Selama kurang lebih 5 tahun menggunakan gawai e-reader Kobo by Rakuten, pada tahun 2020 aku memutuskan membeli Kindle Paperwhite Gen 10 ketika gelaran Amazon Prime Day di Jepang (6-9 September 2020). Ketika akhirnya barangnya aku terima pada Februari 2021, pertanyaan yang sama kerap menghamipiri:
Mengapa beli Kindle, bukannya beli BOOX?
Pertama, kita kenalan dulu apa itu Kobo dan Kindle
Sebenarnya aku sudah menuliskannya pada blogpost Kobo vs Kindle: Apa Sih Bedanya? Namun, kalau terlalu malas untuk membaca artikel itu, aku berikan sedikit penjelasan singkat ya.
Kobo dan Kindle yang aku maksud di sini adalah gawai untuk membaca buku-e. Nama gaulnya, e-reader. Fungsi utamanya adalah untuk membaca buku-e. Teknologi yang digadang-gadang adalah e-ink. Kalau ponsel kita menggunakan LED pada layar monitornya, e-reader tidak sehingga layarnya lebih ramah di mata. Bahkan tampak seperti kertas. Selain itu, perbedaan antara Kobo dan Kindle terletak pada ekosistem dan produsennya. Kobo adalah milik Rakuten sedangkan Kindle adalah milik Amazon.
Sejak tahun 2016, aku menggunakan e-reader bermerk Kobo. Awalnya aku menggunakan Kobo Glo HD hingga tahun 2019, aku memperbarui dengan seri terbaru kala itu, Kobo Clara HD. Selama menggunakan Kobo sebenarnya tidak ada keluhan yang berarti. Hanya saja, ekosistem Kobo tidak sebesar Kindle. Tentu, itu karena Amazon menguasai dunia, bukan? Koleksi bukunya jauh lebih banyak daripada yang tersedia di Kobo. Kindle pun juga punya diskon secara rutin yang bersifat harian maupun bulanan. Kalau seperti ini, kelihatan ya mengapa aku tergoda dengan Kindle.
Lalu, ada BOOX.
Eh, BOOX tuh apa?
Aku sendiri tidak tahu pasti kapan merk tablet BOOX mulai digunakan oleh pembaca di Indonesia. Yang aku tahu adalah sekitar akhir 2019, ada beberapa bookish yang mengunggah bahwa mereka menggunakan tablet berteknologi e-ink dengan operating system Android seperti layaknya pada ponsel dan tablet pada umumnya.
Karena BOOX menggunakan OS Android, maka ia bisa dipasang dengan aplikasi membaca. Misalnya saja Google PlayBooks, Scribd, Gramedia Digital, VIZ Media dan yang lainnya. Berbeda dengan Kindle dan Kobo yang bergantung penuh terhadap ekosistemnya sendiri.
Ini aku tautkan salah satu video produk dari BOOX. Untuk cari tahu lebih jauh tentang BOOX, silakan kepoin akun YouTube-nya atau langsung main ke situs resminya. Beberapa YouTuber lokal juga sudah mengulas BOOX (meski tidak sebanyak YouTuber luar negeri).
Mengenali kebiasaan membaca
Oke, jadi sudah tahu ya apa itu Kobo, Kindle, dan BOOX. Ketiganya adalah merk gawai yang mulai ramai diperbincangkan di kalangan pembaca. Apalagi di Twitter (terima kasih kepada @literarybase!). Banyak sekali pengguna Twitter yang merupakan seorang pembaca kebingungan untuk memilih gawai mana yang sebaiknya mereka beli untuk mendukung kebiasaan membaca. Setiap kali aku dilempar pertanyaan seperti itu, selalu aku respon dengan, “tergantung dengan kebiasaanmu.”
Maksudnya begini. Jangan sampai kita membeli gawai e-reader dengan harapan agar rajin membaca. Yang perlu dibangun adalah kebiasaan membacanya. E-reader memang akan membantu kita mengakses bacaan, asal kebiasaan membacanya sudah terbentuk. Kalau belum, silakan bangun kebiasaan itu.
