Terbang ke Ubud tahun ini seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan. Itu saja. Bukan menjadi sebuah “pelarian” apalagi untuk mencari ketenangan.

Tapi apa mau dikata. Juni tahun ini ada badai menghantam. Badainya terus menggelayut hingga beberapa minggu sebelum bertolak ke Ubud. Membuat keadaan emosional tidak stabil, keadaan mental sempat terguncang, dan hubungan dengan beberapa orang terpaksa harus terganggu.

Aku terbang ke Ubud dengan membawa perasaan lain.

Aku terbang ke Ubud dan berharap bisa “disembuhkan.”

Hingga tulisan ini diketik, akhirnya aku menyadari, semesta memang begini cara bekerjanya. Semesta “mengirimkan” badai dan pion-pion sebagai bahanku untuk belajar dan naik kelas. Dan dengan menerima pelajaran ini melalui perjalanan dan kisahku di Ubud, ternyata membawaku pada sudut pandang lain tentang menyembuhkan dan memaafkan diri sendiri.

Ubud tidak menawarkan obat penawar apapun. Dia hanya menghadirkan surganya orang-orang sepertiku: festival literasi – tingkat internasional pula. Melalui itu, Ubud mengajakku berkontemplasi. Kembali memikirkan apakah memang betul tangan-tangan di balik badai itu harus aku tanggapi? Mengapa aku tidak fokus saja dengan mimpi dan tujuanku selama ini? Toh, mau aku berusaha sejauh dan sekuat apapun, mereka tetap akan bersuara sumbang. Mencoba menjatuhkan. Apalagi kalau bukan karena iri sebab aku sudah tahu apa yang ingin aku lakukan dengan mimpiku itu?

Melalui sesama relawan UWRF19, Ubud menunjukkan bahwa kegiatan Baca Bareng-ku membuat orang lain bergairah untuk membaca di tempat umum. Melalui sesama tim UWRF19, Ubud membuktikkan kalau hal yang dilakukan dengan hati akan mendapatkan karma yang setimpal. Melalui panel di UWRF19, Ubud menyemangatiku kalau memiliki “suara lantang” tentang kesetaraan itu sangatlah tidak apa-apa. Ubud seakan memberitahuku, tidak ada yang salah menjadi diri sendiri dan selalu akan ada orang-orang yang tidak suka dengan hal itu.

Ubud mengantarkanku kepada orang-orang dengan ide-ide menarik yang ingin aku elaborasikan, yang ingin aku kembangkan. Ubud memang panas terik ketika itu, tetapi panasnya menggerakkan “motorku” dengan proyek-proyek lucu yang bisa aku jalankan sekembalinya aku ke ibukota.

I didn’t come to Ubud to find new love. Aku datang ke Ubud karena ingin merapikan kembali hati dan emosi yang sempat kacau balau beberapa bulan belakangan. Namun hasil yang aku dapatkan lebih dari itu. Aku datang ke Ubud dan merasakan bahwa aku bisa lebih dari sekadar aku yang sekarang. Dan ketika tangan-tangan di balik badai itu sibuk membicarakanku (dan hubunganku dengan beberapa orang), tanpa mereka sadari, aku akan berada pada bar yang lebih tinggi dari mereka. Tanpa mereka sadari, aku bisa duduk menjadi speaker di acara festival literasi internasional itu.

— October 29, 2019

What Do You Think?