Adalah pertanyaan yang kerap diontarkan kepadaku. Dengan naiknya follower di akun media sosial, mereka menanyakan kiat untuk dapat berkontribusi dalam ekosistem literasi. Salah satunya langsung di dalam industri.

Tulisan kali ini, aku ingin bercerita bahwa itu semua merupakan akumulasi dari apa yang pernah dilakukan bertahun-tahun lamanya. Persis seperti apa yang Fellexandro Ruby sampaikan melalui bukunya You Do You. Tidak ada yang instan. Butuh 10.000 jam latihan dengan deliberate practice sehingga kemampuan kita sesuai dengan kebutuhan industri yang ingin kita sasar.

Diawali dari bangku kuliah

Aku mendapat gelar sarjana dari Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga. Kalau ditulis bersama dengan namaku, maka menjadi Hestia Istiviani, S.IIP. Gelar yang tidak umum. Namun syukurlah, aku jarang sekali diminta menulis nama lengkap dengan gelar.

Bergelut dengan ilmu yang mempelajari organisasi informasi hingga perilaku membaca manusia semakin membuatku jatuh cinta dengan literasi. Mengambil peminatan Minat Baca di semester 5 adalah keputusan yang tidak pernah aku sesali. Aku menelisik bahwa membangun minat baca, bagaimana perilaku manusia dalam mendapatkan informasi, serta bagaimana masyarakat berbasis informasi terbentuk rupanya ada teorinya masing-masing. Pusing sih, tapi aku betah.

Kombinasi yang menyenangkan, ya? Sudah suka baca sejak kecil ditambah mengenyam pendidikan tinggi yang berkaitan dengan literasi. Makin lengkap pula jika berkecimpung di dalam komunitas terkait.

Aku pun mencoba bergabung ke dalam komunitas buku berbasis daring. Mulai dari komunitas Blogger Buku Indonesia (BBI), Klub Buku Surabaya (KBS), hingga Goodreads Indonesia – Surabaya. Perlu diketahui, meski Surabaya didaulat sebagai kota terbesar kedua akan tetapi geliat komunitas literasinya tidak semasif di Jakarta. Kehadirannya ada, tapi masih kurang “panas” jika dibandingkan dengan komunitas ibukota.

Aku nyaman dengan ketiga komunitas itu. Perkenalan demi perkenalan hingga pertemuan meski harus melalui perjalanan Surabaya – Jakarta – Surabaya. Tetapi dari situ, aku jadi punya teman-teman yang berkiprah dengan buku. Ada yang bekerja sebagai pustakawan perguruan tinggi, menjadi penyunting di penerbit, atau sekadar menjadi pembaca setia sepertiku. Pokoknya, aku suka berada di dekat mereka-mereka ini!

And it lead to one another…

Aku lulus pada September 2015 dan langsung mendapatkan pekerjaan penuh-waktu secara profesional pada Januari 2016. Jeda waktu yang cukup singkat ini terasa lebih mudah karena teman-teman dari komunitas literasi itu. Mereka yang mengetahui kabar bahwa aku akan pindah ke ibukota menawarkan beragam bantuan. Ketika aku sudah menetap di Jakarta, mereka juga sering mengajakku nongkrong di toko buku. Yang paling berkesan ialah ketika Big Bad Wolf pertama kali hadir di ICE BSD – Tangerang. Bersama dua anggota BBI, Raafi dan Daniel, kami berburu buku. Ternyata ketika sudah berada di lokasi, kami juga bertemu dengan anggota BBI yang lain. Wah, jadi ajang bertemu yang tidak disengaja!

Pertemanan dengan Goodreads Indonesia juga semakin melebar. Dari yang semula cuma tim hore lalu mendapatkan ajakan untuk menjadi salah satu penyiar dalam Klub Siaran Goodreads Indonesia. Bahkan juga ditawari untuk menjadi moderator untuk acara diksusi mereka.

Itu belum termasuk ketika aku dengan sengaja mengikuti Kemah Sastra dan Filsafat, menjadi relawan untuk Ubud Writer and Reader Festival, serta mendapatkan kesempatan belajar tentang agen sastra/literasi pada Jakarta International Literacy Festival. Semua itu aku lakukan ketika aku belum sepenuhnya berada di dalam industri. Ketika aku masih menjadi Senior Content Strategist. Hitung-hitung, aku mengetuk pintunya dulu. Mendekatkan diri pada orang-orang yang bergerak di dunia literasi.