Seorang kawan bookish-ku, Griss, memiliki satu tulisan yang bisa digunakan untuk mengases perlu tidaknya seorang pembaca memiliki gawai e-reader: Kindle, Kebutuhan atau Keinginan?
Aku juga melakukan asesmen terhadap kebiasaan membacaku sebelum memutuskan untuk menambah e-reader. Gunanya adalah agar barang yang aku beli kelak benar-benar bisa aku optimalkan untuk membaca. Bukan sekadar bergaya atau impulsif semata.
Jadi, ini alasannya…
Dibantu dengan reading tracker yang aku miliki, aku bisa melihat persentase media buku yang aku baca. Apakah yang tercetak atau digital. Begitu pula dengan bahasa pengantar: bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Rupanya makin kelihatan kalau aku lebih sering mengakses buku-e yang berbahasa Inggris. Silakan cek hasil perjalanan bacaku pada 2020 Reading Journey: A Summary.
Aku cek lagi, bahwa sebagian besar adalah karena aku membacanya melalui Kobo Clara HD. Beberapa judul juga aku baca dari aplikasi Kindle yang ada di ponsel dan laptop. Aku merasa nyaman menggunakan dua platform aplikasi itu. Salah satunya adalah sifat interkonektivitasnya. Mengenai itu, aku juga sudah menulisnya dalam Nikmatnya Akses (Buku Digital) yang Ori.
Interkonektivitaslah yang menjadi alasan mengapa aku jarang sekali mengakses buku digital yang berbahasa Indonesia. Memang betul, buku-buku tersebut bisa didapatkan juga di Google PlayBooks tetapi akan lebih terasa hemat apabila aku memutuskan untuk berlangganan Paket Full Premium sebesar Rp89.000/bulan di Gramedia Digital. Apalagi buku-buku terbitan Gramedia Pustaka Utama memang menjadi mayoritas bacaanku dalam bahasa Indonesia. Namun sayang sekali, aplikasi Gramedia Digital belum secanggih Google PlayBooks ataupun Kobo dan Kindle. Gramedia Digital belum memiliki fitur untuk memberi highlight ataupun add notes–dua fitur yang sudah tersedia di Google PlayBooks, Kobo, dan Kindle. Tampilan buku di Gramedia Digital juga belum berbentuk flowing text sehingga aku masih harus zoom in dan zoom out ketika membaca. Maka dari itu, aku tidak melanjutkan berlangganan dan membeli buku fisik untuk buku-buku Gramedia Pustaka Utama yang memang benar-benar ingin aku baca.
Bagaimana dengan Scribd? Setelah aku berlangganan Rp79.000/bulan, memang ada banyak judul yang bisa aku baca di sana. Hanya saja Scribd punya algoritma tertentu yang membuat koleksi buku yang sudah aku simpan tiba-tiba tidak bisa diakses. Jadi aku memutuskan untuk menghentikan langgananku dan beralih dengan menggunakan Libby. Kalau ingin tahu lebih jauh tentang Libby, silakan baca tulisanku yang berjudul OverDrive, Libby, dan Meminjam Buku-E dari Perpustakaan.
Aspek kenyamanan seperti adanya fitur highlight, add note, flowing text, dan interkonektivitas yang kemudian membuatku memutuskan untuk memilih Kindle Paperwhite Gen 10. Buat apa aku merogoh kocek lebih dalam untuk gawai yang kemampuannya tidak bisa aku maksimalkan? Sayang sekali jika aku membeli BOOX yang harganya lebih mahal daripada Kindle Paperwhite Gen 10 tapi tidak aku optimalkan untuk membaca buku-buku yang tersedia di platform lain seperti Gramedia Digital dan Scribd.
Jadi, sudah jelas ya mengapa malah menambah gawai dengan Kindle Paperwhite Gen 10 😉
— May 10, 2021
makasih pencerahan atas kindle paperwhite nya, nanti insya allah lebih serin mampir ke blog ini. buat melatih kebiasaan membaca. kadang beli kindle untuk memancing supaya bisa rajin baca, karena relatif tidak ada gangguan dari hal lain kalau smartphone masih ada hambatan seperti WA dan lain. salam