“How do I disappear without anybody knowing?”

“Will anybody miss me when I’m gone?”

Yellow – Rich Brian

Rich Brian sedang tidak menuliskan lirik lagu tentang kepergian. Apalagi yang condong pada “kepergian ke dimensi lain” yang disengaja. Namun, lirik tersebut rasanya pas seperti yang ada di dalam kepala teman-teman yang sedang terpikirkan untuk mengakhiri rasa sakitnya.

Begitu pula denganku.

Pertama kali ada pikiran itu ketika seseorang secara sepihak memutuskan hubungan kami. Yang ada di dalam benak hanyalah kesia-siaan untuk bertahan, bagaimana usahaku ternyata tidak dihargai.

Gunting sudah di tangan. Aku hanya perlu melukai pergelangan tanganku. To cut my wrist off and the pain would end. Yang terjadi hanyalah sebatas luka dan bekas titik-titik kemerahan.

Sekelebat yang aku ingat ketika aku sudah memegang gunting adalah, “Percuma saja bertahan. Everybody loves him more. Why should I stay?” Ada perasaan tidak berguna, being useless and unlove di situ.

Kedua kalinya tidak berselang lama dari itu. Aku masih berjuang untuk sembuh dari patah hati. Sekitarku tengah bergumul dengan tugas-tugas yang tenggat waktunya semakin membuat tertekan. Di saat yang sama, “bencana” menimpaku. Aku tidak punya tempat pelarian lagi untuk menumpahkan semua emosi di dalam kepalaku. Di situlah aku merasa, it is the darkest day of my life. Gelap. Mau lari kemana?

Meskipun aku tidak benar-benar melakukannya, tapi aku sempat melukai pergelangan tangan kiriku (lagi).

It’s Either Do or Die

Bagi sebagian besar orang yang membaca ceritaku ini sangat mungkin mengeluarkan pernyataan pamungkasnya. “Ah, kamu berlebihan!” “Kamu kurang berdoa!” dan lain-lain. Stigma negatif begitu melekat kepada seseorang yang mencoba untuk “mengeluarkan” kisah. Bahkan mereka dilabeli sebagai orang yang lemah iman atau tidak punya mentalitas yang tangguh. Padahal tidak sesederhana itu.

Yang tidak kalah buruknya adalah ketika seseorang berusaha reach out dengan menghubungi orang lain yang (tentu saja ia pikir) bisa dipercaya namun ternyata yang ada malah sebaliknya. Orang tersebut tidak memberikan dukungan positif, tidak “hadir” sebagai pendengar, dan malah hanya menyalahkan dengan label-label itu tadi. Masih untung kalau cerita seseorang itu tidak dibagikan kepada lingkaran pertemanan yang lain untuk bahan berghibah. Maka, jangan heran jika seseorang dengan pikiran untuk mengakhiri rasa sakitnya memilih untuk diam saja.

(Don’t Even) Try to Save My Life

Jika suatu saat nanti, seseorang menghubungimu dan mencoba reach out, dengarkan. Berikan “telingamu” untuknya. Berikan dukungan yang positif, bukan malah dihakimi dengan kata-kata yang membuatnya makin merasa unlove. Teman-teman yang punya pikiran itu, sebenarnya perlu ditemani. Tidak harus terus menerus, tapi cobalah sesekali, misalnya setiap dua hari sekali untuk menanyakan keadaannya. “Are you getting better?” “Is there anything I can help?” Dan beri sinyal jika kamu memang bersedia membantunya. Kalau kamu tidak bisa, beri tahu dan beri jalan keluar. Sangat mungkin kamu merekomendasikan teman lain yang kamu tahu bisa menjadi seorang pendengar. Ingat, cerita yang dia bagikan kepadamu bukan untuk kamu bagikan ulang (untuk dibicarakan secara negatif).

Akan lebih baik jika kamu bisa menemaninya bertemu tenaga profesional (psikolog atau psikiater). Dukungan seperti itu membuatnya merasa “mendingan.”

