Tanggal 8 Juni lalu, 2 hari sebelum sebagian orang Indonesia mulai bekerja setelah libur lebaran, salah seorang teman dari dunia maya menulis unggahan baru di blognya. Sebuah pembelaan terhadap orang-orang yang tidak mau berkembang. Begitu judulnya. Semakin dibaca, semakin aku merasa bahwa tulisannya bisa aku relasikan dengan kondisiku saat ini. Terutama ketika Devina menulis:

Seberapa sering kamu memilih tidak melakukan sesuatu yang kamu suka atau malah memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya kamu tidak sedang ingin-ingin amat, cuma demi masa depan yang ada di pikiranmu sendiri? Dengan alasan bahwa kamu harus, kalau kamu ingin lebih baik?

Devina

Tentu aku terpelatuk. Aku merasa bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Devina. Aku punya alasanku sendiri tapi juga keraguanku. Benarkah aku termasuk orang yang tidak mau berkembang dan terus berdalih?

…Kamu itu Orangnya Picky

Masuk pada semester pertama tahun 2019, setidaknya sudah dua kali aku mendengar komentar itu. Hesti orangnya picky. Terlalu pemilih. Di saat aku mendapatkan umpan balik seperti itu (apalagi lebih dari sekali), tentu menjadi hal yang kerap aku pikirkan.

Dari pengalamanku berkerja beberapa tahun belakangan, aku punya cerita tidak menyenangkan tentang sebuah penugasan: membuat video, mengurus pengambilan gambar untuk video, dan apapun yang terkait karya audio visual.

Ketika itu tahun pertamaku bekerja secara profesional dan aku mendapatkan tugas untuk mendampingi proses pengambilan gambar. Singkat cerita, aku merasa bahwa hatiku tidak di situ. Aku pun mencoba mengkomunikasikan hal ini dengan rekanku dan atasanku. Ternyata hasilnya tidak baik. Tetapi apakah aku lantas langsung menerima pekerjaan yang berkaitan dengan video pada penugasan selanjutnya?

Belum tentu.

Memang, aku masih sempat mendampingi walaupun porsi yang harus aku urusi sudah berkurang. Terkadang, aku cuma mendampingi dan membantu mempersiapkan materi yang akan ditayangkan saja. Atau malah, sekadar menemani dan berjaga jika ada hal yang memang perlu dibantu. Tetapi, aku belum pernah mengerjakan dari awal: merencanakan sejak tahap membuat konsep.

Kesempatan itu pasti akan datang. Aku ternyata akan bertemu juga dengan tugas pembuatan video dari nol hingga nanti menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati. Aku yang sudah paham kapasitasku saat ini dan juga “peletakan hatiku” kerap mencoba untuk menghindar. Kalau bisa, aku bukanlah penanggung jawabnya.

Percuma saja. Tetap tidak bisa terelakkan.

Hingga akhirnya komentar itu datang lagi. Hesti terlalu picky. Hesti tidak mau mencoba hal di luar zona nyamannya (oke Devina, aku tunggu tulisanmu soal zona nyaman ya!). Hesti tidak growth mindset.

Dari situ, keraguanku muncul

Determinasi atau Tidak Punya Nyali?

Semua yang sudah pernah mengikuti akun media sosialku pasti tahu: aku suka sekali dengan buku. Aku bangga mengatakan bahwa aku adalah Sarjana Ilmu Informasi dan Perpustakaan ketika yang lain agak malu untuk mengakui hal serupa. Aku tidak sungkan mengekspresikan betapa besar kecintaanku terhadap dunia buku dan literasi.

Kecintaanku itu berawal dari lingkungan keluarga. Besar dan tumbuh menjadi seorang pembaca buku ternyata membawaku pada pilihan-pilihan perkembangan diri yang bagi sebagian (besar) orang dianggap sudah ketinggalan zaman. Tidak relevan. Tergerus kemajuan peradaban.

Buku, membaca, menulis, literasi.

Aku paham betul kalau porsi hatiku lebih besar ku letakkan pada dunia menulis dan buku. Ketika dikatakan “Hesti terlalu picky,” rasanya ingin menyanggah bahwa aku sedang mencoba memaksimalkan potensi dan kecintaanku pada satu hal saja. Aku sudah mengerecutkan peminatanku. Bukan berarti aku menjadi individu yang fixed mindset.

Dikatakan fixed mindset ketika aku tidak mau memperbarui pengetahuan dan kemampuan menulisku. Atau enggan untuk menggali hal baru terkait dunia buku ataupun literasi. Padahal kenyataannya, aku bersedia. Mana mungkin aku mau mengikuti kelas-kelas menulis berbayar jika aku tidak punya minat yang besar di situ?

Dalam tulisanku sebelumnya, “Dendam yang Harus Dibayar Tuntas,” aku menceritakan bahwa ada satu senior di tempat kerjaku yang mendorongku mengembangkan kemampuan menulis. Aku tentu saja senang dan jadi bersemangat untuk mencari kelas-kelas yang lain. Sebab, aku merasa didukung atas kecintaanku terhadap satu bidang.

Keseriusanku mendalami bidang buku dan literasi semakin kuat saat aku harus bertemu dengan orang-orang dibalik penerbitan sebuah buku. Aku mendapatkan wawasan baru lagi yang masih berada pada satu payung besar yakni literasi. Dan aku ingin rasanya kembali membulatkan tekad untuk mulai berkarir pada bidang itu. Ketika aku punya cinta yang besar dan juga memiliki kemampuan yang mumpuni untuk maksimal, mengapa tidak?

Di titik ini, aku merasa tahu apa yang menjadi passion-ku. Aku merasa tidak salah melakukan branding diri sebagai seorang yang senang membaca buku

Jadi, Hesti ini picky atau punya determinasi?

— June 14, 2019

What Do You Think?