“Sudah berapa buku yang kamu baca sampai sejauh ini?”

“Ah baru 15 buku tidak ada apa-apanya!”

“Nggak usah ngomongin bacaan deh kalau belum baca buku-bukunya Pram!”

Tiga kutipan di atas agaknya cukup sering didengarkan oleh teman-teman yang sedang menyenangi kegiatan membaca. Saya pun demikian. Saya pernah secara langsung dikomentari akan kebiasaan membaca saya yang katanya, ketika itu, tidak akan sama lagi. Saya punya banyak to-do list yang harus dituntaskan dan kata senior saya itu, membuat saya tidak punya waktu lagi untuk membaca.

Kata-kata seperti di atas, jika kita coba kembalikan kepada yang berujar akan dianggap sebagai bercandaan. Kita sebagai target yang mendapatkan komentar itu diminta untuk tidak baper. Padahal, sudah barang tentu merupakan ujaran demotivasi. Memangnya mengapa sih dengan orang-orang yang membaca buku? Apakah mereka salah karena membaca buku (mau apapun itu bentuk dan genrenya)?

Dikotomi Standar Suka-Suka

Sadar atau tidak, banyak sekali orang-orang yang memang hobi mendikotomi sesuatu. Sama halnya dengan mendikotomi kategori bacaan itu sendiri. Bagi si Abu, membaca adalah jika kita memegang buku fisik/buku cetak. Selain itu tidak bisa dibilang membaca. Bagi si Benu, lain lagi. Membaca baru dianggap membaca jika yang dibaca adalah penulis-penulis pemenang penghargaan. Membaca penulis yang karyanya berasal dari Wattpad tidak bisa dianggap sebagai kegiatan membaca. Dikotomi-dikotomi seperti itulah yang bersifat sesat. Standarnya suka-suka dia.

Kenyataannya, dengan perkembangan teknologi yang setiap tahun rasanya semakin canggih saja, bentuk-bentuk pustaka juga makin beragam. Yang awalnya kita hanya mengenal dalam bentuk cetak, kini ada dalam bentuk digital (e-book). Bahkan ada pula yang berbentuk audio (audio book). Layanannya tidak sekadar beli-putus seperti kita membeli buku di toko buku. Malah kini juga marak yang bersifat berlangganan secara digital (Gramedia Digital, Blinkist, Amazon Audible). Lalu, apakah mereka-mereka yang mengakses teknologi tersebut untuk menjangkau pustaka tidak bisa dianggap melakukan kegiatan membaca?

“Maaf, Kalau Bacaanmu Boy Chandra, Kita Tidak Bisa Berteman.”

Prit! Itu namanya book shaming. Hampir serupa dengan body shaming, namun yang menjadi obyek diperolok adalah bahan bacaan. Karena setiap orang punya “standar” bacaannya masing-masing, maka mereka merasa berhak untuk mengomentari (dan menghakimi) secara langsung tentang bacaan orang lain. Bahkan ada pula yang melakukan dengan sengaja. Niatnya apalagi kalau bukan untuk menyombongkan diri dan memperlihatkan bahwa “kelas sosial”-nya lebih tinggi dari orang lain.

Book shaming tidak berhenti sampai pada karya penulis siapakah yang dibaca. Ada pula yang melihat sebelah mata teman-teman yang membaca komik. Menilai bahwa komik bukan bagian dari “buku.” Eits, tunggu dulu. Saya berkenalan kegiatan membaca malah diawali dengan membaca komik. Uang saku ditabung dan dihabiskan di rental komik. Berkenalan melalui komik bisa menjadi cara seseorang untuk mulai menyenangi kegiatan membaca, kan?

Wah, Kalau Aku Setahun Bisa 1000 Buku!

