Niat untuk datang ke Ubud Writers and Readers Festival 2019 sudah hadir sejak kuartal terakhir 2018. Perasaan ini semakin menggebu ketika salah satu dari rekan kantor mendapatkan izin untuk menjadi volunteer dalam pertemuan besar IMF-WB di Nusa Dua Oktober 2018 lalu. “Kalau dia saja bisa, mengapa aku tidak?” pikirku. Apalagi personal brading-ku sebagai seorang bookdragon sudah cukup dikenal di kantor, mudah kiranya untuk mendapatkan izin cuti. Maka, sejak Januari 2019, aku sudah mulai menyisihkan pendapatanku untuk UWRF19. Sebagai ancang-ancang untuk terbang ke Ubud.
Tekad yang besar demi UWRF mendorongku untuk terus memantau media sosial dan situs webnya. Agustus 2019, begitu pengumuan bahwa seleksi relawan sudah dibuka, aku langsung membaca setiap detilnya, bahkan hingga mempelajari bagaimana cara mengisi formulir aplikasi. Jujur saja, aku butuh beberapa hari untuk meramu “esai singkat” agar formulir aplikasiku lolos. Blogpost-blogpost tentang serunya menjadi relawan UWRF yang aku baca menambah semangat dan motivasi bahwa aku harus menjadi bagian dari festival literasi internasional ini.
Singkat cerita, sekitar minggu terakhir September hingga awal Oktober menjadi momen yang ditunggu oleh para aplikan, termasuk aku. Aku menanti apakah benar akan diterima atau tidak. Kalaupun tidak diterima, maka aku akan tetap hadir sebagai peserta.
Relawan Modal Nekat
Melamar sebagai International Writer Liaison (IWL) ternyata mendapatkan hasil seleksi yang lebih lama daripada posisi-posisi lain. Mengapa (nekat) sebagai IWL? Aku pernah menjadi asisten seorang profesional, akademisi, sekaligus penulis yang namanya sudah terkenal di Indonesia. Jadi (minimal) aku tahu bagaimana caranya memfasilitasi para penulis-penulis internasional tersebut. Sekaligus, akan menjadi sebuah pengalaman dan pelajaran dalam mengasah kemampuan berbahasa Inggrisku (yang selama ini hanya jago di bagian membaca saja :p).
Sejak pengumuman dikirimkan kepada aplikan yang berhasil, nama-nama yang terseleksi menjadi IWL diisi oleh teman-teman dari dalam dan luar negeri. Ada yang dari Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Australia, pokoknya dari mana-mana!
Dari pengumuman menuju briefing awal dan singkat tentang penugasan IWL berjalan dengan lumayan cepat. Kami berkomunikasi secara intensif melalui surel dan barulah ketika mendekati acara, koordinator kami mengumpulkan kami ke dalam satu WhatsApp Group. Ada banyak dokumen yang perlu kami baca terkait dengan para penulis yang harus kami dampingi. Jangan sampai salah jadwal karena bisa membuat Festival menjadi kacau. Deg-degan? Tentu! Apalagi ternyata menjadi IWL dalam UWRF19, kami harus menangani 4-5 penulis. Belum lagi jika ada dua penulis yang kebetulan waktu sesinya bersamaan.
Aku kedapatan membantu 4 penulis: Rhik Samadder dari Inggris, Erin Cook dari Australia, Suneeta Peres Da Costa dari Australia, dan Megan K. Stack dari Amerika Serikat.
Meskipun harus menangani 4 penulis, tetapi mereka semua sangat kooperatif, bahkan ramah dan mudah diajak berkoordinasi. Sebagai IWL, aku harus memastikan bahwa mereka memahami kapan saja sesi-sesinya di UWRF19, kapan mereka akan dijemput dari hotel, dan hal-hal lain seperti apakah mereka membutuhkan bantuan ketika berada di atas panggung. Yang menjadi modal utama adalah komunikasi dan koordinasi yang jelas antara penulis dengan staf UWRF19 yang bertugas.
