My dad is just nobody. Bukan pejabat negara. Bukan petinggi di suatu perusahaan. He is simply an educator (if I can say that). Tapi dari seorang tenaga pendidik yang berdedikasi dari hati, aku belajar banyak hal yang masih aku bawa hingga kini tinggal sendiri.

Pertama, hal sederhana tapi sulit sekali praktiknya

Seringkali cerita yang aku lontarkan soal ayah adalah bahwa dia agen yang meracuniku pertama kali dengan membaca. Bagaimana lingkungan rumah diciptakan dengan buku-buku dan membuatku melihat orang membaca buku berjam-jam sebagai suatu kenormalan.

Aku juga pernah bercerita dalam tulisan ini tentang betapa luasnya wawasan ayah. Pergi ke museum bersamanya sudah dapat dipastikan akan mendapat trivia menarik. Seperti punya pemandu tur pribadi.

Tetapi, yang aku tiru darinya bukan sekadar perilaku membaca & keinginan belajarnya yang tidak mengenal usia. Melainkan bagaimana ayah punya integritas yang bukan main tingginya.

Sejak tahun 90an, ayah sudah dipercaya untuk ikut dalam beberapa proyek kerjasama dengan lembaga negara atau kementrian. Sudah menjadi rahasia umum, berada di dalam sana tentu banyak godaannya. Jangankan kesempatan, malah ada juga yang tanpa malu-malu menawarkan ini-itu. “Bapak tinggal sebut saja, nanti kami siapkan”, familiar?

Itu ketika ayah menangani sebuah proyek. Tidak jauh berbeda ketika ayah menjalankan peran sebagai tenaga pendidik.

Aku ingat betul ayah menolak bingkisan buah-buahan dari mahasiswanya yang datang ke rumah malam itu. Alasannya, “Kamu belum maju sidang. Nanti saja ya kalau sudah dinyatakan lulus.” Ayah memaksa mahasiswa itu pulang dan membawa serta bingkisah cantiknya.

Tidak sekali-dua kali. Melainkan berkali-kali. Semakin besar skala agenda yang dikerjakan ayah, semakin besar pula godaannya. Yah, kita sudah tahu seperti apa barang bukti yang sering sekali diamankan oleh KPK. Kira-kira seperti itu yang pernah lewat di depan mata ayah.

Tentu saja banyak yang heran, mengapa kok bisa sekuat itu menahan godaan? Atau, kok bisa sih tawaran uang, rumah, dan mobil ditolak begitu saja?

Jawaban ayah singkat tapi mengena, “Buat apa? Saya hidup bukan untuk bermewah-mewahan kok.”

DANG!

Buat ayah, bekerja itu secukupnya. Cukup untuk membiayai hidup anak-istrinya dan untuk tabungan di hari tua. Ayah tidak pernah merasa harus punya sesuatu sebagaimana standar hidup masyarakat urban. Selama masih pantas dan berfungsi, buat apa mengejar yang lebih-lebih?

Cara ayah memaknai “cukup” itu yang membuatnya memiliki integritas. Plus, dirinya adalah seorang tenaga pendidik. Ayah percaya sekali bahwa mendidik bukan sekadar memindahkan isi buku menjadi perbincangan di kelas. Tetapi dengan memberikan contoh. Dan ayah telah melakukan itu padaku.

Perkara integritas tidak hanya dibahas oleh ayah dalam ranah pekerjaan profesional. Ayah juga mengajarkanku tentang integritas dalam aspek hidup yang lain seperti ketika belajar dan berkompetisi. Lulus-tidaknya, menang-kalahnya itu cuma hasil akhir. Tetapi perjalanannya menuju hasil itulah yang akan memberikan kita makna akan kehidupan.

“Kalau kamu sudah berusaha sekuat tenaga, belajar dengan tekun dan tanpa pakai joki lalu hasilnya belum memuaskan, setidaknya kamu sudah ‘kaya’ pengalaman. Tetapi kalau kamu selalu ambil jalan pintas hanya untuk lulus, what’s the point then?

Kedua, seperti kata Tan Malaka…

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.”

Ayah sudah tidak lagi muda tapi ia masih punya idealisme. Begitulah aku melihatnya selama ini.

Dalam suatu proyek yang dikerjakannya, diketahui bahwa beberapa orang bersekongkol melakukan KKN. Akibatnya, kualitas pekerjaan pun tidak sesuai target, klien tidak puas dan merasa dirugikan. Ayah tahu hal ini dan ia mengkomunikasikan kepada pihak berwenang dalam proyek itu. Alih-alih dibantu untuk menindak pelaku KKN, ayah malah diminta untuk tidak berisik. Tapi, apa yang ayah lakukan? He left. Ayah memilih untuk mundur dari proyek itu.

Selain karena KKN, ayah melihat bagaimana seharusnya klien mendapatkan kepuasan seperti yang sudah dijanjikan. Ayah tahu bahwa masih ada yang bisa dimaksimalkan, hak-hak klien masih bisa diperjuangkan.

Disamping integritas, ayah punya idealisme yang masih kuat hingga kini. Sekali saja hal tersebut tidak sesuai dengan standar moralnya, ayah tidak segan untuk mengambil keputusan dan bertindak. Tidak sedikit yang mengatakan kalau ayah adalah orang yang keras kepala.

Idealisme ayah tidak cuma itu saja. Dedikasinya dalam menjadi tenaga pendidik adalah bentuk idealis ayah. Sedapat mungkin ayah memberikan materi yang mudah diakses untuk mahasiswanya. Ayah juga terbuka jika ada pertanyaan dan ajakan diskusi. Bagi ayah, menjadi tenaga pendidik bukan untuk membuat mahasiswanya mendapat nilai A, melainkan menjadi paham-sepahamnya. Kalau mau pakai bahasa kekinian, ayah sudah menemukan “ikigai”-nya.

Ayah tidak pongah hanya karena sudah bergelar Master. Idealismenya membuat ayah memiliki intellectual humility.

“Anda dengan saya bedanya cuma siapa duluan yang lahir. Anda belajar dari saya, dan saya juga belajar dari Anda”, adalah kalimat yang pernah aku dengar ketika iseng sit in di kelasnya. Ayah tidak melarang mahasiswanya menggunakan gawai elektronik ketika di kelas. Ayah selalu membuat ujiannya bermetode buku terbuka (open book). Ayah ingin membuat anak didiknya mengerti dan paham. Bukan sekadar mendapat nilai A.

Aku belajar dari ayah tentang idealisme. Tentang percaya dan meyakini sebuah value.

Aku pernah menolak sebuah tawaran menulis karena tidak sesuai dengan nilai yang aku percayai. Aku pernah mundur dari suatu pekerjaan karena mereka melakukan praktik yang tidak jujur. Dan masih banyak hal yang kalau dilihat oleh orang awam, mereka akan mengatakan kalau aku bodoh sekali. Tapi setidaknya, batinku merasa tenang. Aku tidak mengalami pertentangan hati. Aku melihat sendiri bagaimana ayahku bisa menikmati hidupnya karena punya integritas dan idealisme itu.

Dua hal itu yang aku pelajari dari ayah. Yang masih aku pegang hingga kini.

Anyway, selamat ulang tahun, ayah! Sehat selalu dan panjang umurnya. Nanti kita ke Smithsonian Institute, ke Lincoln Memoriam, dan ke Kennedy Space Center sebagaimana yang pernah dikhayalkan bersama ketika menonton Night at The Museum 2, ya!

— July 6, 2021

What Do You Think?