Di akun media sosialku (Twitter dan Instagram), aku sengaja menuliskan bio dengan kalimat “your reading buddy.” Singkat, namun aku ingin bisa berperan penuh terhadap “label” itu.
Aku paham bagaimana atmosfer komunitas pembaca di Indonesia. Ada yang masih merasa malu-malu untuk bergabung dalam aktivitas literasi karena khawatir akan ada yang menghakimi mereka. Padahal, membangun minat baca seseorang salah satunya adalah melalui apresiasi terhadap kemauannya untuk mulai membaca. Mengenai penghakiman tersebut sudah pernah aku tulis di sini–yang mana kemudian menjadi motor untuk menginisiasi Baca Bareng, a silent book club.
Selain melalui pembentukan lingkungan yang inklusif serta suportif, membangun minat baca yang inklusif juga bisa melalui pemahaman bahwa pengalaman membaca setiap orang itu beragam. Dalam salah satu teori di Ilmu Perpustakaan (sayangnya aku lupa siapa cendekiawannya) dikatakan bahwa pengetahuan mendasar setiap manusia memengaruhi bagaimana ia memahami bacaannya. Kita juga menyadari kalau setiap orang punya basic knowledge yang berbeda sehingga hasil dari pengalaman membacanya juga macam-macam…meskipun membaca buku yang sama.
Sayangnya, hal ini tidak luput dari bahan book shaming. Orang yang tidak bisa menyelesaikan atau menikmati membaca buku tertentu kerap menjadi korban perundungan atau perisakan. Bagaimana seseorang bisa membangun kecintaannya terhadap bacaan kalau belum-belum sudah dihakimi oleh massa–lebih parahnya lagi, oleh netizen?
Maka dari itu, aku memberanikan diri untuk menggelar tantangan membaca (reading challenge) yang menekankan pada perekaman pengalaman membaca. Obyektif utamanya adalah agar teman-teman yang membaca buku berani mengekspresikan pengalamannya kepada khalayak ramai. Menunjukkan bahwa memang pengalaman membaca setiap orang berbeda dan itu hal yang wajar. Tidak perlu dihina, dirundung, dan dirisak. Melainkan diapresiasi karena mereka sudah mencoba untuk membaca. Ya, termasuk mereka yang tidak berhasil menyelesaikannya.
Sengaja aku adakan di Twitter karena terdapat fitur untuk membuat utas (thread) dan tagar (yang berfungsi sebagai indeks) sehingga akan lebih mudah bagi para partisipan untuk menuangkan pengalamannya selama membaca. Aku pun juga berharap sesama partisipan bisa melihat rekaman/utas pengalaman membaca. Siapa tahu mereka berinteraksi satu sama lain.
Mengapa membaca 1984 karangan George Orwell? Ini juga kebetulan melihat percakapan Twitter antara Dela dan Melissa yang berencana membaca buku tersebut di bulan Juni. Lalu, ide pun bermunculan hingga akhirnya aku beranikan diri membuat #Baca1984Bareng.
Untuk lebih lengkapnya, silakan kunjungi utas Twitter-ku berikut ini:
Aku sengaja memberikan aturan tertentu agar teman-teman partisipan bisa lebih mudah mengintip pengalaman membaca yang lainnya. Oleh karena itu aku sediakan direktori yang bisa dikunjungi di sini.
Sekali lagi aku ingatkan bahwa #Baca1984Bareng ini tidak bertujuan untuk menghasilkan resensi. Melainkan menekankan pada berbagi cerita dan pengalaman selama membaca 1984. Jangan merasa bersalah kalau tidak bisa memahami, tidak mampu menyelesaikannya. Semua hal tersebut wajar.
Seperti yang selalu aku ulangi dan yakini sebagai sarjana Ilmu Perpustakaan:
— June 1, 2020Every book has its reader
– S. Ranganathan
3 thoughts on “Baca 1984 Bareng: Merekam Pengalaman Membaca Lewat Twitter”