“Hestia kok belum S2, sih?”

Aku sering mendengar bagaimana keluaran (output) dari institusi pendidikan bernama sekolah atau perguruan tinggi tidak sesuai dengan permintaan pasar & lapangan kerja yang tersedia. Entah karena memang kurikulumnya yg bergerak lambat atau memang kebutuhan industri bergerak begitu cepat dalam situasi VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).

Belum selesai dengan matchmaking masih ada pula diskusi terkait perlu/tidaknya lanjut ke jenjang S2/S3. Beberapa selentingan yang terdengar seperti “sekolah lagi karena belum dapat pekerjaan” atau “sekolah lagi agar dapat gaji 2 digit” rasanya sudah bukan lagi menjadi bisik-bisik bawah tanah. Seakan-akan “sekolah lagi” untuk meningkatkan taraf hidup pribadi adalah hal yang normal.

Dalam zine Pendidikan Demokrasi untuk Semua, Ben Laksana menulis betapa setiap aktor pendidikan punya bias masing-masing dalam mempraktikkan apa yang mereka sebut sebagai “pendidikan.” Zine ini dibuka dengan komentarnya terhadap program “Kampus Merdeka” yang dicanangkan oleh Mas Menteri Pendidikan. Berbalut program magang, apakah ini sebuah daur ulang program kerja yang sempat usang? Berujung hanya untuk menekan angka pengangguran yang “dicetak” oleh lulusan perguruan tinggi. Lalu, bagaimana dengan konsep pendidikan yang bertujuan untuk membuat kehidupan manusia lebih makmur? Apakah itu sebuah cita-cita yang terlalu utopis untuk diwujudkan?

Semakin dibaca, tulisan Ben menunjukkan adanya ketimpangan dalam mendidik manusia. Kita semakin condong pada tujuan kapitalis. Pokoknya ada “cuannya.” Hal ini mengingatkanku pada novel Never Let Me Go karya Kazuo Ishiguro. Tentang manusia yang diberi pendidikan seni & bermacam hal lainnya agar menjadi individu yang lebih “berkualitas” sehingga lebih laku di luar sana. Sebagaimana kita kerap mengglorifikasi untuk memproritaskan kebutuhan (pasar) saja tanpa menelisik lagi ke dalam diri untuk apa kita melakukan pembelajaran ini.

Ben memantikku untuk membaca lebih banyak referensi terkait pendidikan. Ben menyadarkanku kalau tulisan Ivan Illich dalam Deschooling Society, Neil Postman dalam The End of Education, atau Sir Ken Robinson dalam Creative Schools masih belum cukup untuk dapat mengajarkan “pendidikan” yang lebih demokratis. Menandakan kalau aku memang harus segera membaca Pedagogy of the Oppressed.

Kembali pada pertanyaan awal. Aku belum (ingin segera) S2 karena masih merasa butuh pengalaman kerja di ekosistem literasi supaya studi kasus yang dibawa pada kelas yang diambil nantinya memang pernah dialami langsung. Mengingat kalau aku ingin melanjutkan studi pada ranah yg linier dengan titel sarjanaku kemarin. Rasa-rasanya, segera S2 hanya untuk mengisi ceruk pasar atau memperjualbelikan ijazah master demi fixed income yang lebih tinggi bukanlah jalan ninjaku.

(Unggahan ini merupakan republikasi dari unggahan Instagram @hzboy1906)

— October 11, 2021

What Do You Think?