Bagi sebagian besar orang Indonesia, berbasa-basi itu merupakan salah satu elevator pitch untuk memulai interkasi. Apakah itu interaksi yang berujung tukar nomor handphone atau cuma sekedar mengisi waktu yang entah mau diapakan. Sayangnya, berbasa-basinya orang Indonesia, bagiku pribadi, cukup mengganggu.
Berbicara mengenai basa-basi, di negara barat seperti misalnya di Inggris, ada alasannya mengapa berkomentar mengenai cuaca adalah cara untuk memulai percakapan. Yang jelas, memancing dengan mengatakan, “hari ini tampaknya akan turun hujan” lebih sopan ketimbang bertanya, “mau kemana, neng?”. Untuk mereka yang ekstrovert rasanya pertanyaan tersebut akan disambut dengan riang. Si ekstrovert tidak akan sungkan-sungkan untuk mulai berbincang dengan pemantik seperti itu. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang introvert? Bagaimana dengan orang-orang yang menganggap bahwa privasi adalah sesuatu yang harusnya dihargai?
You Have Serious Problem with Understanding What “Privacy” Is
Masalahku dengan apa yang kemudian disebut sebagai “privasi” ini semakin mencuat ketika ada layanan transportasi online. Ya, on-demand transportion service (aku tidak perlu meyebutkan namanya karena pasti dari kalian sudah tahu siapa saja para pemainnya). Bagi driver, menyapa customer adalah salah satu service yang harus diberikan. Karena tentu saja, hal tersebut mempengaruhi pemberian rating kepada mereka. Namun, apabila dari sapaan tersebut kemudian berujung pada small talk yang menyerang privasi, beda lagi ceritanya.
Aku punya pengalaman kurang menyenangkan terhadap salah satu driver layanan transportasi. Aku tahu, maksudnya memulai small talk adalah untuk memecah keheningan di antara kami. Mungkin, si driver can not breath in the dead air. Sedangkan aku sendiri, memang bukan tipikal orang yang akan memulai small talk apabila aku tidak ingin melakukan percakapan. Tapi, pasti dari kalian juga tahu kemana small talk akan berujung jika si driver-nya berlagak sok tahu. Tepat! Penilaian secara sepihak.
Bermula dari bertanya, “mau kemana, neng?” hingga berkomentar terhadap apa yang kita kerjakan. Dari “mau kemana, neng?” tersebut, si driver akan mulai bercoleteh dan menghujam pertanyaan-pertanyaan selanjutnya seperti, “emangnya ada acara apa?”; “mau ketemu siapa?”; “neng kerja dimana sih?”; “kerjanya neng apaan emang?”.
Bagi penumpang yang punya hati bak raja tega, pertanyaan tersebut bisa dialihkan untuk menanyakan hal-hal umum seperti cuaca, kemacetan, hingga sesederhana pertanyaan mengenai mobil/motor yang digunakan driver. Tapi itu juga tergantung. Selalu ada driver-driver yang tetap bersikeras kembai ke pertanyaan “introgatif”.
Untuk banyak orang, menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ya tidak ada salahnya. Sekali lagi, demi small talks dan supaya bisa “bernapas”. Tapi, untuk aku pribadi, pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat menganggu. Mengapa? Pertanyaan yang mereka lontarkan sudah masuk ke dalam ranah pribadi. Apalagi kalau sampai bertanya mengenai pendapatan dan berujung menghakimi kita.
“Masa kerja sebagai **** gajinya cuma segitu, neng?”
Aku biasanya hanya menjawab, “ya disyukuri aja pak” dengan suara rendah dan datar dan asyik main handphone. Maksudnya supaya si driver ini paham kalau aku tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut. Alih-alih bisa “membaca” gelagatku, eh si driver masih terus berseloroh. Hingga satu titik, aku dengan dinginnya menjawab. Si driver sadar. Bukannya minta maaf, malah ngeledek dengan bilang, “masa gitu aja marah, neng?”. Well, disitulah rasanya aku punya hak untuk mengeluarkan kata-kata tajam sekaligus.
“Bapak nggak sopan. Saya customer dan saya punya hak untuk melaporkan bapak kepada **** kalau bapak mengatakan hal yang tidak sopan.”
To be honest, aku bisa saja langsung menelpon kantor penyedia jasa transportasi on demand tersebut dan melapor. Tapi, karena dasarnya aku orangnya tidak tegaan, jadi ya itu hanya gertakan saja. Syukurlah si driver akhirnya memilih diam dan langsung fokus kembali dengan menyetirnya. Maaf saja, walaupun aku tidak menelpon, aku memberikan rating 1 bintang dan mengirimkan keluhan via email.
“It’s for the sake of small talk, Hesti!”
Lain lagi ceritanya dengan sebagian besar orang di kantor yang selalu saja kepo ingin tahu: kamu mau kemana, sama siapa, berbuat apa, pulang jam berapa. Itu teman kantor atau security?
Aku pada dasarnya tidak peduli dengan apa yang orang lain kerjakan selama itu tidak merugikanku. Sebelum aku menanyakan sesuatu, aku juga memikirkan terlebih dahulu bagaimana jika aku diberi pertanyaan seperti itu. Jika aku merasa tidak nyaman, ya aku tidak akan bertanya.
Sayangnya, orang Indonesia bukanlah tipikal yang demikian.
Menghabiskan waktu akhir pekan entah dengan siapapun menurutku adalah suatu privasi. Dan aku akan bercerita jika aku merasa aku ingin. Tapi, kamu pasti tahu kan, selalu ada orang di sana yang bertanya terus-menerus, ingin diceritakan ini-itu terkait kehidupan pribadimu? Apalagi kalau sampai menyangkut-pautkan dengan hal-hal berbau pekerjaan. Ketika kita berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, lagi-lagi dikembalikan pada pertanyaan kepo bin annoying.
“Kamu kemana wiken kemarin?”
“Ih belagu. Asyik pacaran ya sekarang sampai ga bisa handle kerjaan *****”
LIKE? Untuk pernyataan seperti itu, jujur saja, aku akan lansung pergi meninggalkan lawan bicaraku itu. Orang lain akan bilang, “ah Hesti, kan itu cuma bercanda.” Oh hell no. Aku orangnya introvert dan pernyataan yang berbasis privasi adalah sesuatu yang tidak bisa diterima sebagai bahan candaan. Kecuali, jika si lawan bicara adalah orang yang sudah sangat kenal aku bertahun-tahun, sudah sangat dekat, dan sudah sangat aku percaya. Maka dari itu, aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan semua hal yang pribadi. Aku hanya berkata seperlunya dan buru-buru meninggalkan si penanya. Entah itu dengan mengenakan headset atau langsung fokus dengan tumpukan pekerjaan.
Aku sadar, kita hidup dalam era yang paradoks. Kita share cerita dan kehidupan pribadi kita di social media namun kita akan terganggu apabila ada yang kepo kehidupan pribadi hingga bertanya mendetil. Jadi, lebih baik mulailah small talk dengan berkomentar masalah cuaca.
— November 17, 2016
One thought on “Small Talk Matters”