Dua minggu setelah putus, aku akhirnya punya waktu untuk bertemu dengan psikologku. Dalam sesi kali itu, aku menceritakan semuanya kepadanya. Perasaan sedih, kecewa, dan kacau yang aku rasakan. Hingga pikiran-pikiran buruk yang sempat menghampiri.

Ibu psikolog ini kemudian melemparkan pertanyaan-pertanyaan. Selayaknya seseorang yang berusaha memoderatori sebuah percakapan dengan diri sendiri. Tentang rencanaku ke depan, apa yang harus aku lakukan, apa yang sebaiknya aku lakukan. Aku pun takjub karena aku bisa menjawab tanpa perlu berpikir lama-lama. Dan psikologku mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja. Aku tidak begitu kehilangan arah karena sebenarnya aku memang sudah tahu apa yang harus aku lakukan seleapas ini.

Sebelum sesi berakhir, ibu psikolog memberikan semacam “terapi.” Yang pertama adalah aku diminta memilih 3 foto yang merepresentasikan masa lalu, masa yang aku jalani sekarang, dan harapan akan masa depanku. Ketiganya ia minta untuk dijelaskan secara rinci. “Terapi” yang kedua berbeda. Ada setumpuk kartu berisi kata-kata. Aku hanya diminta memilh satu kata saja yang paling relevan dengan caraku memandang diriku sendiri. Ia kemudian bertanya mengapa aku memilih kata itu.

First, I found myself in Literary Agent and Literary Festival

Kurang lebih dua pekan yang lalu (15-16 Agustus 2019), aku terpilih menjadi peserta yang berkesempatan mengikuti salah satu lokakarya Literary Ecosystem Lab (LES), masih bagian dari Jakarta International Literary Festival 2019. Sebelum terpilih menjadi peserta, aku harus melakukan pendaftaran dengan mengisi beberapa pertanyaan. Kalau dipikir-pikir menyerupai esai pendek akan alasan mengapa aku ingin mengikuti kelas itu. Meski aku memilih dua kelas, nyatanya hanya satu kelas yang lolos. Yakni lokakarya tentang Literary Agent atau Agen Sastra.

Foto-foto milik Dewan Kesenian Jakarta

Long story short, mengikuti lokakarya Agen Sastra betul-betul menjadi sebuah pengalaman baru. Aku baru tahu kalau apa-apa yang pernah aku lakukan untuk membantu proses penulisan hingga penerbitan (bahkan sampai acara bedah buku) seorang IKAPI Writer of The Year 2018 sudah masuk hitungan sebagai pekerjaan seorang Agen Sastra. Maka, ketika aku menceritakan perjalanan “agen sastraku” kepada para narasumber, mereka mendukung agar aku memberanikan diri untuk menseriusi hal ini. Masih jarang sekali kehadiran Agen Sastra untuk mendampingi karya-karya Indonesia. Aku yang sedikit banyak pernah mengetahui tentang hal ini sejak di bangku kuliah melihat bahwa peluangnya masih sangat besar.

Di Jakarta International Literary Festival yang dihelat pada 20-24 Agustus 2019 kemarin, terdapat banyak panel menarik. Panel-panel yang (seharusnya) membuatku mengerti bahwa kehadiran karya sastra merupakan sesuatu yang penting. Sebagaimana isu-isu yang diangkat dalam sastra menjadi isu yang diharapkan bisa dikenal lebih luas lagi oleh masyarakat. Meskipun aku baru bisa hadir di tanggal 24 Agustus alias di hari terakhir, aku tetap merasa bersyukur diberi kesempatan untuk datang dan menyaksikan langsung bagaimana festival literasi (atau sastra mungkin ya?) berjalan.

Di situ, titik-titik informasi yang sebelumnya sudah bersemayam di kepalaku tiba-tiba saja bergerak aktif. Titik-titik itu mencoba saling berhubungan untuk membentuk pengetahuan yang bisa aku pahami. Misalnya saja, ketika aku baru menyadari bahwa membicarakan literasi tidak saja sesempit bagaimana meningkatkan minat baca seseorang. Literasi juga bisa saja bermula dari pertunjukan teater, pemutaran film, atau pertunjukan musik. Literasi juga bisa diartikan dengan bagaimana seseorang berusaha menyuarakan opininya di saat karya-karya di pasar seakan hanya condong pada kelompok mayoritas tertentu.

Tidak heran, jika JILF punya beragam narasumber dari negara-negara yang memang perlu kita kenali. Yang perlu kita dengar dan baca juga karyanya. Ada yang dari Palestina, ada yang dari Botswana, ada yang dari Somalia. Mereka dihadirkan untuk “diperkenalkan” kepada audiens bahwa ada karya lain yang punya gambaran berbeda dari sebagian besar pasar kita.

Dari JILF, aku perlahan menyadari betapa pentingnya sebuah festival literasi berskala internasional diadakan. Mereka menjadi tempat pertukaran budaya, menjadi titik pertemuan perbedaan untuk saling dipahami. Bukan cuma tentang pasar buku murah dan diskonan saja.

Second, I found myself in a petite bookshopand feminism

Memang kebetulan seperti hari keberuntungan saja. Setelah di hari Sabtu (24/08) menghabiskan hari di JILF, esoknya (25/08) aku bertandang main ke Post Santa – sebuah toko buku alternatif yang terletak di Pasar Santa, Jakarta Selatan. Di sana dihelat diskusi dengan seorang penulis, Intan Paramaditha (Sihir Perempuan, Kumpulan Budak Setan, Gentayangan), tentang Women Writing & Politics. Topik yang tengah aku dalami belakangan ini.

