Setiap pembaca rasanya pasti punya penulis favorit. Bahkan tidak jarang, penulis favoritnya lebih dari satu. Biasanya, pembaca mengejar momen atau acara literasi yang mengundang penulis favoritnya itu. Misalnya saja ASEAN Literary Festival, Festival Pembaca Indonesia, LitBeat Feast, atau Ubud Writers & Readers Festival. Berharap bisa bertemu dan ngobrol barang sebentar. Syukur-syukur kalau bisa melipir di Warmindo sambil jajan mie rebus. Wah, jadi intim sekali ya~
Ketika Sintia dan Griss mengusulkan topik tentang penulis yang ingin ditemui, jujur saja aku kebingungan. I am an avid reader. Aku memang punya penulis favorit. Tetapi untuk menentukan siapa yang ingin aku ajak berbincang 4 mata (atau 6 kalau dia berkacamata) adalah hal yang sulit. Bukan karena ada banyak yang ingin kuundang. Malah sebaliknya. Aku merasa tidak ingin melakukan hal tersebut (this sounds so introvert). Aku menikmati tulisannya, menunggu dengan (tidak) sabar karya selanjutnya. Sudah. Hanya itu. Aku tidak berminat untuk mengulik seperti apa kehidupan mereka. Misal dengan tahu lebih jauh apakah dia menikah dan punya anak, atau apa yang dia lakukan kala libur Natal dan Tahun Baru. No. I am not interested.
“Tapi kan, kalau ketemu langsung bisa nodong pertanyaan-pertanyaan ajaib?”
…Aku tidak punya pertanyaan ajaib ataupun nyeleneh. Sebagian besar jawaban wawancara dengan media sudah tersedia di Internet. Mau itu berbentuk video ataupun artikel. Tinggal mengetiknya saja di kolom pencari Google. Bahkan untuk penulis yang sudah wafat, juga tersedia rekamanannya. Kalau pun penulis itu diundang bicara pada sebuah pagelaran, tinggal datang saja.
Di Jakarta (sebelum pandemi), kegiatan literasi ada banyak. Aku kerap bertemu dengan beberapa penulis yang juga menonton acara itu. Ambil contoh ketika ada diskusi karyanya Djoko Lelono di POST. Di antara penonton, ada Iksaka Banu. Ikut peluncuran Gentayangan milik Intan Paramaditha, ada suaminya–Ugoran Prasad beserta Eka Kurniawan di baris paling belakang bangku penonton. Rajin datang ke Teater Utan Kayu untuk ikut Philosophy Underground, maka otomatis akan bertemu dengan Ayu Utami. Apalagi kini sudah nyemplung di dalam ekosistemnya sebagai pelaku industri. Pertemuan dengan penulis-penulis lokal menjadi sesuatu yang mungkin.
Bagaimana dengan penulis yang tidak berada di Indonesia? Seperti Keigo Higashino, Minato Kanae, atau Akiyoshi Rikako. Jawabannya akan teteap sama: I adore them and I love their books. Sebatas itu. Bertemu dengan mereka barangkali cuma keinginan untuk mendapatkan tanda tangan pada koleksi yang aku punya. Pengalaman serupa aku dapatkan ketika menjadi relawan untuk Ubud Writers and Readers Festival 2019. Menjadi Liaison Officer untuk penulis internasional sangat mungkin untukku bertemu narasumber yang diincar. Tetapi hal itu tidak aku lakukan. Sesederhana karena aku memang tidak tertarik.
I enjoy to have a distance like this. Pembaca dan penulis. Termasuk dengan teman-teman penulis yang kebetulan aku kenal secara personal.
Kalau pertanyaannya diubah menjadi, “Adakah tokoh fiksi yang ingin diajak berkencan?” aku dengan sigap langsung menjawab, “Count Hannibal Lecter dari Tetralogi Hannibal-nya Thomas Harris.” Alasan mengapanya… ada di tulisan sendiri saja ya :p
— August 21, 2021
Asli, kangen deh datang ke launching buku di POST >.<
Sissss, gimana kalo tema blog selanjutnya adalah “tokoh fiksi yang pengin diajak kencan?” Hahaha. Udah abis kan tema kita?