I used to be the kid, now the kids wanna be me

Rich Brian’s Kids (2019)

Pernah merasa kalau perlahan-lahan, apa yang dulu kita khayalkan satu per satu menjadi kenyataan? Dulu, melihat teman-teman punya sepatu dan tas bermerk, rasanya ingin punya juga. Dulu, lihat ada yang punya pacar, rasanya ingin juga. Dulu, lihat ada yang bisa berkarya bersama orang terkenal, jadi ingin juga. Rupanya, dari imaji-imaji itu muncul motivasi, muncul energi untuk bisa segera merealisasi. Tak ayal, jam kerja pun seperti tidak mau kalah dengan jam operasional ritel mini market atau apotek. Kalau sih, bisa non-stop.

Orang bilang, mencapai imaji yang utopis itu pasti tidak selalu mulus jalannya. Ada waktunya harus ngebut, ada waktunya harus atur ulang startegi, atau malah berhenti (sejenak). Sayangnya, kita belum tentu siap ketika keadaan tiba-tiba berubah. Atau bahkan ketika semua yang sudah direncanakan, ternyata perlu dirombak ulang. Maka tidak salah jika dikatakan, “It takes blood and tears.” sebab memang begitu adanya.

Begitu pula dengan yang aku hadapi belakangan ini. Beriringan dengan terwujudnya menjadi tim junior editor untuk salah satu penulis terkenal di Indonesia. Ada yang harus “dibayar.” Akhir pekan yang harus diisi dengan membaca, riset, menulis, mengedit, dan melakukan pertemuan startegik. Hingga komunikasi intim yang harus terenggut.

Dalam perjalanan dan pengerjaan proyek ini, aku bertemu dengan hal baru di luar dugaanku: that depression and suicidal thought. Ya, kamu tidak salah baca. Ada “depresi dan pikiran-pikiran untuk menyerah” sepanjang progresnya. Dua hal yang aku kira tidak akan aku temui di kehidupan nyata, rupanya sempat mengajakku berkenalan.

Memang betul, aku dulu ingin menjadi “that kid”. Tapi tidak ada yang memberitahuku bahwa menjadi “that kid” (dalam kisahku) ternyata harus melalui konseling ke psikolog dan periksa ke rumah sakit. Menjadi “that kid” ternyata termasuk mengalami “the dark day even the sun shines bright.” Perasaan-perasaan ingin menyerah dan mengakhiri permainan (secara sepihak).

Dalam menjadi “that kid”, aku bertaruh dengan pihak lain. Pihak yang lebih memilih untuk fokus terhadap apa yang menjadi tanggung jawab materiil daripada mencoba menyeimbangkan dengan tanggung jawab yang bersifat relasi. Dengan kata lain, keadaan memintaku untuk mengubah rencanaku lebih cepat.

Di satu sisi, tentu aku senang ketika masih berada dalam proyek ini. Ada hal yang aku suka di situ (dan perasaan akan dibutuhkannya peranku).

Tetapi yang aku sayangkan adalah, aku harus benar-benar merasakan blood(shed) and tears itu tadi untuk menjadi “that kid.” Atau mungkin, ya memang itu yang harus aku lalui sebelum nantinya tekanan akan menjadi semakin besar, orang-orang semakin tidak bisa dipercayai, dan perubahan terjadi semakin cepat.

Di akhir hari, dengan selesainya proyek ini, aku memberanikan diri untuk menuliskan semuanya. Bukan untuk mencari perhatian. Melainkan sebagai katarsis. Sebagai titik mula kembali menuju awalan yang baru.

Started off as the sailor, look at me, now I’m the captain

Rich Brian’s Kids (2019)
— August 14, 2019

What Do You Think?