Yang aku ceritakan di sini bukanlah soal apa yang menjadi bahan diskusi. Namun, perasaan yang aku rasakan: berada di sebuah komunitas yang memiliki minat yang sama akan suatu topik, kenal dengan orang-orang yang hadir dan saling bertegur sapa. Bahkan bisa sambil menyelipkan rekomendasi tulisan.

Berada di Post Santa sore itu rasanya seperti ponsel yang sedang diisi dayanya. Besok memang Senin, memang waktunya aku kembali kerja mengumpulkan pundi-pundi. Tetapi, duduk berkeringat dekat teman-teman sesama peminat diskusi feminisime rasanya tidak tergantikan. Seakan aku sedang berada di habitat asliku.

Dan lagi-lagi, kepalaku menjadi aktif menjalin titik-titik informasi agar tercipta sebuah pengetahuan baru. Oh ternyata selama ini bacaanku masih bias dengan penulis laki-laki kulit putih ya. Oh ternyata, membaca karya perempuan kulit berwarna (women in color) akan membawa perspektif berbeda tentang kehidupan dan masih banyak hal lain. Sampai-sampai aku bingung ingin berdiskusi dengan siapa.

Third, I found myself in a (silent) book club

Aku suka saja membaca buku di ruang publik. Di kafe, di stasiun, di taman terbuka. Suka saja. Bosan kalau di kamar terus, atau di kantor. Ketika aku sudah putus, aku seperti kehilangan teman yang bisa menemaniku membaca buku di ruang-ruang publik itu. Padahal, di sisi lain, mungkin memang ada juga orang yang ingin ditemani membaca. Tidak perlu kenal-kenalan, selama memang nyaman untuk duduk berdekatan dan sama-sama tenggelam, rasanya bukan masalah.

A silent book club. Itulah terminologi yang aku dapatkan dari sebuah artikel di NPR. Di Amerika Serikat sana, a silent book club lebih condong menjadi klub dimana para introvert tetap dapat bersosialisasi. Mereka mengadakan baca buku bersama di bar. Menarik. Aku coba adopsi saja caranya. Informasinya aku sebar luaskan melalui akun media sosialku.

Ternyata ketika hari H (24 Agustus 2019, sebelum aku main ke JILF), yang datang ada 8 orang. Mereka adalah orang-orang yang melihat posterku di Twitter dan Instagram. Meski masih jauh dari kata sempurna, aku sangat berterima kasih kepada 8 orang itu. Mereka bersedia menemaniku membaca buku. Bahkan ada pula yang memilih untuk bertahan lebih lama karena bacaannya sudah hampir selesai.

Awalnya aku cukup deg-degan. Apakah jumlah retweet, like, dan DM yang masuk ke dalam akun media sosialku akan benar konversinya dengan kehadiran orang ketika hari H. Apalagi ide itu masih sangat kasar: aku ingin menjadi lingkungan yang suportif di ruang publik untuk teman-teman yang membaca buku tanpa harus takut dihakimi oleh orang lain. Tapi dari komentar teman-teman yang hadir, aku semakin yakin untuk membuatnya menjadi sebuah agenda rutin. Baca Bareng yang aku gagas kemarin, dalam ukuranku, sukses!

…and I still continue my journey to find myself

Dari tumpukan kartu kata-kata, aku memilih satu kartu tanpa ragu. Kartu itu langsung aku letakkan di atas meja, menghadap ibu psikolog. Dia tanya, “mengapa kamu pilih kata itu?”

Di beberapa kesempatan, aku merasa menjadi makhluk yang one of a kind. Lulusan Ilmu Perpustakaan yang memang cinta dengan keilmuan itu, cinta dengan buku, dan masih punya keinginan untuk menjadi seorang pustakawan kelak. Aku cukup percaya, di saat aku kuliah dulu, sebagian besar orang memilih Ilmu Perpustakaan sebagai jurusan kuliah hanya sebagai parasut pengaman. Ya yang penting bisa kuliah. Tetapi aku tidak begitu. Aku benar suka dengan apa yang aku pelajari.

Selain itu, aku cukup mengikuti isu-isu terkini seperti produk budaya populer, produk dari pasar-pasar global (buku yang best seller misal) hingga cukup paham dengan masalah-masalah global yang mondar-mandir menjadi headline di media besar. Aku bahkan masih menjadi tim salah satu akademisi terkemuka Indonesia. Mana ada (sepengetahuanku ya ini, tidak berlandaskan data empiris) teman-teman alumni jurusanku yang setidaknya melebihi aku?

Terdengar sombong memang, tetapi bagiku, itu adalah caraku untuk membangkitkan kembali rasa percaya diri. Mengingatkanku bahwa aku bisa berada pada satu titik yang aku pernah bayangkan. I am trying to make an impact, mempraktikkan apa yang pernah aku pelajari, dan benar-benar menunjukkan rasa cintaku akan dunia literasi.

Dua acara yang aku datangi (JILF dan Women Writing & Politics) plus satu acara yang aku gagas memberikan pencerahan. Bagaimana pun juga, dunia itu yang memang benar ingin ku geluti. Ketiganya membuat hatiku penuh. Dan kalau bukan karena patah hati akibat pemutusan hubungan secara sepihak, mungkin aku tidak akan “kembali menemukan” diriku seperti yang sedang aku lakukan.

Maka, aku bisa katakan tidak salah jika aku memilih kartu itu. Kartu dengan satu kata tercetak tebal.

Authentic.

— August 26, 2019

One thought on “If I Never Been Hurt Like This, I Won’t Back to Find My Self

  1. Pingback: Kok Bisa Nyemplung di Industri Literasi? – your world, my nest, vague trust

What Do You Think?