Aku mengalami dan menyadari sendiri bagaimana pendewasaan diri. Yang dulu asal pakai emosi dan ngotot kalau berargumen, kini sudah lebih mampu memegang kendali. Dulu yang asal gertak sambal supaya lawan bicara gemetar, kini lebih senang jika berdialog dua arah.
Berubahnya caraku mengelola emosi juga dipengaruhi oleh bacaan yang dilahap.
Pada sebuah sesi obrolan bersama ayahku (sempat aku buka menjadi obrolan publik bulan Juli), beliau dengan percaya diri mengatakan kalau melarangku membaca tulisan teenlit. Ayah mendorongku untuk membaca tulisan klasik dunia seperti Sir Arthur Conan Doyle dan George Orwell yang katanya bisa membuka cakrawalaku. Meski ditambahkan juga kalau memancing minat baca melalui bacaan ringan seperti teenlit, chicklit, atau metropop bisa sangat membantu. Apakah apa yang dipercaya ayahku benar? Dari situlah aku merasa kalau mencoba “nakal” dengan daftar bacaanku barangkali akan membawa sesuatu.
We Need Diverse Books. Really?
Aku pertama kali mengenal kalimat “We Need Diverse Books” dari sebuah artikel di majalah American Library Association yang dilanggan oleh American Corner Universitas Airlangga. Sebagai mahasiswa Ilmu Perpustakaan, kala itu aku harus membaca banyak artikel untuk memudahkanku memahami materi kuliah.
We Need Diverse Books menjadi sebuah tema yang digagas oleh organisasi non profit dengan nama serupa untuk mengampanyekan pentingnya bacaan yang tidak hanya ditulis oleh kulit putih, tentang kulit putih saja. Mengingat kalau negaranya Paman Sam itu merupakan melting pot dari banyak ras, suku, agama. Akan tidak adil rasanya jika anak sekolah cuma disuguhi bacaan tentang kulit putih. We Need Diverse Books pun akhirnya meluas hingga kemana-mana. Menyuarakan kalau representation matters.
We Need Diverse Books menekankan pada bacaan fiksi dengan sasaran pembaca muda (usia sekolah). Hal ini bertujuan agar pembaca muda tahu bahwa dirinya punya keunikan masing-masing. Coba bayangkan jika seorang bocah Indonesia (yang jelas kulitnya berwarna & beraksen khas) membaca tulisan tentang bocah kulit putih yang bisa menjadi apapun yang mereka inginkan. Tentu ia akan terpengaruh untuk menjadi seperti itu. Tapi pada kenyataannya rasisme struktural masih saja ada. Bocah Indonesia merasa dirinya “ditipu.” Dirinya merasakan kesulitan untuk berada pada posisi yang ia dambakan hanya karena tidak berkulit putih.
Dengan mengenalkan bacaan fiksi yang diverse, diharapkan para pembaca muda bisa punya banyak pandangan dan menjadi lebih humanis. Mengetahui kalau satu peraturan tidak bisa bersifat apply for all.
Beberapa tahun setelah aku lulus dari Universitas Airlangga, barulah ada sebuah klub buku yang mengusung tema diversifikasi pada bacaan fiksi (silakan Googling ya! Mereka sudah punya akun Twitter dan Instagram). Sebuah inisiatif yang bagus untuk dijaga dan dirawat bersama. Tetapi setelah aku perhatikan unggahannya, apa yang dipos oleh penggagas dan lingkarannya, ada follow up question yang menghantuiku:
Apakah terminologi diverse hanya untuk bacaan fiksi yang ditulis oleh non kulit berwarna (author of color)? Bagaimana jika diverse juga termasuk keragaman topik bacaan non fiksi?
Kita tidak hanya membaca fiksi, tetapi perlu juga membaca non-fiksi. Belum lagi jika variabelnya menjadi bacaan non fiksi yang ditulis oleh kulit berwarna. Sungguh akan menghadirkan keragaman yang jauh lebih kompleks.
Lalu, Apa Makna Diversifikasi?
Dalam tahapan menumbuhkan minat baca, kita bisa memanfaatkan instrumen apapun sebagai pintu gerbang. Mau itu tayangan yang diadaptasi dari bacaan, judul yang direkomendasikan oleh idol kita, atau sesederhana yang gambarnya lucu dan menggemaskan. Menarik minat baca membutuhkan daya upaya yang tidak instan. Maka dari itu, aku mengutuk siapapun yang melakukan book shaming. Menciptakan Baca Bareng adalah salah satu langkah yang kulakukan untuk membuat para pembaca merasa nyaman dan aman dari penghakiman sosial masyarakat yang kerap memberikan label aneh-aneh.