I Put My Warpaint On

Mendengarkan lagu-lagu Rich Brian dan terutama NIKI membantuku untuk merasa empowered. Sebab, aku tahu apa yang menjadi akar masalah dari pikiran buruk itu: munculnya perasaan tidak dicintai oleh orang lain, perasaan tidak berguna karena di lingkungan kami, dialah yang (tampaknya) lebih disukai. Perasaan empoered itu tadi aku dapatkan misalnya dalam lagu Warpaint milik NIKI. Pesan yang disampaikan begitu kuat:

“Every day, I put my Warpaint on

I’m a warrior, I’ll find another one

Step aside, I’m moving through

All by myself, I don’t need you”

Hingga kini, aku masih setia mendengarkan Rich Brian dan NIKI. Apalagi kalau sudah mulai down dan sekitarku sedang tidak kondusif untuk memiliki pikiran positif.

Di samping itu, aku juga punya teman yang bersedia menjadi “telingaku” setiap aku membutuhkan tempat bercerita. Ada yang memberikan dukungan dengan mempersilahkan aku berkeluh kesah dan dia bersedia mendengarkan. Ada pula yang mencoba mendukung dengan terus mengatakan bahwa aku bisa berdiri dan bangkit lagi. Tidak mudah memang. Tapi mereka adalah orang-orang yang melihat bahwa pergi ke psikolog adalah jalan yang benar dan tidak perlu malu untuk mengakui hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang menyadari bahwa mental health juga investasi yang sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Ketika perasaan “merasa tidak berguna” muncul lagi. Aku mencoba mengingat-ingat kalau aku punya sesuatu yang ingin aku wujudkan: passion-ku terhadap buku. Bagaimana kecintaanku dengan buku ternyata bisa menolongku. Aku mencoba untuk hadir kembali dalam komunitas dan acara-acara yang berhubungan dengan buku. Berkenalan dengan teman-teman baru.

Mungkin kamu pun bisa mencoba demikian. Mengalihkan pikiran buruk itu memang tidak mudah. Apalagi kalau sudah penat, ingin bercerita tapi tidak tahu harus bagaimana. Ada baiknya jika kamu punya emergency contact. Orang-orang yang bersedia untuk dihubungi kapanpun (tentu, kamu harus berbicara mengenai hal ini dengan mereka sebelumnya). Reach out akan lebih baik ketika kamu sudah mulai merasa pikiran-pikiran itu menghampiri.

Dan untuk apa yang pernah terjadi padaku beberapa bulan lalu, aku tetap merasa bersyukur kok. Aku semakin mampu menghargai betapa berjuang untuk tetap survive sehari saja, patut diapresiasi. Apalagi kalau sampai reach out dan bersedia memeriksakan diri ke profesional. Itu sudah merupakan pencapaian.

Juga untuk kamu yang kini masih berjuang: you are THAT worthy and lovely. Please, stay with us <3

(Tulisan ini bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap tindakan pencegahan bunuh diri dalam rangka World Suicide Prevention Day 2019)

— September 10, 2019

2 thoughts on “Please Don’t Call the Reverend

  1. Pingback: If I’m Not Strong, What Do You Call Me? – your world, my nest, vague trust
  2. Aku lagi di masa ini dan gatau musti gimana lagi karena semakin aku menjelaskan keadaan dan pemikiranku yang sebenarnya, semakin terdengar seperti alasan. Bahkan banyak yang berujung salah paham. Aku lelah, ingin pergi dari dunia yang sekarang, membuat identitas baru tanpa diketahui siapa pun. Perasaan “Bagaimana kalau aku mati nanti? Apa kebenaran akan terungkap?” “Apa aku bisa memberikan kesan membekas dalan hati orang-orang yang kutinggalkan–mengingat aku hanya menjadi beban mereka?” Perasaan seperti itu selalu muncul hampir setiap hari, pun membentuk sebuah mimpi mengerikan.

    Setelah membaca ini aku sadar, aku tidak sendiri, aku masih punya teman yang bisa menjadi tempat berbagi cerita. Masih banyak orang baik di luar sana yg bisa kuambil sisi positifnya dan mengajariku banyak hal baru. Terima kasih, Kak Hesti. Aku jadi belajar lagi apa arti menghargai diri sendiri dan apa yang kulakukan tidak sepenuhnya buruk.

What Do You Think?