Bepergian (traveling) ada beragam bentuk. Dari yang memang bertujuan untuk berlibur, sekadar menengok kampung halaman, atau dalam rangak perjalanan dinas. Bepergian pun bisa dilakukan secara berkelompok ataupun sendiri (solo traveling). Tentunya, itu semua punya bentuk pengalaman yang berbeda-beda pada setiap orang. Namun, ada satu hal yang selalu “diterima” oleh para pelancong ini ketika ditanya akan kemana saja mereka selama berada di destinasi itu: “Loh, kok cuman ke xxx saja, sih?”

Aku gemar bepergian sendiri. Tidak ribet dan tidak perlu banyak pendapat untuk membantuku mengambil keputusan. Aku hanya memikirkan diriku sendiri saja selama perjalanan berlangsung. Selain itu, sebagai seorang intovert bepergian sendiri jauh lebih membawa kenyamanan daripada pergi beramai-ramai. Membayangkan rembugan untuk menentukan akan kemana kami saja aku sudah lelah. Apalagi benar-benar berada dalam situasi itu.

Tetapi perlu diingat, masih ada saja yang melihat bahwa bepergian sendiri adalah suatu yang aneh. “Kok bisa sih kamu makan/nonton/traveling sendirian? Di mana serunya?” Ditambah jika mereka mengetahui itinerary yang aku punya selama melakukan perjalanan tersebut.

Yang paling ramai menjadi destinasi wisata adalah museum, galeri, pusat perbelanjaan, pasar oleh-oleh, atau sekadar tempat makan yang kabarnya menjadi ciri khas. Semuanya seolah-olah wajib untuk didatangan kalau sedang bertandang ke tempat itu. Tetapi, bagaimana kalau aku hanya punya agenda “membaca buku di kedai kopi lokal?”

Ya, betul. Ada tanggapan, “Cuma begitu saja kan bisa dilakukan di rumah?”

Membaca buku sudah menjadi hal yang harus dilakukan. Ada yang aneh jika ritual itu terlewati begitu saja dalam keseharianku. Membaca memang membawa isi kepalaku berkelana ke tempat-tempat yang belum bisa aku jangkau. Mencoba memahami suatu hal melalui tulisan yang tercetak. Singkatnya, membaca buku memberikan pengalaman tersendiri dalam hidupku.

Berada di sebuah tempat yang bukan “rumah” juga memberikan pengalaman baru. Duduk di suatu sudut kedai kopi di Ho Chi Minh ketika panas menyengat sambil menyesap es kopi susu Vietnam adalah hal yang menyenangkan. Dan lebih menyenangkan ketika aku melakukannya sembari membaca buku. Ada dua macam pengalaman yang sedang berlangsung pada momen itu: yang ada di kepalaku melalui buku dan yang ada di emosi + fisikku melalui keberadaanku di tempat baru.

Aku senang menghabiskan buku di kedai kopi karena itu adalah satu-satunya momen yang aku punya tanpa perlu berinteraksi dengan orang lain.

Dua pengalaman yang tidak semua orang bisa memahami mengapa aku memiliki agenda membaca buku di kedai kopi lokal itu.

Keberadaanku di kota itu tidak selalu berarti aku ingin menghabiskan waktu menjelajah. Ada juga waktu aku ingin diam sendirian dan menghabiskan bacaan. Dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Yang rese cuma yang hobi bilang, “Masa jauh-jauh ke xxx ending-nya cuma buat nongkrong di kedai kopi?”

Kamu pun, tidak usah terlalu memikirkan apa kata orang dengan itinerary-mu. Asal itu nyaman dan aman untukmu, jalani saja. Toh, yang mendapat pengalaman itu kan kamu. Bukan mereka.

— August 30, 2020

One thought on “(Tidak Ada) yang Salah dengan Membaca Buku di Kedai Kopi Ketika Melancong

  1. hallo kaka, aku juga pengalaman hampir serupa. apalagi aku suka post soal buku dan kedai kopi, tapi yaa gtu orang2 tahunyaaa nongkrong ngopi terusss. pdahal aku pen cari suasana baru, pen dapat asupan segarr.

What Do You Think?