He’s my dad. Yang akhirnya datang berkunjung setelah aku kurang lebih hampir 4 tahun pindah ke ibu kota. Itu pun dadakan padahal sehari sebelum, kami menghabiskan waktu hampir 120 menit untuk berbincang melalui telepon. Aku bilang padanya saat itu, kapan main ke Jakarta lagi? Tempat-tempat yang kami kunjungi bersama di tahun 2014 silam sudah (banyak) berubah dan aku ingin mengajak ayah “napak tilas.” Tidak hanya menelusur kembali kenangan sewaktu aku masih magang di Kemdikbud dan ayah mendapatkan tugas dinas di Kemenpanrb (lokasinya bersebarangan satu sama lain), tetapi malah jauh sebelumnya. Tepatnya saat aku masih kecil dan ayah sangat senang mengajakku ke Gramedia Matraman menggunakan bus kota.
Hari itu hari Minggu (24/11). Ayah bilang mau mampir ke museum saja. Dari Museum Nasional, Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, hingga Museum Fatahilah kami lakukan selama sisa hari dan sepanjang museum masih beroperasi. Aku yang sudah dari kecil tumbuh dengan wisata museum akhirnya sadar. Punya ayah seperti ayahku merupakan suatu kemewahan. Ayah tidak suka ke mall kalau memang tidak ada perlu. Ke mall pun pasti cuma ke toko buku, berjam-jam ada di sana, menghampiri setiap rak yang ada. Tidak masalah tidak membawa tentengan. Tetapi berbeda ceritanya kalau diajak ayah ke museum. Ayah suka sekali mendongeng tentang beberapa artefak yang dipajang. Ada saja hal-hal trivia yang ia tahu–yang aku rasa juga bukan merupakan informasi umum.
Keliling museum bersama ayah seperti punya pemandu tur pribadi. Disela-sela menjelaskan, ayah suka melempar guyonan. Ya salah satunya permainan kata, mengingat kami adalah kaum poliglot: bisa berbahasa Indonesia, berbahasa Inggris, dan berbahasa Jawa. “Wah, harusnya dikonsultasikan ke teman-teman IPB!” usul ayah ketika membaca tulisan “Benih (Bank) yang Tidak Bisa Berbunga.”
Apa yang ayah sampaikan ketika kami berkeliling museum merupakan akumulasi pengetahuan yang sudah dimilikinya sejak muda. Dasar kutu buku! Membaca buku-buku tentang ilmu pengetahuan eksakta dan sejarah menjadi kegiatan favoritnya hingga sekarang. Dan ayah tetap saja membuatku kagum dengan ingatan tajamnya itu. Padahal ia tidak main sudoku. Hanya suka mengisi TTS di Harian Kompas setiap pekan (bahkan dulu sempat menantangku untuk adu cepat).
Bagi ayah, jadi perempuan itu harus pintar. Jangan heran kalau ayah lebih suka anaknya cari pengalaman dan ilmu daripada terburu-buru menikah padahal belum siap. Ayah tidak setuju dengan konsep pernikahan yang hanya untuk memuaskan ekspektasi masyarakat. Makanya, “tekanan” yang aku terima setiap tahunnya ada dua macam: “kapan kamu mau sekolah lagi?” atau “tahun ini jalan-jalan kemana lagi?”Sebab, ayah suka mendengarkan cerita anak-anaknya yang berhasil mengeksplorasi hal baru. “Kekayaan bisa dirampas, kecantikan bisa disiram air keras. Tapi kepintaran? Sampai mati hanya kamu yang bawa.”
Pada salah satu ruang pamer di Museum Bank Indonesia, kami berhenti pada foto-foto restorasi Candi Borobudur. “Kamu tahu siapa yang merestorasi?” tanyanya kepadaku. Aku cuma memandang dengan tatapan datar karena jujur saja aku tidak tahu. Ayah balas menatap dengan pandangan yang menyiratkan bagaimana bisa kamu tidak tahu, lalu menjawab. “Van Erp” sambil tersenyum dan melanjutkan melihat-lihat.
Ya, kadang obrolan trivia kami bisa seacak itu. Dengan pengetahuan dan wawasannya yang luas, semua anakanya didorong untuk lebih banyak membaca dan mengeksplorasi supaya kalau tiba-tiba ditanya orang, “Ibu kota Israel dimana?” tidak sampai malu-maluin. Ehe.
— November 25, 2019
One thought on “The Privilege I (Do Not) Deserve”