Sejak awal, koordinator kami, Primadita sudah mengatakan bahwa penulis tidak perlu ditemani. Mereka juga seorang profesional yang pasti akan menghubungi IWL ketika membutuhkan bantuan terkait Festival. Dari keempat penulis, aku beberapa kali berkoordinasi mengenai penjemputan mereka dari hotel ke tempat acara. Ada yang meminta untuk dijemput lebih awal ada pula yang memutuskan untuk berjalan kaki karena hotel dengan lokasi Festival berdekatan. Para penulis ini menginformasikan hal tersebut kepadaku sebagai IWL sehingga aku bisa mengkomunikasikan informasi itu kepada koordinator acara. Keuntungannya adalah penulis bisa hadir tepat waktu, bahkan lebih awal ke lokasi acara sehingga moderator pun memiliki waktu untuk berbincang terlebih dahulu.
Si Agen Ganda
Tugasku sebagai relawan UWRF19 tidak berhenti sampai di situ saja…
H-2 sebelum aku berangkat ke Ubud, Primadita menghubungiku. Dia bertanya apakah aku bersedia membantu menjadi MC untuk beberapa panel. Aku pun menjawab, selama tidak mengganggu tugas utamaku sebagai IWL, aku bersedia membantu. Tidak lama kemudian, koordinator MC, Hapsarina, mengirimkan pesan melalui WhatsApp dan aku sudah tergabung ke dalam WhatsApp Group teman-teman MC UWRF19.
Yak, betul. Aku memiliki tugas ganda di UWRF19. Dan sepanjang menjadi MC, ada hal yang menjadi bahan pelajaran untukku pribadi. Ini terkait equality dan bagaimana aku memandang kesetaraan dalam hal warna kulit (akan dijelaskan dalam tulisan berbeda ya!).
Aku menjadi MC untuk 3 acara peluncuran buku dan 1 acara malam puisi. Kurang lebih, dalam sehari, aku bisa menghabiskan 4 sesi (termasuk menemani penulis). Meskipun sibuk ketika bertugas, aku sempat beberapa kali “curi-curi” kesempatan untuk menikmati Festival kok ehe.
Untung saja, tugasku berakhir di hari terakhir (27 Oktober 2019). Alias, semua penulisku tidak memiliki panel dan tidak ada lagi acara yang harus aku bantu menjadi MC. Alhasil, aku bisa menikmati Festival dengan menjadi peserta yang duduk dan mendengar.
Menjadi relawan di UWRF19 bisa dikatakan sebagai pengalaman berhargaku. Once in a lifetime. Tapi kalau pun ditanya apakah ingin menjadi relawan lagi, aku bisa menjawab: TENTU! Bagaimana tidak, Ubud Writers and Readers Festival masuk ke dalam acara festival literasi terbesar di dunia. Skalanya internasional dan tahun ini sudah masuk tahun ke-16! Sekalinya mendaftar menjadi relawan, aku cukup nekat menjadi IWL dengan bermodal pengalaman menjadi asisten Prof. Rhenald Kasali (terima kasih RKMENTEE!). Bahkan sampai menjadi MC pula. Bagaimana aku bisa tidak bersyukur dengan kesempatan yang diberikan ini?
UWRF19 membuatku semakin menggumam dan mengamini kalau semesta selalu bersama mereka yang tekun mengejar mimpi, agar tidak sekedar menjadi angan. Apalagi angin.
— November 2, 2019
Hestiiii ini seru abis! Aku udah lama banget pengin ke UWRF dan sampai sekarang belum berjodoh buat dateng. Pnegin ke sana sebagai peserta sih, biar lebih khusyuk ngikutin sesinya. Tapi setelah membaca ceritamu, sepertinya asik juga jadi volunteer. Hehe. Thanks for sharing, ya! Ditunggu cerita lanjutannya! 😀
Kak Hesti keren sekali!