Beda book shaming, beda pula dengan orang yang menjadi “book snob.” Orang-orang yang disebut sebagai book snob digambarkan sebagai sosok yang suka sekali menyombongkan dirinya dengan bacaan yang sudah ia baca. Baik secara kualitas seperti “aku sudah membaca sastra klasik dunia”, maupun secara kuantitas, “belum akhir tahun tapi yang sudah ku baca bisa 1000 buku.” Suara-suara sumbang seperti itu lebih condong untuk menyombongkan diri ketimbang menginspirasi orang lain. Membuat kecil orang lain yang sedang mulai menyukai kegiatan membaca. Dan tentu saja, tidak elok untuk dilakukan.

Sama dengan yang sudah dituliskan di atas, tendensi book snob biasanya ingin menunjukkan bahwa dirinya lebih “tinggi.” Ya, melakukan intimidasi dengan harapan targetnya menjadi “sungkan” dengannya. Padahal dalam kegiatan membaca, tidak perlu ada hormat-hormatan segala. Eh, bukan begitu?

Stereotipe Sok Pintar

Ujaran negatif kepada orang-orang yang membaca buku tidak hanya berhenti di situ. Dalam salah satu kisah pribadi keluarga saya sendiri, ada sekolompok orang yang senang merundung pembaca buku. Katanya, “cari perhatian”, “supaya dianggap pintar”, dan lain sebagainya. Padahal, bisa jadi karena bukunya terlalu seru sehingga ia menggunakan waktu-waktu yang ia bisa curi untuk membaca. Dan bisa saja, waktu-waktu curian tersebut didapatkan ketika berada di ruang publik.

Rasanya, mengapa serba salah sih menjadi pembaca buku? Memangnya mereka-mereka itu melakukan apa sampai harus dihakimi sebegitunya?

READERS ASSEMBLE!

Dengan fenomena-fenomena yang sudah dituliskan di atas, rasanya saya ingin bisa memfasilitasi mereka-mereka yang suka membaca buku, atau mendukung mereka yang sedang berusaha menyukai kegiatan membaca. Melihat seseorang mulai tertarik dengan bacaan (dalam bentuk apapun dan genre apapun) seyogyanya didukung. Apabila mereka mulai meminta rekomendasi, coba berikan yang sesuai dengan peminatannya. Ingat, standar yang kita punya hanya standar suka-suka. Belum tentu bisa diberikan kepada orang lain. Lain cerita jika akhirnya orang itu sudah menggemari kegiatan membaca.

Maka dari itu, aku menciptakan “Baca Bareng” sebagai sebuah klub buku sunyi. Sesuai dengan namanya, Baca Bareng ingin menjadi media untuk teman-teman yang membaca (mau baru yang mulai atau yang sudah suka membaca) agar mereka merasa aman dan nyaman membaca di ruang publik. Baca Bareng bisa dianggap sebagai support grup dimana mereka tidak akan dihakimi hanya karena kita semua punya cara membaca dan bacaan yang beragam. Bahkan kalau bisa, Baca Bareng mempertemukan teman-teman yang ingin ditemani kegiatan membacanya ketika berada di ruang publik.

Sengaja aku membuat Baca Bareng mudah diakses: tidak ada registrasi dan tetek bengeknya. Hanya tinggal datang membawa bacaan, duduk, dan mari kita baca bersama. Tidak perlu berkenalan secara formal, karena aku sebagai orang yang introver, tahu sendiri bahwa berkenalan dengan orang baru cukup membuat grogi (dan tidak nyaman). Kalau merasa perlu mengungkapkan perasaan dan emosi setelah membaca beberapa halaman dari bacaan, mereka juga diperkenankan untuk berdiksusi dengan rekan di sebelahnya. Tidak ada presentasi di depan forum. Aku juga tahu sendiri rasanya mendapatkan bacaan bagus dan tidak ada orang yang bisa aku jadikan “pelarian” untuk perasaan saya itu.

Ku percaya, ada banyak cara yang bisa dilakukan agar seseorang mulai menyukai kegiatan membaca. Dan aku memutuskan untuk memulainya melalui Baca Bareng. Sebuah “gerakan” sederhana untuk membudayakan bahwa kegiatan membaca adalah kegiatan yang inklusif.

Dan lagi, aku memang baru saja kehilangan teman membaca di ruang publik. Mungkin kamu bersedia menemani?

— August 23, 2019