Selama 2016-2020 itu, aku bekerja di kantor konsultansi manajemen. Pendirinya adalah seorang public figure, seorang guru besar, dan juga seorang penulis manajemen yang bukunya sering best seller (silakan Googling sendiri, ya!). Mereka ingat ketika mewawancaraiku, bahwa aku suka dengan buku dan punya keinginan untuk menjadi penyunting. Maka, dua tahun pertama aku diberi tanggung jawab untuk mengurusi hal-hal berkaitan dengan artikel. Mulai dari menerima tulisan tangan yang harus diubah dalam bentuk digital, memeriksa aksara, menyuntingnya secara minor, hingga menyampaikannya kepada redaksi media yang dituju. Kemudian secara bertahap, aku juga dilibatkan dalam proses pembuatan buku. Tidak hanya menulis dan riset. Aku juga bertanggung jawab terhadap komunikasi dengan penerbit (pemasaran, legalitas, peluncuran buku). Dari situlah, persinggunganku dengan industri literasi menjadi semakin sering.

Ohya, mengurusi buku sekalian kujadikan ladang ujian. Benarkah pekerjaan buku adalah sesuatu yang bisa kunamai sebagai passion? Sebab, kerap kali orang mengatakan passion tetapi hanya berpaku pada hal-hal menyenangkannya saja. Padahal, bak dua sisi koin, senang pasti sepaket dengan susah. Apakah aku bisa menerima sisi susahnya?

Dan di sinilah aku sekarang!

Di tengah pandemi 2020, seorang editor ternama mengajakku untuk bergabung ke dalam salah satu penerbit yang ia asuh. Kami pernah bertemu pada 2014 saat Festival Pembaca Indonesia digelar di Museum Nasional. Dari pertemuan yang menyenangkan itu, kami kerap beberapa kali berkomunikasi via Facebook.

Kepalaku masih terkejut ketika ia menghubungi dan mengutarakan niatnya itu. “Wah, di penerbit?” Rasanya seperti keinginanku terkabul dengan begitu cepat!

Dari menjadi Redaktur Pelaksana untuk salah satu penerbit, perkenalanku dengan industri juga menjadi semakin kemana-mana. Ada informasi baru yang baru kudapat ketika benar-benar masuk ke dalamnya. Pengalaman itu pula yang membawaku berada di posisi sekarang. Meski beda penerbitan dan cakupannya sudah masuk ke dalam ranah media, tetapi apa yang aku kerjakan tidak jauh-jauh dari buku. Ini belum termasuk ketika aku menginisasi Baca Bareng dan semakin rajin hadir dalam pagelaran buku, ya.

I really aware that I am still nobody in this big industry, but already inside is something that I keep in mind since I was in college. Perjalanannya lama dan jauh. Belum termasuk kerikil dan bebatuan yang menghadang. Badainya pun kencang sekali. Tapi itu barangkali yang dibutuhkan: supaya kemampuanku semakin terasah untuk posisi yang aku sasar, supaya mentalku tidak terpental dengan mudahnya.

Aku tidak punya kiat khusus untuk menjawab pertanyaan utama. I just equipped my self with love to books and reading and its lead the way up here.

— July 3, 2021

2 thoughts on “Kok Bisa Nyemplung di Industri Literasi?

  1. Pekerjaan apa pun yang berhubungan dengan buku nyatanya memang seru sekaliii. Pasti lebih passionate ngejalaninnya. Semoga terbuka peluang-peluang lainnya yang nggak jauh-jauh dari buku 😀

    Btw, kangen banget main ke Big Bad Wolf Online dan ngubek buku-buku di sana. Kapan lagi ya, bisa begitu …..

  2. Mata gue tertancap pada 10.000 jam yang debatable itu. Ditantang juga sama Ko Rub di bukunya :))

    Deliberate practice adalah koentji ya, Bund hahaha.

    Baca post ini semakin meneguhkan pentingnya komunitas dan berkenalan dengan banyak teman-teman baru 😀

What Do You Think?