Mungkin aku hanya beberapa kali menanyakan di mana keberadaanmu. Setidaknya, aku bisa tahu posisi terakhirmu. Berjaga-jaga jikalau ada sesuatu yang buruk, kita masih saling bisa mengetahui (tapi tentu kita tidak ingin terjadi betulan, bukan? Jadi, tolong berhati-hatilah). Ketika aku bertanya di mana kamu, aku tidak akan melanjutkan dengan pertanyaan yang interogatif. Buat apa? Kamu sudah dewasa dan dapat menentukan sendiri mana tindakan yang aman dan mana yang tidak. Kamu punya agensimu sendiri sebagai seorang individu dan aku berusaha untuk menghargai itu.

Kok bisa, tanyamu. Sayang, aku juga punya kegiatan. Mungkin kamu sempat mengetik namaku di kolom pencarian Google. Akan ada hasil yang menunjukkan bahwa aku mengisi kelas, berkolaborasi di sana-sini, menjadi moderator sebuah diskusi, hingga (tentu saja) merawat sebuah inisiasi. Maka dari itu, aku mengusulkan bagaimana kalau kita saling berkomunikasi. Kabari aku, kamu punya agenda apa atau harus conference call pukul berapa sehingga aku juga menyesuaikannya dengan kegiatanku. Toh, dengan begitu kita sebenarnya sedang mengusahakan waktu untuk berdua, kan? Aku tidak membatasimu. Pun, aku berharap kamu tidak membatasiku.

Eh? Kamu masih bingung apakah aku tidak merasa takut kehilanganmu? Perasaan itu ada kok, sayang. Tapi tidak mendominasi. Sebelum aku memutuskan untuk menyayangimu, aku sudah harus menyayangi diriku sendiri. Aku sudah harus selesai dengan beban emosi yang terdahulu–dengan bayang mantan pacarku ketika itu, dengan trauma yang sempat bergelayut pasca kami putus. Sebab, akan tidak adil jika aku yang masih “berantakan” ini malah menumpahkannya kepada orang lain–yaitu kamu. Ini kan tanggung jawabku, bukan tanggung jawabmu. Maka, harus aku pastikan dulu kalau aku sudah sepenuhnya selesai dengan emosi dari masa lalu, menyayangi diriku sendiri, hingga akhirnya aku siap untuk menyayangimu. Kamu masih juga heran ya? Begini, jika aku tidak menyayangi diriku sendiri (selain masalah beban emosi tadi), aku akan terus mencari seseorang yang bisa memberikan validasi kepadaku–kalau aku ini cantik, pintar, bisa segalanya. Aku akan terus merasa puas dari opini orang lain. Bukan dari diriku sendiri. Itu keliru. Nanti ketika orang yang memberikan validasi itu pergi, aku akan hancur (lagi). Aku harus merasa cukup (to feel enough) dengan apa yang aku miliki, dengan apa yang aku kerjakan, dan dengan apa yang aku perjuangkan. Toh, sudah seyogyanya ada atau tidak adanya dirimu, aku yang menciptakan bahagiaku.

I’ve learnt the hard way. Aku sudah pernah cerita padamu, sayang, soal bagaimana menjalin hubungan ketika kita tidak merasa aman (secure) dengan diri sendiri. Kiranya kamu bisa membedakan mana hubungan yang bertujuan untuk mencari rasa aman dari orang lain (atau validasi dan afirmasi) dengan hubungan yang berjalan karena kamu sudah merasa content dengan dirimu. Ketika kamu belum bisa sayang dirimu sendiri, usaha yang kamu lakukan semata-mata adalah untuk mendapatkan validasi orang lain. Bukan karena kamu suka atau senang. Tapi hanya agar dia menerimamu. Itu melelahkan sekali, lho. Ketika aku memilih untuk fokus pada diriku, belajar dan berakitivitas karena aku ingin mengembangkan diri untuk masa depanku kelak, rasanya jauh lebih menyenangkan. Tidak ada tekanan dan tidak ada standar orang lain yang harus aku penuhi agar aku diterima. Ingat, mau sekeras apapun kamu berusaha agar seseorang bertahan, kalau dia tidak ingin menetap ya pasti akan pergi juga. Buat apa aku melakukan sesuatu untuk orang lain?

Sekali lagi aku katakan, aku sayang kamu karena aku sudah menyayangi diriku sendiri terlebih dahulu. Rupanya, aku masih punya kuota untuk menyayangi orang lain dan aku memilihmu. Aku belum berpikir bahwa kamu harus menyayangi aku juga, karena ternyata rasa sayang yang aku berikan padamu juga membuatku senang. Kalau kamu sayang padaku, itu kuanggap sebagai bonus (dan aku mengapresiasinya!). Naif? Bisa saja. Tapi aku nyaman dengan itu.

I love you when I am ready, not because when I am lonely.

Jadi bagaimana? Apakah penjelasanku membuatmu percaya mengapa aku bisa sesayang ini kepadamu?

— October 12, 2020

What Do You Think?