Memasuki karantina hari ke-40 sekian sampai aku lupa pastinya. Aku sudah berada di rumah lebih dari satu bulan sejak mengundurkan diri dari posisi terakhir. Aku belum kembali bekerja secara penuh waktu. Aku masih menyembuhkan diriku sendiri.

Apa yang aku lakukan selama sebulan belakangan sebagian besar adalah tentang penerimaan diri dan memberikan waktu untuk sembuh. Terkesan seperti sebuah drama dan mengada-ada, tetapi aku tahu, kalau keadaan emosionalku masih tidak stabil, aku tidak bisa optimal dalam bekerja secara profesional.

Di saat pandemi seperti ini, siapa yang tidak merasa cemas? Orang mungkin melihatku hidup enak karena masih bisa pulang ke rumah sebelum ada larangan untuk mudik, masih bisa merasakan bulan puasa di rumah, bukan di tanah rantau. Yang orang tidak tahu adalah aku juga punya kekhawatiran. Keadaan yang tidak menentu ini membuatku was-was. Aku jadi kepikiran dengan lini masa yang sudah dirancang ketika aku memutuskan untuk mengundurkan diri dan fokus dalam proses penyembuhan. Jikalau pandemi ini tidak kunjung berakhir, maka aku juga tidak kunjung bisa melamar pekerjaan secara profesional. Pemasukan yang pasti menjadi sebuah mimpi yang sepertinya agak sulit untuk dicapai.

Kembali pada konteks penerimaan diri yang merupakan hal penting untuk disadari. Ketika masih bekerja, beberapa kali aku kerap mengabaikan emosiku sendiri. Sedih, gundah, marah, cemburu, semuanya ditahan dan berusaha dialihkan dengan alasan “mengganggu produktivitas dan membuat tidak profesional.” Alhasil, aku menjadi tidak memperhatikan keadaan jiwaku. Aku merasa seharusnya aku bisa lebih baik, bisa berbicara dengan lebih ramah, bisa produktif dan bekerja lebih efisien. Aku tidak memberikan celah kepada emosi tersebut untuk terekspresikan.

Apakah aku pernah mencoba mengekspresikannya? Pernah dan itu menjadi salah satu pengalaman yang membuatku belajar bahwa tidak semua orang yang secara fisik dekat denganku memperhatikanku.

Bukan, aku bukan ingin diperhatikan seperti itu. Tetapi setidaknya, seseorang memiliki empati dan simpati untuk secara tulus menanyakan kabar dan menjadi seorang pendengar. Bukan malah mengkomparasi dan mengatakan toxic positivity. Apalagi di tengah pandemi sekarang ini. Ketika semua orang dirundung perasaan cemas.

Dalam proses penyembuhan, pasti ada hari di mana aku merasa baik-baik saja dan ada hari di mana aku tidak sanggup ke luar dari kamar. Ingatan dan kilas balik yang tiba-tiba datang seakan membuatku lumpuh tidak bisa berbuat banyak. Pesan yang masuk ke dalam ponsel sangat sering aku abaikan kalau sudah seperti ini. Sampai akhirnya aku sanggup untuk bercerita kepada seorang kawan.

Perihal bercerita, bukanlah hal yang mudah. Beberapa pengalaman pahit menjadi sebuah pelajaran bagiku bahwa tidak semua orang adalah pendengar yang baik untuk kita. Ada yang mendengar untuk mencari informasi, ada yang mendengar untuk membalas dengan superioritas, ada yang mendengar yah sekadar mendengar saja. Untukku, cukup sulit mendapat kawan yang bisa membuatku merasa aman, nyaman, dan tidak mendengar untuk membalas obrolan.

Hingga akhirnya ada teman yang dengan tulus mengatakan, “your emotion is valid.” Dia tidak berusaha membuatku menjadi kerdil, melainkan memberikan kesempatan kepadaku untuk lebih menerima diri. Sebenarnya psikologku pun berkata demikian. Ketika itu aku merasa seharusnya aku sudah tidak lagi marah dengan keadaan. Tetapi ia berkata, “Sejak kapan proses penyembuhan punya tenggat waktu? Masing-masing orang punya linimasanya sendiri. Termasuk kamu.”

Berarti yang selama ini orang-orang katakan soal “Ini sudah 7 bulan semenjak kamu putus, kenapa kamu masih tidak beres sih?” adalah semata-mata untuk memaksaku berada pada kondisi stabil. Yang mana kalau dilihat dari kacamata bisnis, tentu tidak salah. Roda ekonomi terus berputar. Satu human capital tidak optimal, bisa menghambat kinerja yang lain. Akan tetapi sayangnya, ujaran itu berimbas pada “kebiasaanku” untuk merepresi emosi.

Yang menjadikan manusia sebagai manusia adalah ketidaksempurnaan itu. Bagaimana suasana hati dan emosi tidak selamanya berada di puncak. Ia bisa saja berada di bawah. Persis seperti roller coaster. Itulah yang aku coba pelajari sebulan ini. Dengan menerima diri, berteman dengan mereka yang bersedia menjadi pendengar (bukan komentator), aku berharap bisa pulih seiring dengan berakhirnya pandemi.

Tentu saja, aku juga belajar bagaimana menjadi pendengar yang baik dan suportif tanpa harus menjadi seseorang yang kerap berceramah tetapi ternyata berisi toxic positivity.

— May 1, 2020

One thought on “Hari Ke-40 Sekian Masa Karantina

  1. Tetap semangat dan kuat ya Hestia! Semoga lekas sembuh proses penyembuhannya.Aku percaya kamu bisa!

What Do You Think?