebagian besar masyarakat kita masih menganggap bahwa bekerja sebagai pustakawan adalah pekerjaan yang tidak mengerjakan apa-apa. Hanya menata buku, jaga perpustakaan, tanpa mereka tahu bahwa menata buku pun ada tata caranya, tanpa mereka tahu kalau memajang buku di perpustakaan harus melalui prosedur yang tidak sedikit.

Kembali lagi pada artikel tersebut bahwa kini Indonesia sudah semakin ingin mengejar ketertinggalan dalam bidang teknologi. Semuanya diusahakan menggunakan perangkat cerdas ketimbang manusia. Tapi, dasar aku pemegang paham Social Determinism, aku masih berasumsi bahwa dibalik gencarnya perubahan pada teknologi di berbagai bidang, akan ada sisi sosial yang berubah. Sayangnya, hal tersebut belum sepenuhnya diperhatikan.

Memang, akses informasi bisa dilakukan di manapun, tanpa harus ke perpustakaan sekalipun. Tetapi yang dilupakan oleh masyarakat ialah tidak semua orang mampu mengakses informasi yang benar. Yang minimal tidak malah menyesatkannya. Itu masih orang dewasa, mereka yang mungkin kini tengah berada pada usia 20-30 tahun, dimana masih pernah mengalami hidup tanpa kemudahan mesin pencari Google. Lalu, bagaimana dengan anak-anak yang sedari kecil sudah familiar dengan internet dan kebebasan akses informasi?

Seringkali dihimbau para orang tua agar bisa mendampingi putra-putrinya untuk menggunakan perangkat elektronik khususnya yang terhubung langsung dengan internet. Sebab, ditakutkan mereka malah akan mengakses konten yang belum pada usianya. Tetapi, apakah mereka sempat mengajak pustakawan sekolah untuk melakukan pemantapan literasi dini bersama?

Pustakawan anak dan remaja (atau di luar negri disebut Children & Youth Librarian) sepertinya masih belum dijadikan suatu profesi yang menjanjikan. Masyarakat masih merasa belum butuh adanya tenaga pendidik (perpustakaan merupakan lembaga pendidik, oleh karena itu pustakawan disebut sebagai tenaga pendidik) yang bisa memberikan arahan yang tepat secara keilmuan (kini, semuanya ada ilmunya, bukan?) tentang bagaimana membuat anak usia 0-12 bulan terlihat berminat untuk memegang buku fisik, 13-24 bulan untuk mau mulai ikut membaca bersama dan seterusnya. Masyarakat agaknya lebih senang menjadikan televisi, ponsel, dan tablet sebagai pengasuh anak ketimbang mengenalkan mereka terhadap bahan pustaka.

Menurut studi yang sudah banyak dilakukan, mengenalkan bahan pustaka pada anak sejak dini (atau kemudian disebut sebagai Program Literasi Dini) bisa membuat anak lebih selektif terhadap informasi yang akan ia serap. Iya, si anak akan tetap membaca, tetapi dia bisa memilih mana informasi yang masuk akal baginya dan tidak menjadi asal sebar (share) begitu saja.

Program Literasi Dini juga bisa membuat anak memiliki pengetahuan yang luas karena dengan bantuan tenaga pustakawan anak dan remaja ini, si anak tahu apa itu ensiklopedia dan bagaimana cara mengaksesnya. Meskipun ada wikipedia, si anak tidak serta merta menyalin-tempel (copy paste) tanpa mencoba memverifikasi informasi tersebut dari bahan pustaka yang lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Menjadi pustakawan anak dan remaja tidak hanya sembarang menjaga perpustakaan sekolah saja (misalnya). Peran pustakawan anak dan remaja juga termasuk mengolah bahan pustaka yang sekiranya bisa menjadi daya tarik anak-anak dan remaja untuk menggemari kegiatan membaca. Sebuah langkah yang penting sebelum membawa anak menuju jenjang sekolah yang lebih tinggi: mampu memilah informasi dan mengerti bagaimana mengakses bahan pustaka yang mendukung. Pustakawan anak dan remaja juga berperan mengajarkan hal-hal yang mungkin kita anggap remeh temeh: menggunakan kamus, menggunakan ensiklopedi, mencari informasi menggunakan mesin pencari, dan hal-hal mendasar untuk dapat mengakses informasi secara mandiri. Bahkan juga termasuk mengajarkan mereka bagaimana mengakses katalog perpustakaan untuk mendapatkan bahan pustaka yang diinginkannya. Bagi kita yang sudah dewasa ini (asumsinya, sudah mampu mencari secara mandiri tanpa perlu peran pustakawan), hal-hal tersebut tidak perlu lagi diajarkan, toh mereka akan bisa dengan sendirinya. Namun perlu diingat juga, tidak semua anak memiliki kemampuan belajar yang cepat. Pustakawan pun hendaknya bisa mengarahkannya agar tidak tersesat dalam lautan informasi yang semakin tidak terkendali ini.

Sayangnya lagi, di Indonesia tampaknya masih belum ada sekolah tinggi yang benar-benar fokus pada jurusan Children & Youth Librarianship, padahal lulusan jurusan ini memiliki prospek kerja yang menjanjikan sebagaimana populasi anak-anak dan remaja di Indonesia adalah populasi tersbesar di Indonesia. Otomatis, bagi mereka yang ingin (dan benar-benar passion) mendalami bidang ilmu ini harus mencari sekolah di luar negeri sana dengan harapan bisa memberikan kontribusi kepada Ibu Pertiwi untuk membuat Indonesia menjadi lebih berliterasi.

Karena aku yakin, ketika semua orang mengagung-agungkan teknologi, ada sisi manusia yang merindukan sentuhan humanis. Jadi, meskipun semua orang berasumsi bahwa profesi pustakawan nantinya akan tergeser oleh kecanggihan mesin pencari bahkan humanoid sekalipun, aku rasa humanisme pustakawan anak dan remaja tetap akan bisa menyentuh patron mudanya itu. Memangnya ada orang tua yang ingin anaknya sejak kecil berhadapan dengan robot dan mesin tanpa memiliki rasa empati dan simpati sebagai manusia?

Ketika banyak sumber daya manusia yang disekolahkan untuk dapat mendigitalkan apapun di Indonesia, kita tanpa sadar menjadi kekurangan sumber daya yang bisa memahami manusia dari kacamata manusia juga. Jadi, masih ragu untuk menjadi Children & Youth Librarian?

NB: aku sedang berusaha untuk dapat mendalami topik ini (Children & Youth Service Librarianship) yang sayangnya harus sekolah di luar negeri. Apabila pembaca memiliki rekan yang pernah sekolah di Amerika Serikat dan mendalami keilmuan Library and Information Science, mohon kontak aku secara personal di: istiviani1906@gmail.com

— September 29, 2015

What Do You Think?