Ketika kita sudah tertarik dengan membaca, menjadikannya sebagai kebutuhan (bukan lagi sebagai pengisi waktu luang) adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Kita pun mulai mengeksplorasi. Ada yang memperluas zona nyaman bacaannya. Ada yang memperdalam topik bahasan tertentu. Semuanya dilakukan karena berasal dari rasa penasaran.
Begitu pula denganku.
Aku besar dengan banyak sekali novel. Dari Agatha Christie hingga Thomas Harris. Mau itu membahas cinta lucu-lucuan atau petualangan penuh fantasi. Pemantik dari buku fiksi membawaku pada rasa penasaran, “Memangnya kejadian yang sebenarnya seperti itu ya?”
Ambil contoh ketika membaca The Book Thief yang ditulis oleh Markus Zusak. Latar waktu dan tempatnya berada di Jerman ketika Perang Dunia II membuatku menelusur lebih jauh mengenai kekejaman Hitler. Maka aku membaca buku non fiksi yang memang membahas topik itu. Semakin besar, semakin aku terpapar dengan banyak produk budaya populer, maka semakin meningkatlah rasa penasaranku.
Kejadian yang paling baru adalah ketika aku menonton serial Loki yang tayang di Disney+. Diceritakan kalau Loki pandai mengakali jalinan waktu yang sudah ada pakemnya. Ketika tamat, aku menjadi penasaran dengan konsep waktu yang pernah ditulis oleh Stephen Hawking dalam buku A Brief History of Time (#MarvelMadeMeReadIt!)
Setelah diamati, apa yang aku lakukan bisa disebut sebagai “mendiversifikasi bacaan.” Aku tidak hanya membaca fiksi, tapi membayar rasa penasaranku dengan literatur pendukung yang bisa memberikan penjelasan secara saintifik/historis. Terbukti secara keilmuan.
Rasa-rasanya penting untuk dapat menyeimbangkan keduanya. Dari fiksi, kita jadi tertarik membaca hingga menuntun rasa penasaran akan ilmu pengetahuan.
Apakah sampai situ saja? Bagiku tidak.
Pada sebuah diskusi melalui Instagram Live bersama Nulis Buku, mas Yoga mengatakan kalau dia memperhatikan judul yang aku baca. “Bacaanmu reno-reno ya, Hes.” Iya, kalau diamati memang demikian. Dari unggahan Instagram Story maupun Instagram Feed, teman-teman bisa melihat judul apa yang sedang kulahap. Kadang aku fokus pada satu topik, tapi lain waktu bisa berbelok ke topik lain.
Aku cuma melunasi rasa penasaran yang bergelayut dalam kepala dengan membaca apapun yang menarik. Membaca tanpa adanya beban untuk memberikan impresi kepada orang lain. Aku membaca sebagai cara membuat diri sendiri bahagia.
Untuk yang membaca buku-buku filsafat, bukanlah hal yang baru untuk mengetahui bahwa setiap cabang keilmuan saling berkaitan. Membaca tentang behavioral economy rupanya ada kaitannya dengan psikologi. Bicara tentang ekologi ternyata bisa juga sambil membahas isu feminisme (dan menjadi ecofeminism). Mendiversifikasi bacaan membantuku memahami hal-hal di luar sana. Kalau bisa dianalogikan, to read diverse is to look something in 3 dimensional like a ball, not 2dimensional circle.
Kembali lagi pada pertanyaan semula, apakah perlu mendiversifikasi bacaan? Perlu. And by read anything that catch my attention is my own way to read diverse.
(Jadi, jangan heran kalau melihat rak Currently Reading di Goodreadsku yang… nggak karuan ehehe)
— September 25, 2021
Yayy Hesti salah satu sumber yang bikin bacaanku yang cukup nano-nano alias beragam! Hihi. Rasa penasaran tuh emang “berbahaya”, ya. Bisa membawa kita ke berbagai judul buku. 😀
“Mendiversifikasi bacaan membantuku memahami hal-hal di luar sana.” Suka banget sama kalimat ini, Hes!
*ttd, yang kaget lihat currently reading-mu sebanyak itu* (ya tahu, banyak, tapi nggak nyangka segitu juga jumlahnya hahahaha)