Rasanya sudah 3 bulan ya tidak update blog ini?

Sebenarnya ada banyak hal yang bisa dibagikan selepas program Mentee. Aku masih diperbantukan untuk menjadi road manager dan yah, walaupun sibuk juga tapi menyenangkan. Kapan lagi aku bisa mengenakan sepatu Docmart 1461-ku ketika jam dan hari kerja kalau bukan ketika harus cek lapangan di H-1 acara? Hehe.

Tapi bukan itu yang mau aku ceritakan kali ini.

Ini adalah ketika aku kehilangan mood-ku untuk membaca buku. Alias, mengalami reading slump. Rasanya sedih. Aku kehilangan minat untuk membaca buku. Bahkan sekedar membeli buku secara impulsif seperti sedia kala sudah menghilang. Begitu datang ke toko buku, mau itu Gramedia, Kinokuniya ataupun Periplus, rasanya tidak ada yang menarik. Promosi ataupun diskon juga gagal menggodaku.

Kesal? Iya. Kemana mood menggebuku untuk membaca buku ketimbang ikut berjalan-jalan?

Setelah jauh diselediki (maksudnya, hanya sebatas berkontemplasi), mungkin salah satu alasan reading slump ialah karena workload yang lumayan. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, aku masih bisa menyisihkan waktu di pagi dan malam hari untuk membaca. Bahkan ketika istirahat jam makan siang, aku akan kembali ke mejaku lebih cepat hanya sekedar untuk membaca barang 1-2 halaman saja. Tapi sejak awal tahun, keinginan itu menghilang. Menguap begitu saja,

Bukan. Ini bukan masalah waktu. Karena aku sadar betul, ketika aku ingin segera menyelesaikan sebuah buku, aku akan selalu membuat waktu. Mengorbankan jam tidur kalau perlu.

Salah satu workload yang harus aku kerjakan adalah mendukung riset untuk pengerjaan suatu proyek. Kami terdiri dari beberapa orang dengan tim inti hanya 2 orang saja. Kami saling memberikan masukan terkait hasil riset yang kami kumpulkan.

Melelahkan? Lumayan. Kami harus membaca hal yang berkaitan dengan topik. Memperdalam sehingga hasil riset kami bisa dielaborasikan dalam proyek yang tengah dikerjakan.

Di situlah timbul rasa bersalah kalau aku membaca buku yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan riset. Pikiran bahwa “Aduh, riset yang ini harus diperdalam, “Hasil riset yang ini belum sesuai dengan topik” dan pikiran-pikiran itu berkecamuk. Membuat keinginan untuk pleasure reading hilang.

Tapi akhirnya, karena terlalu penat (mungkin) dengan workload, aku merasa harus mencari eskapisme. Satu musim The End of F***** World sudah tamat dan belum ada dorongan untuk melanjutkan serial yang lain. Alhasil, mencoba membaca buku-buku puisi yang tipis. Misalnya buku puisi milik Michael Faudet.

Sayangnya cara seperti itu belum mampu mengembalikan mood membacaku. Aku masih begitu malas untuk melanjutkan membacanya. Padahal tidak ada masalah dengan kosa kata. Pun menulis resensinya di Goodreads. Analisisku adalah aku tidak enjoy membaca bukunya, sehingga yang ada malah tidak berminat untuk segera menyelesaikan bukunya.

Kemudian aku teringat, salah seorang kawan memiliki novel karangan Akiyoshi Rikako. Sebelumnya aku sudah membaca satu karyanya yang berjudul Holy Mother dan aku cukup puas. Di situlah aku lagi-lagi berusaha mencoba untuk mengembalikan mood dengan Girls in The Dark.

Ternyata, lumayan! Ya, gara-gara Girls in The Dark itu, aku jadi mendapatkan mood-ku kembali. Membaca Girls in The Dark saja hanya membutuhkan waktu 1 malam. Kecepatan yang biasanya ketika aku membaca. Dan Girls in The Dark pula yang membuatku ingin membaca lebih banyak lagi, dimulai dari menghabiskan karya Akiyoshi Rikako.

Ternyata, rasa jenuh akibat kegiatan membaca yang bukan pleasure reading hanya perlu didorong terus menerus dengan bacaan yang kiranya bisa memunculkan minat lagi. Dalam kasusku, kembali pada genre yang aku suka sedari awal: misteri dan detektif atau police story.

Kalau kamu, bagaimana caranya kamu mengatasi reading slump?

— March 11, 2018

What Do You Think?